“Ini adalah tempat paling celaka yang pernah kulihat. Tak bisa kusampaikan satupun hal baik dari kebobrokan yang mengelilingiku saat ini. Aku bahkan tidak memiliki tempat tinggal untuk sekadar merebahkan kepala. Jalanan tidak bisa dilewati, kota dibanjiri oleh rumput liar, dan kantor pemerintahan dipenuhi oleh sarang anjing. Penduduk asli mengatakan bahwa Bencoolen sekarang adalah ‘tana mati’. Sebenarnya, aku tidak pernah melihat yang hancurnya setengah dari ini, tapi aku akan mencoba membuatnya lebih baik. Bagaimanapun, kita harus menghapuskan perbudakan, melepaskan masyarakat dari penanaman lada paksa, menghilangkan tradisi sabung ayam, dan ribuan praktik menjijikkan lain bagi karakter pemerintahan Inggris. Reformasi yang lengkap dan menyeluruh sangat diperlukan.”
Demikian penggalan surat Raffles pada koleganya, Wiliam Mardsen, saat ia menginjakkan kaki di Bengkulu pada tahun 1818. Apa yang disaksikan Raffles sangat beralasan, sebulan sebelum ia mendarat, sebuah gempa besar meluluhlantakkan sebagian besar kota. Lindu yang terjadi tengah malam itu bahkan terasa sampai ke Padang, lebih dari tiga ratus orang meninggal, Bengkulu porak poranda, banyak bangunan pada akhirnya ditinggalkan begitu saja oleh pemiliknya. Rumah yang kemudian disewa Raffles tak satupun bebas dari retakan, minimal sepanjang tiga puluh senti.
Sebenarnya Bengkulu hanyalah remah-remah jika dibandingkan dengan puluhan koloni Inggris lain. Pemerintahan yang korup dan penyelewengan jabatan membuat Bengkulu tak pernah benar-benar diprioritaskan. Lagipula, tak ada yang bisa dibanggakan selain lada, perekonomiannya lesu. Inggris bahkan memiliki sebutan khusus buat Bengkulu, colonial backwater atau kubangan hitam kolonial. Baru setelah pembunuhan Thomas Parr memenuhi laman surat kabar Inggris pada tahun 1807, Bengkulu mendapat perhatian. Raffles ditunjuk untuk memperbaiki itu semua, jabatannya tidak main-main, gubernur jendral, orang nomor satu. Setelah lima bulan berlayar dari Falmouth, kapalnya melego jangkar di pesisir Bengkulu.
Maju dua abad, aku melakukan tetirah yang sama. Bedanya, perjalananku ditempuh lewat darat dari Sungai Penuh. Jalur ini rawan tanah longsor, sampai perbatasan Sumatera Barat saja, setidaknya puluhan titik longsor kutemui. Aku tak mengetahui angka pastinya, hitunganku berhenti setelah longsor berjumlah lebih dari jumlah jari di kedua tangan dan kakiku. Memperkirakan di mana longsor akan terjadi serupa memperkirakan letak ranjau darat di medan perang, sulit dan nyaris mustahil. Permulaan yang tak terlalu menyenangkan, sama seperti kesan pertama Raffles.
Mulanya aku tak menaruh ekspektasi besar pada Bengkulu. Bagaimana lagi, ia cenderung alpa dalam berita, namanya seolah tembus pandang dalam peta Indonesia. Namun saat membaca surat-surat Raffles, baru kuakui bahwa anggapanku keliru. Bengkulu memiliki sejarah panjang yang menanti untuk dikuak.
Sampai di Bengkulu matahari tengah berdengkang, udara panas tabiat kota pesisir. Aku langsung berjalan menuju Fort Marlborough, jantung pertahanan sekaligus benteng peninggalan Inggris terbesar di Asia Tenggara. Konon, benteng ini dibangun oleh kongsi dagang Inggris, East Indian Company, setelah kalah dari VOC di daerah Kesutanan Banten. Terdesak ke Sumatera, EIC menjalin hubungan dengan Kerajaan Selebar dan membangun benteng bersama rakyat setempat. Setidaknya butuh lima tahun hingga benteng ini rampung dikerjakan. Dari sinilah Inggris kemudian mengontrol keluar masuknya kapal menuju Bengkulu. Ia menjelma menjadi bandar utama pelabuhan laut.
