Di negeri ini, menjadi pejalan bukanlah kultur yang diwariskan, namun dibentuk. Baik oleh keadaan, kondisi keluarga, lingkungan, serta pemikiran yang berkembang. Umumnya seseorang menjadi pejalan karena alasan memberontak, keinginan meraup kebebasan lebih, protes terhadap segala belenggu etika moral sosial, namun bisa juga melarikan diri dari kejenuhan.
Entah kalau kau lahir dari keluarga gipsi atau bangsa nomad yang berpindah-pindah sepanjang hidupmu. Maka menjadi pejalan seperti sudah ada di dalam darah. Ada pejalan temporer atau kumat-kumatan, ada lagi yang menjadikannya sebagai jalan hidup. Beruntung saya terlahir sebagai seorang Minang. Merantau ada di setiap denyut nadi. Perjalanan menjadi begitu akrab dan menghiasi setiap langkah kaki.
Sabtu kemarin saya kembali menghabiskan hari dengan melakukan perjalanan. Tak terlalu jauh memang, namun cukup untuk membuat akhir pekan lebih menyenangkan. Menjelang tengah hari, saya dan tiga orang karib bergerak menuju Sendang Biru, sebuat pantai elok yang berada di Malang selatan. Umumnya orang yang pergi ketempat ini memiliki tujuan terselubung, yakni sebagai gerbang menuju pulau Sempu, pulau yang berada persis di 200 meter didepan Sendang Biru. Namun tidak bagi kita, tujuan utama perjalanan ini adalah melihat Sendang Biru dari perspektif yang sedikit berbeda.
Matahari sudah menggantung ditengah langit ketika kita sampai. Tak membuang waktu percuma, kita langsung menawar sebuah Ketinting, warga lokal menyebutnya Dukung. Kapal kecil yang bisa menampung sampai empat orang ini berhasil ditawar seharga 30.000 rupiah. Orang mungkin akan beranggapan kenapa menyewa perahu kecil? bukankah akan sangat capek jika harus mendayung ditengah arus yang lumayan besar?. Disitulah seninya, liburan bisa dinikmati dengan berbagai cara, nyaman itu kita yang ciptakan. Walaupun harus mengeluarkan sedikit tenaga untuk mendayung, saya rasa cukup sepadan dengan apa yang kita dapatkan. Usaha tak pernah ada yang sia-sia, semua terbayar. Trust me
Kita mendayung sampai ke pertengahan sendang biru dan sempu. Sampai ditengah-tengah, kita berhenti untuk sekedar menikmati laut biru ataupun mencoba memancing ikan. Kesenangan dimulai dari sini. Dari atas kapal satu persatu dari kita melompat ke air, berenang-renang sesukanya. Merasakan kebebasan dan bergembira sepuasnya.
Sore sudah menjelang, saatnya kita pulang. Setelah seharian puas bersenang-senang, kita kembali mendayung ke arah pantai. Bersiap untuk kembali ke Malang. Sebuah perjalanan unik yang tak terlupakan, kita hanya harus sedikit memutar sudut pandang, menggeser perspektif akan suatu tempat, dan kalian akan menemukan sebuah liburan yang tak biasa. Yang tak banyak orang merasakannya.
wah sama-sama ngepos di hari yang sama tentang sendang biru dari perspektif yang berbeda juga bang nih kaaknya kita. he he he 😛 kunjungi blog saya ya biar tahu perspektif sayya apa he he he
hehe, makasih gan komennya, iyah, udah duluan berkunjung ane mah, cuma ga komen aja, keren gan blognya, kembangin terus 🙂
Foto-fotonya juga dua jempol gan
makasi gan, masi belajar2 foto juga si
sayangnya nggak ada petunjuk jalur transportasi umum, biar yang lain bisa juga mnecoba 🙂
sayangnya untuk transportasi umum ke sini susah bgt, ada tp sangat jarang 🙂 hehe
Sepertinya hampir semua suku bangsa yang mendiami Pulau Sumatera adalah perantau, bahkan untuk anak laki-laki merantau itu sudah seperti kewajiban.
hehehe, bener bang, mayoritas suku di sumatera perantau, makassar juga punya banyak suku perantau
mumpung masi muda, sebanyak-banyaknya lihatlah indonesia
🙂
wah..urang awak dunsanak 😀
salam kenal bang …
hahaha
mas isna juga orang padang kah?
Waini, kegiatan seru menikmati Sendang Biru 🙂
Btw motretnya pake kamera apa, kak Yof?
pake canon 500d kak
hehe, lensa pake kit 18-55
*dibahas