“Mari masuk” Ucap kak Katrina mempersilakan. Aku dan kak Olive yang sedari tadi menunggu di ambang pintu langsung melepas kasut dan mengikutinya ke dalam rumah.
Berbeda dengan rumah milik tetangga, kak Katrina tidak lagi tinggal di dalam tongkonan, melainkan sebuah rumah panggung biasa yang atapnya enggan menunjuk langit. Interiornya pun lebih kompleks. Dipartisi oleh papan-papan berwarna legam, ruang dalam dibagi menjadi ruang tengah, tiga kamar di sebelah kanan, serta dua ruangan di bagian belakang, yang kemungkinan besar adalah dapur dan kamar mandi.
“Buk, ada tamu,” kembali terdengar suara kak Katrina mengabarkan kedatangan kami pada ibunya, diikuti oleh suara lantai yang berderak ketika ia melangkah menuju kamar paling ujung. Di sanalah Alfrida Tottong Tikupadang, atau biasa disapa dengan nenek Windy beristirahat. Kabarnya ia sedang sakit, dan kedatanganku ke rumah ini tak lain adalah untuk membesuk beliau. Namun setelah mengikuti kak Katrina ke dalam kamar dan menghidu bau formalin, barulah kusadari bahwa niatku ternyata terlambat setengah windu.
Nenek Windy diam-diam saja di tempatnya beristirahat, jangankan menjawab salam, bergerak pun tidak. Matanya terkatup, tubuhnya terkulai dalam sebuah peti kayu yang disangga oleh meja kecil berwarna cokelat. Ia telah mati, sejak empat setengah tahun yang lalu.
Aku mulai gamang, pengalaman macam apa lagi ini. Bagaimanapun, langkah telah tersorong, tak mungkin disurutkan. Kupaksa kaki berdiri di sebelah pembaringan mendiang sambil menekurkan kepala. Muka nenek ditutupi selembar kain transparan, dari baliknya samar terlihat rambut yang masih utuh, berkilau putih keperakan. Nenek meninggal pada tahun 2012, tapi tubuhnya serupa enggan remuk digasak oleh waktu. Sebuah kacamata masih bertengger di batang hidung, meski mata yang membutuhkannya telah lama terpejam dan tak akan pernah terbuka lagi.
Masyarakat Toraja menganggap putusnya napas belum berarti selesai. Meski telah lama tiada, nenek Windy belumlah benar-benar wafat di mata anggota keluarga. Ia masih dianggap ‘sakit’ atau To Makula dalam bahasa Toraja. Pada tahun-tahun pertama kematian, nenek bahkan disuguhi makanan berupa kapur, sirih, dan pinang. Kini, kendati kemewahan itu berhenti, tapi setiap pagi, setiap malam, dan tiap-tiap memiliki kesempatan, nenek tetap disapa dan diajak bicara oleh sanak saudara. Sekadar untuk memastikan, bahwa meskipun sudah tidak lagi bergerak, ia belum tumbang di ingatan. Sampai saatnya nanti, sebuah upacara kematian digelar.
Rambu Solo nama upacara tersebut. Ketika upacara berlangsung, puluhan kerbau dan ratusan babi beramai-ramai menemui ajal. Darah menggenangi segala penjuru, bau amis mengambang di udara. Orang-orang mengenakan baju dan sarung tenun hitam, genderang ditabuh, sailo dinyanyikan, lalu mayat pelan-pelan diarak menuju pemakaman. Saat itu, barulah isak tangis yang dipendam lama meledak, histeria demi histeria pecah, berliter-liter air mata tumpah tak hendak dilipur. Ratapan, tarian, dan nyanyian menyabur jadi satu. Mereka merayakan kehidupan sebagaimana mereka merayakan kematian.
Gegap gempitanya Rambu Solo barangkali hanya bisa disejajarkan dengan lebaran di kampungku. Turis-turis menjadikan ajang ini sebagai kesempatan untuk bertandang, membeli kesedihan hidup yang didagangkan oleh masyarakat. Perputaran uang di Toraja ketika Rambu Solo bisa mencapai miliaran rupiah, memang sebuah peristiwa yang boros. Terang sudah kenapa kak Katrina sampai sekarang masih sangsai bergelut menggenapkan tabungan. Entah berapa purnama lagi nenek harus menunggu, tak ada yang tahu. Kak Katrina sendiri pun terlihat enggan memberi jawab.