Jika dilihat dari udara, Fort Marlborough terlihat seperti kura-kura raksasa yang memunggungi Samudera Hindia. Masuk ke dalam benteng, aku disambut oleh tiga makam yang saling bersisian, Robert Hamilton, Thomas Parr, dan Charles Murray. Robert Hamilton merupakan komandan Fort Marlborough yang meninggal akibat pemberontakan rakyat tahun 1793. Sedangkan Thomas Parr adalah residen Inggris yang kepalanya dipenggal oleh masyarakat Bengkulu tengah malam buta, dua hari sebelum natal. Charles Murray, asisten yang membela Parr ikut disiksa dan meninggal dua minggu kemudian.
“Ya, mereka penggal kepala Parr sayangku untuk dibawa ke pemimpin suku mereka. Kepala yang diberkati! Wajah yang diberkati! Namun napas terakhirnya tetap milikku. Dia masih menatapku berjuang melawan monster-monster yang masuk ke kamar kami. Tanganku ditebas, dadaku dihujani empat tusukan, dan aku ditendang sampai ke ujung ruangan.” Kenang Frances Harriet, istri Parr yang selamat dari kejadian itu.
Sebelum malam naas tersebut, Parr memecat Daeng Mabela, salah satu pejabat pribumi, karena terlibat penyelewengan uang yang semestinya digunakan untuk keperluan karesidenan. Pemberhentian secara tidak hormat itu mempermalukan Mabela hingga berujung pada pembunuhan. Sejarah Inggris menggambarkan Parr sebagai residen yang bersih dan tegas namun dipusingkan oleh kasus korupsi anak buahnya. Sebaliknya, sejarah Indonesia mencitrakan Parr sebagai tokoh keras kepala nan brutal. Mana yang benar? Entahlah, sejarah selalu ditulis dari sudut pandang masing-masing. Satu yang pasti, setelah pembunuhan itu, Mabela kembali mendapatkan jabatannya.
Masuk lebih jauh ke dalam Marlborough aku dihadang oleh dua ruangan, markas pegawai EIC di sebelah kiri dan sel militer di sebelah kanan. Di ruang EIC inilah koordinasi suplai lada dilakukan. Kini masa kejayaan lada tinggal nama, komoditi itu telah diganti oleh sawit dan karet, dua hasil bumi yang menjadi roda penggerak Bengkulu sekarang. Melongok ke dalam sel militer, aku melihat gambar sebuah kompas dan tulisan yang dipahat pada dinding. “Die dit kompas mnzii berisp den knoeijer niet bedenk dat lee cen tijd tot knoeijerij leidt en dat voor tijdverdrijf ik dit hier nederschrijf“. Jika melihat dari bahasa yang digunakan, kemunginan ditulis oleh seorang tahanan Belanda. Artinya kurang lebih “Barang siapa mengamati kompas ini janganlah memarahi yang membuatnya, ingatlah bahwa kesengsaraan dan waktulah yang membuat saya mencoret-coret di sini.”
Fort Marlborough adalah permata dalam lumpur. Tidak ada provinsi lain di Indonesia yang menyimpan peninggalan Inggris dalam skala sebesar ini, selain Jawa Barat dengan Kebun Raya Bogor. Namun pengelolaannya masih memprihatinkan. Beberapa ruangan lain kini telah disulap menjadi museum, informasi perihal sejarah Bengkulu dan perkembangannya dihadapkan pada muka pengunjung. Sayang, bagiku penjelasan yang disampaikan tak bisa memberikan gambaran utuh mengenai rupa Bengkulu masa lalu, terlalu sedikit. Akhirnya aku memilih naik ke salah satu bastion dan merenung: apakah Raffles berhasil membuat Bengkulu lebih baik, seperti janjinya di awal mendarat?
