Barangkali Labengki boleh disebut sebagai permata yang belum dipoles. Meskipun namanya tak seriuh Bunaken atau Toraja, namun kepulauan yang terserak di perbatasan Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah ini sungguh memiliki kekayaan alam yang tak tepermanai. Panorama elok nan jarang dijamah turis, serta manusia-manusia ramah nan royal senyum.

Adalah Audi Rakhmadan yang pertama kali menebar racun Labengki. Malam itu ia mengeluarkan gawai sambil memperlihatkan foto-foto perairan hijau toska yang dibingkai oleh menara karang. Sial betul, demi melihat pemandangan tersebut, canduku pada laut kambuh. Bagai orang habis kena tenung, mengangguk juga kepalaku mengamini rencana vakansinya. Untunglah aku tidak sendiri, masih ada Hadiyan Akbar yang rupanya telah dibius terlebih dahulu.

Kami bertiga lalu bersepakat untuk mengikuti sebuah paket liburan, hal yang sebetulnya amat jarang kulakukan. Tak perlu lagi memikirkan lokasi mana yang kira-kira menarik dikunjungi, mencemaskan tidur di mana, atau sekadar menentukan menu makan malam sebab semua sudah ditentukan. Kemudahan itulah yang menjadi alasan kami untuk akhirnya memilih menggunakan jasa agen wisata. Aku hanya perlu mengepak barang beberapa jam saja sebelum berangkat, Hadiyan bahkan masih mengenakan kemeja kerja saat kami bersua di bandara pagi-pagi buta.
Aku selalu percaya, terlepas dari bagaimanapun gaya berjalan, kembara tetaplah kembara, dan di depan sana segudang cerita menarik tengah menunggu. Maka pada hari yang sudah ditentukan, terbanglah kami bertiga dari Jakarta sebelum akhirnya mendarat di Kendari sekitar pukul tujuh pagi.

Keluar dari bandar udara Haluoleo kami disambut oleh Jodi, ia adalah pemandu yang akan menemani perjalanan kami selama tiga hari ke depan. Usai berciloteh panjang tentang apa saja yang akan dilakukan, ia mengenalkan kami pada peserta lain. Sebutlah nama mereka dengan Gilang dan Nurul, sepasang karib yang betah intim selama bertahun-tahun. Ada pula duo Erdin dan Dita yang gemar berfoto dengan pose janggal. Rifan dan Yana, sejoli dari Balikpapan yang enggan dituduh pacaran. Dewi si pendiam. Trio Sonia, Rindy, Ana. Dan Oin yang datang bersama keluarga.

Setelah saling menyapa, kami semua lantas digelandang ke utara meninggalkan kota Kendari. Bus yang kami tumpangi meliuk di perbukitan, membelah desa-desa kecil, turun ke pesisir, hingga sampai di gerbang lautan, sebuah dermaga. Perahu kayu bermesin tempel terlihat tengah tertambat, orang Kendari lebih gemar menyebutnya dengan speed, meski nyata-nyata bentuknya jauh dari gambaran speedboat.

Perahu itulah yang kemudian membawa kami membelah laut Banda, laut yang pernah memegang peranan vital dalam perdagangan nusantara. Dulu sekali, perairan dengan luas hampir empat kali pulau Jawa ini merupakan penghubung kerajaan-kerajaan besar di Celebes dan Moluccas. Di laut ini pulalah para kadet kapal layar Spanyol, Portugis, dan Belanda pernah menabuh genderang perang memperebutkan pala dan cengkeh, komoditi yang konon bernilai setara harga emas.
Kini laut yang penuh darah dan sejarah itu nampaknya sedang tidur, tak banyak ombak sebagaimana tak terlihat pula banyak riak. Sengaja kupilih duduk di bagian geladak, sebisa mungkin menjauhi buritan tempat bercokolnya mesin yang bunyinya memekakkan telinga. Selain memperhatikan gelombang, tak banyak yang bisa dilakukan, menoleh ke mana pun hanya laut terhampar. Berkata-kata juga percuma, setiap suara yang keluar ditelan bulat-bulat oleh deru mesin. Sinyal terus menyusut, tinggal dua balok yang tersisa di pojok kiri atas telepon genggamku. Semenit kemudian satu balok lagi hilang, begitu terus hingga hari tinggi.

