Kukira, pagi yang dimulai tanpa kopi itu akan berlalu dengan sangat menjengkelkan. Namun nyatanya Tuhan sedang bermurah hati, Ia mengganti sarapanku dengan sesuatu yang lebih baik. Sebutir matahari yang lahir pelan-pelan, ditaruh pada tubir langit merah saga, ditaburi kawanan burung berarak pelan, dan disajikan pada latar Danau Inle maha luas. Udara masih berkabut serupa kepulan uap air yang baru saja dituang dari ketel. Aku menyesap semuanya selagi hangat, persis seperti menikmati segelas kopi.
Inle adalah wajah Myanmar ketiga yang kudatangi setelah Yangon dan Bagan. Berada pada ketinggian 880 meter di atas permukaan laut, Inle menyayat Distrik Taunggyi secara vertikal dari utara ke selatan. Tapi bukan karena letak itulah ia menjadi penting, Danau Inle merupakan sandaran hidup bagi masyarakat sekitar selama ratusan tahun. Ada lebih dari 70.000 warga menggatungkan periuk nasinya pada tasik kedua terbesar di Myanmar ini.
Penduduk asli danau Inle adalah kaum nelayan yang hidup dari menjala ikan air tawar. Jika suku Bajo di Sulawesi sana hidup di atas laut, maka suku Intha tinggal di atas danau. Mereka tidur, mandi, makan, beranak, dan berbahagia di rumah-rumah panggung yang tiang pancangnya mencuat dari dalam air. Tak satu pun dari mereka yang memiliki pekarangan, sebagai gantinya, terselip di antara rumah-rumah panggung tersebut, terdapat berhektar-hektar kebun apung.
Bagai tak butuh tanah, suku air ini mengumpulkan gulma dan ganggang dari dasar danau, membawanya di atas perahu, lalu menjadikannya sebagai landasan untuk kebun yang diikatkan pada tiang bambu. Beruntung permukaan danau tak banyak riak, bergeming saja bagai sedang menahan napas, sehingga sayur dan buah-buahan tumbuh subur tak kira-kira. Tidak berlebihan rasanya jika mengibaratkan kawasan Inle dengan Venesia versi Asia.
Aku mengawali tualang di danau ini dengan menyewa perahu. Dalam perjalanan, banyak kulihat nelayan sedang melilitkan tungkai kaki ke dayung perahu sambil mengayuh. Leg rowing fisherman, demikian orang-orang menyebut tradisi yang konon sudah diwariskan turun-temurun ini. Alasannya sederhana, di beberapa tempat dasar danau begitu dangkal, kerap pula tertutup rumput dan tanaman air. Maka agar laju perahu bisa lebih gegas, para nelayan mendayung menggunakan tenaga kaki sambil berdiri.
Namun, bukan budaya namanya jika tidak berubah. Perlahan dan pasti, tradisi tersebut mulai kehilangan makna. Setiap perahu sudah dilengkapi mesin tempel. Angkat-mengangkat kaki sambil mendayung kini sebatas atraksi belaka. Tradisi itu bergeser menjadi sebuah daya tarik yang bernilai ekonomi, dilestarikan bukan lagi demi menjaga warisan leluhur, melainkan demi turis yang haus minta dihibur. Setiap usai berpose, para nelayan akan mendekat dan meminta uang karena sudah diabadikan dalam jepretan kamera.
Pukul delapan matahari sudah setinggi galah, sinarnya pecah membiasi hamparan tirta yang menganga pada langit biru. Aku melanjutkan perjalanan menuju pasar lima hari. Disebut demikian karena setiap hari, pasar akan berpindah-pindah dari satu lokasi ke lokasi lain dan akan kembali lagi ke tempat semula pada hari keenam. Hari ini pasar Khaung Daing mendapat kesempatannya menggelar pekan. Ke sanalah perahuku melaju, meninggalkan jejak gelombang yang sebentar, sebelum diam kembali seperti sedia kala.