Kadang aku sempat bertanya, bukankah ia bisa saja menguburkan nenek tanpa harus menggelar sebuah pesta? Namun, bukan itu masalahnya. Rambu Solo bukan semata soal tebas-menebas kerbau dan buang-buang uang. Di baliknya terdapat filosofi sosial yang luhur. Ritual itu selain melepas kematian, di sisi lain juga menyatukan kehidupan. Sanak saudara dari segala penjuru mata angin datang, keluarga yang selama ini merantau dan terpisah jarak berkumpul jadi satu. Pemahaman inilah yang membuat kak Katrina betah bersabar memelihara jasad nenek. Perkara uang yang harus selekasnya ia cari dan kerbau yang semestinya ia beli tak sekalipun dijadikan beban.
Memang bukan hanya langka, tapi tinggal bersama mayat selama bertahun-tahun merupakan perkara janggal bagi sebagian masyarakat Indonesia. Namun, bukankah setiap budaya memiliki definisinya sendiri tentang kewajaran? Tentang baik buruk, benar salah, seronok selamba, dan sebagainya. Kak Katrina sungguh tidak sedang menolak kematian atau mengabdi pada laku tak wajar karena menarik-ulur takdir. Ia hanya mencoba untuk tetap menghidupkan tradisi, itu saja. Kita tidak akan pernah tahu, bisa jadi apa yang sedang dilakukannya adalah bentuk lain pengabdian pada orang tua.
“Apa boleh difoto?” Tanyaku memecah keheningan.
“Silakan, silakan.” Balas Kak Katrina sambil melengkungkan bibir. Untuk orang yang tengah berkabung, ia sangat murah senyum. Tak ada sabak dan rona duka sama sekali.
“Permisi ya, Nek.” Tak lupa aku meminta izin pula pada nenek, lalu mengambil beberapa gambar. Itu adalah percakapan paling aneh yang pernah terjadi dalam hidupku. Tak pernah sebelumnya aku berbicara pada mayat. Dan di dalam kamar ini, di tengah kemustahilan-kemustahilan yang tak lagi terhitung jari, kurasakan lidahku begitu kikuk.
Sepuluh menit berlalu begitu saja. Sebetulnya aku masih ingin berlama-lama berada di samping nenek, tapi tak patut mengganggu tidurnya lebih jauh. Lagipula aku tak berhasil mencari alasan yang baik untuk mengulur-ulur waktu. Akhirnya kami berpamitan, aku menyalami kak Katrina sedangkan kak Olive mengangsurkan beberapa rupiah ke dalam sepu’ yang terdapat di ujung peti mati. Di dalam hati kuucapkan ‘sampai jumpa’ pada nenek, sambil memendam harap memiliki kesempatan mengucap ‘selamat tinggal’ saat kelak ia dimakamkan.
Sebagai penutup, kak Katrina kemudian memajankan foto nenek Windy ketika masih hidup dan selembar foto lain saat kematiannya diliput oleh sebuah majalah. Meski sama-sama terlihat memakai baju bermotif bunga, namun wajah yang cerah di satu foto, menjadi sebam begitu saja di foto berikutnya. “Gambar ini diambil sekitar dua tahun lalu,” kenang Kak Katrina. Membandingkan ke dua potret itu berhasil membuat perasaanku campur aduk.
Toraja telah mengajariku bagaimana masyarakat memaknai kehidupan dan kematian, mereka tahu pasti bahwa hidup adalah persinggahan dan mati adalah sebuah keharusan yang layak diterima. Sebab itu orang-orang Toraja sangat mengakrabi kematian dan tampak tenang menghadapi kehilangan anggota keluarga. Bagai mematahkan argumen bahwa kematian tidaklah sebegitu mengerikan seperti yang selama ini kita kira.
Post Scriptum: Artikel ini diikutkan dalam Asean Literary Festival dengan tema Beyond Imagination.