“The country is perfectly quiet, the people satisfied, and Bencoolen, on the whole, are improving. The place no longer has that gloomy and desolate appearance of which I first complained. A stranger would hardly know the place again, so much is it changed from what it was two years ago.” Dari korespondensi Raffles jualah aku menemukan jawabannya. Dua tahun berada di Bengkulu ia telah membuat banyak kemajuan. Meski harus dibayar mahal dengan kematian empat dari lima anaknya.
Buruknya sanitasi perkotaan membuat Leopold Stamford, anak kedua Raffles meninggal karena wabah kolera. Beberapa bulan kemudian disusul anak ketiganya, Stamford Marsde karena radang usus. Sebelas hari kemudian Charlotte, anak pertamanya meninggal karena penyakit yang sama. Sekitar sepuluh bulan anak kelima, Flora Nightingall ikut menyusul jejak kakak-kakaknya. Keempat anak malang itu meninggal dalam usia tak lebih dari empat tahun. Hanya Ella Sophia, anak keempat yang bertahan.
Terlepas dari seluruh perbaikan yang dilakukan Raffles, Inggris akhirnya jengah juga. Pada tahun 1824 disepakati Traktat London untuk mengatasi konflik daerah kekuasaan antara Inggris dan Belanda. Perjanjian itu menyepakati tukar guling tanah Jajahan: Inggris mendapatkan Singapura, Belanda mendapatkan Bengkulu. Persis seperti tukar guling antara pulau Rhun dan Manhattan.
Meski saat itu Singapura masih berupa rawa-rawa, Raffles kemudian membangunnya dengan sangat baik. Kini, dunia jauh lebih mengenal Singapura dibandingkan Bengkulu. Apa jadinya jika Traktat London tak pernah terjadi?
menurutku, kalo traktat london tidak terjadi pun, tidak akan menjamin bengkulu akan secantik singapura. meski ini hanya prasangkaku semata sih. ahaha
tapi aku setuju mas kalo dibilang bengkulu seperti kubangan, bukan maksud bahwa bengkulu jelek banget, tapi seperti definisi di atas kalo jarang banget yang menceritakan bengkulu.
apalagi kalo soal wisata, bengkulu tak pernah lebih dari fort marlborough. pun dengan pembahasan lain, kecuali karena gempa. rasa-rasanya orang juga lupa kalo ada provinsi bernama bengkulu. atau mungkin tahu, tapi dianggap lalu
Tapi betul juga mas. Saya pernah mendengar cerita dr salah satu ahli sejarah bahwa bengkulu memang ditukar dgn singapura karena secara potensi sangat minim dan sulit utk berkembang. Akhirnya Belanda pun kesulitan untuk menggubah bengkulu. Terbukti hingga sekarang menjadi propinsi yang (maaf) terbelakang. Merangkak untuk majunya sangat sulit sekali. Tapi.. semoga ada jalan lain utk bengkulu supaya lebih maju lagi.
Dua kali punya kesempatan untuk datang ke Bengkulu tetapi selalu menemui halangan. Membaca tulisan ini membuat nama Bengkulu berpindah dari wishlist nomor sembilan berganti menjadi tiga besar.
Enak banget deh baca tulisan ini, ngalir banget. Baca tulisan ini bikin kangen jalan-jalan dan explore budaya sama sejarahnya, deh. Terima kasih sudah sharing soal Fort Malborough. Semoga kapan-kapan bisa mampir ke sini 🙂
seperti biasa penceritaannya asik kk Yof, btw waktu ke Bengkulu tempo hari, sempat nyari – nyari keempat anak Raffles di Makam Inggris tapi gak ketemu 😉
Pengen juga ke sana naik salah satu bastion dan merenung sampai tertidur 😀
Sudut pandang yang unik! Ingin rasanya kembali ke sini dan bikin tulisan tentangnya 😉
Tetiba nyasar di sini, sampai kini belum pernah ke Bengkulu. Nunggu ditugasin ah..
Enaknyaaaaaaa, Kalau ke Bengkulu, sempetin main ke pesisirnya mbak