Di pasar Khaung Daing aku menemukan transaksi yang masih purba, timbangan masih bergantung pada besi sebagai pemberat, uang masih berpindah dari satu tangan ke tangan lain, dan tawar menawar dagangan masih mutlak terjadi hingga kata sepakat ditemukan. Tak ada yang mewah di sini, lapak-lapak mereka hanya berupa tanah dan terpal yang melindungi kepala, namun justru dari kesederhanaan itulah kita diajarkan untuk bisa memanusiakan manusia.
Berbeda dari pasar modern yang jika ke sana maka orang-orang akan menyempatkan diri untuk berdandan. Tempat yang merangkum satu kelas sosial tertentu, kelas yang jika berbelanja, bukan lagi untuk menghidupi diri, melainkan menggenapi gengsi. Tempat yang dipenuhi oleh pendingin ruangan, etalase, kasir, kamera pengawas, dan harga paten pada label-label nan menipu. Bagi sebagian orang hal tersebut mungkin terasa lebih nyaman, tanpa perlu lagi menghidu peluh penjual.
Tapi hanya di pasar tradisional sebuah interaksi dapat tumbuh. Kita dituntut untuk berkompromi, bukan berkompetisi. Orang-orang berkerumun, kulit saling bergesekan, rupa-rupa bahasa lokal memenuhi telinga. Segala bau merasuki rongga hidung, sesekali bau buah-buahan matang, aroma rempah, bau daging, anyir ikan, juga bau pesing yang menyelinap dari beberapa sudut pasar. Terlihat pula semarak pakaian warna-warni, cahaya lampu, dan sayur-mayur. Indra bagai diserang secara bertubi-tubi saat memasuki lorong pasar lebih jauh. Pengalaman seperti itulah yang harusnya kita temui di sebuah pasar, ruang publik yang sebenar-benarnya.
Tak salah rasanya jika mengibaratkan pasar sebagai diorama sebuah kota. Di pasar, setidaknya menunjukkan bagaimana sebuah kota dibentuk, dihidupi, atau bahkan menampilkan sifat kota secara jujur. Aku, yang selama ini selalu saja luput memperhatikan manusia, di pasar ini disapa oleh senyuman tulus para penjual, dan itu membuat hatiku semakin leleh.
tetiba kangen tulisan dedeknya mbak dian yang penuh romantisme
waaaaahh, welcome back om danan, lama ga mampir, hahaha
Kowe gak mampir keliling toko 😀
mampir lid, cuma belum sempet ditulis
Tidak salah memang jika ada yang berkata, “jika kamu ingin melihat wajah penduduk suatu kota, datanglah ke pasar.”
Siapa yang bilang? Aku kayaknya *lho
wooooo, repot 😀
selalu ngefans dengan gaya berceritamu..
makasiiiih kak adliinn 😀
Mungkin di beberapa daerah di Indonesia juga sama, tradisi yg dijalankan sudah bukan murni atas nama meneruskan dari nenek moyang. Semata hanya sebagai atraksi yg diharapkan memukau pelancong. Semua atas nama uang, timbal baliknya juga lumayan menyebar ke segala sisi. Menggerakkan ekonomi. Positifnya di situ sih hehe.
iya, bener
pariwisata selalu memunculkan dua sisi, ada yang negatif, juga positif
cuma paling tidak, mbok ya jangan kemaruk juga
contoh kasus waerebo, ritual bisa diotak-atik cuma gegara wisata
khan makna ritual yang awalnya kultus jadi biasa aja
Ternyata Myanmar pun mengalami masalah serupa dengan Indonesia ya. Tentang sudah berubahnya budaya, dan pundi-pundi uang yang membalut wisata. Aku selalu kagum melihat foto-foto nelayan Inle beraksi dengan salah satu kakinya.
Mereka minta berapa, mas?
kita bayar seiklasnya sih nug, ga ada tarifnya juga
kemarin waktu ke myanmar ga sempet mampir danau inle ya?
Iya nggak sempet, aku cuma ke Yangon aja bang
Iya nggak sempet, aku cuma ke Yangon aja bang
Ternyata pencari ikan di danau disebut nelayan juga….
wah ya ga nelayan juga sih, ada bahasa lokalnya, tapi gatau apaan 😀
Sebuah perjalanan yang penuh makna mas.
Setiap daerah selalu punya cerita yang unik dan menarik.