Apa yang bagi kita tidak biasa, mungkin adalah sangat normal bagi orang lain. Tapi kalau kita bisa menerima dengan pikiran terbuka, menurut saya banyak banget pelajaran (atau paling tidak, informasi) yang bisa kita petik. Saya setuju, terlepas dari printilan-printilan yang menghabiskan biaya itu, filosofi tradisi Rambu Solo ini adalah sangat mulia.
Beruntung sekali bisa menyaksikan ini Mas, kayaknya tidak semua orang bisa (baca: kuat) melihatnya secara langsung. Semoga berhasil dengan lombanya, Mas. Saya mencium aroma juara nih, hehe.
Benar Gar, setiap daerah pasti memiliki filosofi tersendiri mengenai apa yang mereka lakukan
bahkan sesederhana tinggi pintu pun di beberapa rumah pun ada artinya, apalagi ritual besar seperti ini
*telat banget balesnya, sampe pending beberapa bulan 😀
Betul… saya rasa hal-hal seperti itu, filsafat-filsafat kecil kaya makna itu, sangat pantas dipertahankan.
Sama, saya juga balasnya suka telat, hehe. Terima kasih sudah membalasnya!
sama-sama Gar
anyway, di tengah kesibukanmu kok masih sempat ngisi blog ya?
kok bisaaaaa? 😀
Lho, justru saya yang harus belajar dari dirimu, bagaimana bisa masih mengisi blog di tengah kesibukan? Sebagai informasi, kini saja saya sudah vakum sebulan, ha ha ha…
kamu sekarang domisili mana sih gar?
kalau di ibukota bolehlah kita ketemu sambil ngopi-ngopi
Ibukota… yuk yuk Mas… semoga bisa bersua, ya…
Tapi demi yang namanya tradisi, saya rasa biaya sebesar apapun akan tetap di keluarkan. Di era sekarang mungkin akan ditinggalkan bagi sebagian orang. Tapi istimewanya di Toraja ya ini. Seperti ngaben di Bali, yang menelan biaya yang tak sedikit.
Semoga menang mas Yof.
aaaah, aku sampe sekarang belum pernah liet ngaben secara langsung, semoga nanti suatu saat.
eh, di Bali juga ada loh desa yg menarik kaya di Toraja
pernah denger Trunyan ga?
Bg, ada ga yang dalam satu rumah berisi lebih dari satu mayat yang sedang menunggu untuk rambu solo?
Kalau misal waktu kematiannya berdekatan, bukan tidak mungkin dibiarkan dulu beberapa mayat dalam satu rumah
nanti ritualnya dibuat barengan
Ngeri tapi bagus dalam penulisannya. Duh merinding liat foto yang terakhir 🙁
aku juga ke sananya serem-serem penasaran gitu bang 😀
Sebuah tradisi yang terus dipertahankan. Bagi mereka (masyarakat Toraja), ini adalah sebuah keharusan.
Membaca cerita rumah panggung, sejenak aku teringat rumahku yang dulu. Sama-sama panggung, tapi hanya berbentuk biasa beralaskan tikar plastik. 🙂
Aku juga dulu pernah punya rumah panggung, tapi sekarang udah ga ada lagi 🙁
enakan panggung sih, lantainya dingin 😀
Hai kak..waktu berkunjung kesana kita perlu ijin gak buat ketemu sama keluarga yg lagi menjalankan tradisi ini? terutama untuk turis asing, karena gak semua orang bisa mengerti budaya kita
waktu itu sih kita yang ditawarin kak
tapi kalau misal kita mau ke sana, otomatis minta izin dulu
sama nanya-nanya apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama berkunjung
aku kok serem sih bacanya.. gila aja ada mayat disimpan gt. huhuuh.. beda budaya ya jadi aku yg serem.ahahahah…
puluhan kerbau dan ratusan babi? hm.. harga sebuah tradisi itu gak murah….. sedih bgt kl masih ada yang gak menghargai tradisi. malah menjelek2kan huhuu
sekali ada yang meninggal, langsung bangkrut kak 😀
tapi kalau dipikir-pikir lagi, budaya pernikahan di banyak tempat juga sebenarnya menguras uang yang banyak loh
Yah di Toraja kematian tak lantas berakhirnya kehidupan di dunia. Perlu waktu melepas jasad tersebut. Namun bagi orang Toraja seseorang tak pernah benar-benar pergi karena setelah rambu solo nanti ada Ma’nene. Jasad-jasad yang telah diupacarakan perlu diganti bajunya…Sungguh sebuah tata adat kematian yang mahal tapi patut dibanggakan karena Indonesia memilikinya
Benar mbak, habis Rambu solo pun upacara tidak berhenti
masih banyak ritual-ritual lain
Toraja memang kaya filosofi di setiap rangkaian kehidupan mereka
Mendadak ingat tradisi “Mate Saur Matua”, di mana saat nenek (opung boru) meninggal dan semua anak-anak beliau sudah menikah dan punya cucu.
