Menjelang tengah hari setidaknya aku telah menyambangi sebelas candi dan satu museum. Motor sewaanku kini sibuk mengarungi jalan tanah yang dipenuhi kerikil menuju Htilominlo, candi batu yang didirikan sekitar akhir abad ke 12. Satu perkara yang membuat candi ini layak untuk dikunjungi adalah riwayat pembangunannya.

Konon, saat Raja Narapatisithu ingin melengserkan tahta kerajaan, dikumpulkanlah kelima anaknya pada suatu waktu. Berdiri dalam posisi melingkar, sang raja lalu meletakkan sebuah payung putih, tegak seperti tombak, tepat di tengah-tengah mereka. Ia kemudian bertitah bahwa siapa pun yang ditunjuk oleh rebahan payung tersebut, akan serta merta ditunjuk pula menggantikan posisinya sebagai raja. Tanpa proses pemilu, semudah itu menjadi penguasa di zaman dahulu. Begitu dijatuhkan, payung itu pun tumbang di kaki Htilominlo, si anak bungsu. Maka untuk mengingat upacara pengangkatan dirinya, ia membangun sebuah candi. Tinggi menjulang hingga 46 meter, bertingkat tiga, dan menamainya dengan nama sendiri. Lantai pertama diisi dengan empat patung Buddha raksasa, ditempatkan begitu rupa hingga menghadaplah wajah dari patung-patung tersebut pada segala penjuru mata angin. Kini, beratus-ratus tahun setelah penobatan Htilominlo, candi ini beralih fungsi menjadi berhala. Puluhan orang dalam balutan kain jingga khusyuk saling melafalkan mantra, berlalu lalang menembus lorong-lorong candi sambil berdoa.

Bersama turis lain, aku memasuki ruas utama candi Htilominlo seperti orang yang menghadiri hajatan pejabat: beriringan dan berganti-gantian. Yang sudah mendapat tempat langsung duduk bersimpuh, lalu sujud, lalu duduk kembali. Aku melakukan hal yang sama, duduk bersimpuh, sujud, lalu duduk kembali sambil tertegun di depan patung Buddha. Lama sekali aku tak berdoa seperti ini, dua ibadah terakhir yang masih kuingat ialah sembahyang di depan altar sinagog Yahudi, dan shalat di masjid tua Pontianak. Lepas dari Htilominlo, kuarahkan motor pada candi Ananda, candi ketiga belas. Jalanan serupa jemaah tarawih di akhir bulan ramadhan, lengang. Maklum, jumlah penduduk Bagan tidak lebih dari dua ratus ribu orang. Dengan luas wilayah seperenam Jakarta, bisa dibayangkan betapa sunyinya kota ini. Tidak terlihat banyak manusia di jalan. Jika pun ada, pastilah turis yang hilir-mudik dengan motor sewaan. Dibandingkan dengan Yangon, Bagan bagaikan terdapat di planet yang sepenuhnya terpisah.

Lima menit saja berkendara, aku tiba di candi Ananda. Dindingnya bukan bata merah telanjang, tapi laburan kapur putih. Langgamnya pun berbeda dari semua candi yang kutemui sebelumnya. Jika dilihat dari angkasa, Ananda persis seperti lambang tambah dalam ilmu matematika. Segala sisinya simetris sempurna, barangkali itu yang membuatnya kokoh bagai tiada pernah lekang dimakan waktu. Saat gempa dahsyat memporak-porandakan Bagan pada tahun 1975, candi Ananda jangankan runtuh, terguncang pun tidak. Adalah raja Kyansittha yang menjadi dalang pembangunan candi megah setinggi 51 meter ini. Namun di balik itu semua, ada harga mahal yang harus dibayar, nyawa.

Kisahnya bermula saat delapan orang biksu yang hendak mengumpulkan sedekah mengetuk pintu istana raja Kyansittha. Mengetahui yang berdiri di depannya bukanlah sembarang biksu, melainkan biksu yang telah berbulan-bulan bertapa di Himalaya, sang raja pun meminta mereka masuk dan menggambarkan padanya rupa seperti apa yang dimiliki oleh atap dunia. Lalu berceritalah para biksu tersebut mengenai Himalaya dan kuilnya Nandamula, juga mengenai lorongnya, mengenai terasnya, selasarnya, serta mengenai taman-taman yang mengelilinginya. Raja Kyansittha pun terpukau dan menyuruh delapan biksu tersebut untuk membangun kuil serupa Nandamula di Bagan. Sebagai gantinya, ia berjanji akan bersedekah besar. Demikianlah proyek ambisius itu dimulai dan selesai pada tahun 1105. Sayang, alih-alih menerima hadiah, para biksu tersebut mendapat ganjaran yang lebih besar. Jangan bayangkan emas permata atau uang derma berjuta-juta, sang raja justru membunuh kedelapan biksu tersebut untuk memastikan tidak akan ada bangunan lain yang menyerupai candi ini di mana pun.