Pukul dua belas kami tiba di Laguna Kembar, perairan sempit yang dikepung oleh gugusan karang tak bertuan. Di sini tidak ada jalan berlapis aspal saling silang menyilang, tidak ada kendaraan, tidak pula gedung-gedung tinggi, juga lampu ribuan watt yang semuanya menyedot minyak jutaan barel. Gantinya hanya pulau batu bertaburan bagai noda di laut biru. Tiada lagi sinyal tersisa, raib sepenuhnya. Nusa karang ini telah membawaku lari dari peradaban.
Bagi sebagian orang, hidup tanpa dialiri fungsi perangkat komunikasi seperti ini dapat berarti macam-macam: melewatkan pesan, telepon, bahkan email penting. Sebagian lain mungkin merasa invalid karena direnggut dari kebiasaan membuka Twitter, Facebook, maupun Instagram. Tapi bagiku, terputus dari dunia luar adalah sebuah kemewahan. Sebuah jeda untuk melupakan tumpukan dokumen yang ada di atas meja, tanpa panggilan dari atasan maupun komplain dari pelanggan. Bukankah memang demikian seharusnya sebuah liburan dinikmati?

Lepas dari Laguna Kembar, kami singgah sejenak di kampung Bajo, gipsi laut yang dalam catatan Eropa lebih sering disebut sebagai perompak. Menggali literatur sejarah, Bajo merupakan suku pengembara yang sanggup menyelam dan berjalan di dasar lautan, potret yang barangkali benar adanya. Dari pertama kali sampai, tiada lain yang kulihat selain tingkah anak-anak yang serupa gasing, mereka berloncatan, berenang, menyelam, dan mendayung perahu sambil terbahak sementara matahari berdenyar di atas kepala. Bocah di sini telah mengakrabi laut bahkan jauh sebelum mengenal bangku sekolah.
Setelah semua penumpang mengganti baju, perahu pun diarahkan ke utara dengan kecepatan sedang. Tujuan kami selanjutnya adalah Laguna Biru atau Laguna Mahumalalang jika ingin disebut dengan bahasa setempat. Selang tiga puluh menit, sang nakhoda sudah melego jangkar, mesin tempel yang tadi meraung-raung kini sunyi senyap. Jodi pun menunjuk lereng karst yang sepenuhnya tajam dan rapuh, ke sanalah kami disuruh mendaki.

Melihat batu gamping dengan kemiringan hampir 70 derajad itu kebahagian kanak-kanakku tumpah. Tak perlu waktu lama badanku sudah merayapi karang mendahului peserta lain. Hitungan menit saja, kakiku sampai di puncak bukit. Dari ketinggian, laguna ini tampil dengan wajah tercantiknya, genangan air pirus yang dipeluk oleh serakan kubah hijau, sulit digambarkan oleh puisi atau roman yang melenakan. Tuhan tentu sedang tersenyum ketika menciptakan tempat ini. Rasanya seperti halusinasi membayangkan Labengki masih berada di luar jangkauan radar turis.
Inilah tempat yang membuat kami malas menutup mata. Alih-alih mengeluarkan kamera, aku justru langsung membuka baju dan melompat. Berenang hilir mudik hingga kelelahan, dan baru menepi ketika kulit sudah legam serta jari tangan mulai mengeriput. Satu hal yang kusadari kemudian, Laguna Biru ternyata memiliki dua jenis kadar salinitas, asin di permukaan dan payau jika sempat meyelam sampai ke dasar. Ekosistem estuari ini terbentuk dengan sendirinya karena air laut yang terjebak bercampur dengan curah hujan yang tinggi.

Menjelang gelap kami meninggalkan Laguna Biru dengan hati yang hangat, bagai ditanak dalam tubuh masing-masing. Matahari mulai undur diri, memerahkan langit yang berwarna gusi. Dari jauh kulihat pendar lampu nyalang benderang, melayang bagai kunang-kunang di atas laut. Ke sana perahu ini hendak menuju, pulau Mbokita namanya. Dusun terpencil tempat malam ini kami menginap. Cukup untuk hari ini.

8 thoughts on “Labengki, Dari Laguna Hingga Nusa Karang”

  1. Labengki ini memang yang menjadi khasnya warna hijau toska nya. lihanya jadi adem dan pingin berenang.

    Tapi bagiku, terputus dari dunia luar adalah sebuah kemewahan. sama, aku kalau dah liburan dah nggak mau dipusingkan dengan handphone, bahkan nggak suka live atau pamer di medsos. setelhanya baru tebar racun, hehehe

Leave a Reply