Tari Tor-Tor dan pesta adat “Margondang”. Aku menari sambil menggendong tanaman diiringi tabuhan gendang secara langsung.
Ternyata itu adalah wujud rasa syukur atas umur yang penuh berkah dan merupakan “kebanggaan tersendiri” dalam pencapaian keinginan terakhir kehidupan, seyogianya.
itu di Batak Toba ya kak?
aku masih punya hutang buat ke sana
pasti banyak banget yang bisa dipelajari dari tradisi itu
hmmm… merinding… kalo saya pribadi sih belum berani…
aku sih diberani-beraniin kak 🙂
Salah satu budaya Indonesia yang unik, meski aku juga nggak tahu apakah bisa menginap di rumah kak Katrina dengan situasi seperti itu 😀
nggak ada standar harus berapa tahun ya bang?
hwahahaha, aku juga kalo disuruh nginep mikir dua kali kak Nug
lah kalo tiba-tiba bangun gimana, khan repot 😛
setahuku ga ada standar kak Nug, tergantung keluarganya kapan bisa ngumpulin uang
Saya belajar bahwa kewajaran adalah hal yg manusia ciptakan. Kewajaran tak harus seragam. Kewajaran bisa saja berbeda. Yang paling penting adalah menganggap wajar sebuah kewajaran yang berbeda dengan kewajaran kita.
sepakat sekali kak, kewajaran adalah hal yg manusia ciptakan
dan ini bisa sangat beragam tergantung waktu dan lokasi
tegang baca artikelnya. sampai bingung mau komentar apa. nusantara memang kaya dengan tradisi, dan banyak diantaranya membuat kita menahan napas saat membaca atau menemuinya
hehehe, sekali-sekali menyelami kebudayaan suatu tempat itu nambah wawasan banget kak
walopun rada-rada serem juga sih
Saya belum pernah sedekat ini dengan orang mati, khususnya di Toraja. Tonal foto-fotonya yang agak gelap, entah sengaja atau memang minim cahaya, seperti menggambarkan suasana penantian menuju upacara kematian yang belum tahu kapan digelar. Semoga beruntung dengan partisipasimu di ASEAN Litfest itu mas 🙂
hwahaha, kalau tone foto aku emang lagi seneng pake yang gelap-gelap gini qy
punya preset lightroom baru soalnya 😀
Tak mengeluarkan aroma selazimnya mayat, gitu, mas?
khan dikasih formalin, jadi baunya kaya bakso *ehh..
Pokoknya setiap ada blogger traveller, nggak kelewatan untuk follow deh. Siapa tahu referensi jalan-jalannya bisa dipake. Salam dari lereng semeru. 🙂
hehehe, makasiii, makasi, salam kenal 🙂
nitip rindu untuk semeru
kadang yang tak lazim menjadi lazim bagi sebagian orang, layaknya perjalanan ya mas yang bisa bikin kita melihat dari berbagai perspektif … ikut terbawa alur cerita saya mas! hehehehe
benar, kelaziman itu bisa berbeda-beda berdasarkan waktu dan tempat
sekarang sama dulu berbeda tingkat kelazimannya
berbeda lokasi juga mempengaruhi orang untuk membentuk sebuah standar kelaziman
Waktu aku ke Galuguh Dua, katanya ada juga yang ‘sedang menunggu’ di lantai dua. tapi aku tak menengoknya.. takut…
waaaah, sayang sekali kak In