Tengik betul kelakuan raja satu itu. Bila semua perancang diupahi kematian tiap kali menyelesaikan sebuah karya, maka tentu takkan ada yang sudi menjalani laku hidup sebagai arsitek. Tak kan pulalah kita menjumpai bangunan-bangunan megah seantero dunia.

Aku menyerah pada candi ke tujuh belas, bajuku basah. Begini rupanya melawat pada saat musim kemarau, Bagan bagai memiliki dua matahari, panas nian. Suhu tertinggi yang pernah dicatat Bagan adalah 41 derajad celcius, badanku serasa direbus. Di sini, memiliki sawah jelas merupakan mimpi yang tak akan pernah terwujud. Apa yang bisa diharapkan dari daerah yang dalam setahun, hujan hanya turun selama delapan pekan? Awan pun bahkan enggan singgah, terhalang oleh pegunungan Rakhine Yoma di sebelah barat. Akibatnya padi tak menjadi, hampa sebelum berbuah. Tapi justru dalam keterbatasan tersebut, kota ini mengajari penduduknya untuk tangguh. Minim sumber daya alam, pariwisata dipilih sebagai mesin yang mengkatrol perekonomian. Hasilnya melebihi ekspektasi, orang-orang tumpah dari seluruh sudut dunia, memenuhi jalan dan pelataran candi. Beragam lapangan pekerjaan merekah, selain menjual sejarah, penduduk menghidupi diri dengan menjual cinderamata dan menjadi pemandu wisata. Paket menaiki balon udara dan menikmati bagan dari ketinggian sambil melihat matahari terbit adalah yang paling banyak diserbu pendatang.

Kini restoran, penginapan, dan segala macam bisnis pendukung pariwisata tumbuh lebih subur dari tanah yang menolak untuk ditanami apa pun. Bagan menggeliat penuh gairah seperti remaja yang sedang puber. Harapan untuk mengulangi kejayaannya masa lampau kian terang. Sungguh sebuah prestasi yang membanggakan untuk kota yang hanya membanggakan masa lalu. Satu hal yang membuatku kagum dari Bagan adalah pariwisata dibuat sedimikian rupa hingga alam tidak banyak terusik dan warga setempat rupa-rupanya berniat memastikan kondisi tersebut tetap lestari. Contoh baik tentang cara menyelamatkan situs sejarah dari kerusakan. Tidak ada hotel mewah yang dibangun di kawasan kota tua, semuanya terletak di luar pagar kerajaan hingga tak tampak ketimpangan pada fasad bangunan. Kota lain boleh berlari, waktu boleh melaju, matahari boleh terbit, meninggi, terbenam, dan berulang sepanjang hari, tapi Bagan tetaplah Bagan, ia memiliki caranya sendiri dalam merawat kenangan.

Aku lalu teringat pada nasib percandian di Indonesia. Bukannya memugar dan memastikan keterjagaan nuansa sejarah, candi-candi kita malah sibuk membangun wahana-wahana janggal sebagai spot untuk berswafoto. Aku pernah melihat Sponge bob di Prambanan, Bumblebee di Borobudur, dan taman rekreasi perahu kertas dengan lambang hati menyala-nyala di komplek percandian Muaro Jambi. Entah apa yang mereka pikirkan. Ada baiknya mereka rehat sejenak, pelesir ke Bagan, dan belajar tentang dedikasi teladan dalam menjaga warisan zaman.

6 thoughts on “Sebuah Teladan Dalam Merawat Kenangan”

  1. Yang spongebob itu kayaknya aku nggak nemu, Mas Yo. Tapi gantinya ada sepeda gantung sama semacam ayunan berbentuk kurungan. :”D

    Kalo difoto dari ketinggian tertentu, kompleks candinya menarik. Rasanya kayak di tengah hutan belantara begitu. 😀

Leave a Reply