Hey Puan, bolehkah aku berpura-pura sebentar menjadi gila dengan menganggap kita adalah sepasang kekasih? Dalam kepalaku, kubayangkan kita tengah menjalani hari-hari yang menyenangkan, berbincang lebih intens, bercanda lebih sering, dan tentunya bersama lebih kerap dari biasanya.
Mengertilah, hal itu kulakukan sebab ujung yang akan terbentang bagi kita kelak, barangkali hanya ada satu, yaitu percabangan jalan. Pada akhirnya kita akan memutuskan untuk berbelok ke kiri atau ke kanan dengan membawa kesunyian masing-masing di dalam kepala. Sebelum itu terjadi, biarlah aku menikmati candu ini penuh-penuh, menikmati senyummu secara diam-diam, mengagumi jalan pikiranmu secara diam-diam, dan mengharapkan segala yang baik akan dilimpahkan oleh dunia kepadamu, juga secara diam-diam.
Jika kau menganggapku tidak pernah benar-benar mengusahakan hubungan ini, maka kau salah besar, Puan. Kukira kita sama-sama paham bahwa keadaanlah yang membuat posisiku tidak ideal. Kulitku tidak seputih dan mataku tidak sesipit apa yang kaummu harapkan. Andai waktu memiliki tombol yang bisa diputar, tentu aku akan memilih untuk dilahirkan dengan kulit yang lebih terang dan mata yang segaris, dengan demikian kukira keadaan tidak akan sesulit ini. Mencintaimu dengan kondisiku sekarang ibarat berpacu lari dengan menjangan, melelahkan dan mustahil untuk dimenangkan.
Barangkali kekhawatiranku ini suatu saat akan berakhir ketika semua sudah terjadi dan yang tersisa kemudian hanyalah rasa sakit. Saat itu terjadi, setidaknya aku memiliki banyak kenangan untuk dirindukan. Setidaknya, ya, setidaknya aku pernah menjadi alasan setiap tawa dan lengkung senyummu. Setidaknya kita pernah saling menyemangati, saat kau bercerita tentang mimpimu untuk mengejar kemapanan dan membeli sebuah apartemen hanya untuk dirimu sendiri. Tak perlu terlalu besar, namun juga tidak terlalu kecil. Dengan begitu kau purna membuktikan bahwa tak ada yang terlalu muluk untuk dimimpikan.
Kita pernah berbincang tentang Tuhan dan bagaimana agama sebaiknya dimaknai. Tentang orang-orang yang takut mempertanyakan iman dan kenapa topik tersebut begitu tabu untuk diutarakan. Saat itu aku tertegun menyadari betapa berbicara denganmu seperti berdiri di depan cermin sambil melihat bayanganku sendiri. Kita memang jenis manusia yang seringkali dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan yang memberatkan pikiran. Kita juga tahu bahwa itu semua meletihkan, namun entah kenapa kita masih rela berlelah-lelah menembusnya.
Kita pun pernah bertanya apa itu cinta? Bagimu cinta adalah komitmen, sedang bagiku cinta terlalu rumit untuk bisa disederhanakan seperti itu. Aku tahu kau adalah seorang libertarian yang keras kepala, dan oleh sebab itu aku mengangguk dan mengamini saja pendapatmu. Aku tak akan beradu dalih hanya untuk membuktikan siapa yang benar dan siapa yang salah. Sebab kemenangan seperti itu tidak akan membuktikan apa pun selain berbalik dan melukai diri kita masing-masing.
Kita pernah saling berdebat perihal legal tidaknya aborsi. Aku beranggapan bahwa aborsi hanya boleh dilakukan sampai pada tahap tertentu. Tapi kau berbeda, memperbolehkan laku tersebut sampai sang bayi benar-benar lahir ke dunia. Kita juga berdebat tentang makna selingkuh, apakah ia seperti dosa yang akan dihitung saat niat itu timbul atau apakah saat perbuatan itu telah terjadi. Aku tentu saja memilih yang pertama, sebab ketika kau memiliki niat untuk membagi cinta, maka detik itu juga hatimu sudah tak lagi utuh.
Kita pernah saling bersepakat tentang kesetaraan. Bahwa sebenarnya manusia dilahirkan dengan perbedaan kesempatan dan oleh karenanya, hidup menjadi begitu tidak adil. Kita juga bersepakat bahwa memiliki anak adalah soal kesiapan, bukan kesepian, ataupun kesempatan. Maka aku tersenyum tidak keberatan ketika kau mengakui bahwa tak ingin tergesa-gesa memilikinya. Kita sama-sama mengeluhkan lingkar teman yang mulai menyempit, memang banyak secara nama, namun hanya beberapa secara raga. Kita bersepakat tentang banyak hal sehingga lupa jika perbedaan itu sebenarnya nyata, hanya saja sedang mengendap-endap, dan menunggu waktu untuk menunjukkan diri.
Kita juga pernah membicarakan hal-hal sepele seperti musik apa yang kau suka, film apa yang kau tonton, dan buku apa yang sedang kau baca. Soal apakah kau didongengi sebelum tidur, soal lomba menulis yang kau menangkan, atau soal bagaimana les pianomu ternyata berakhir dengan kegagalan. Aku paling suka cerita ketika kau berjanji akan memasak lebih sering, makan makanan sehat lebih sering, dan memutuskan untuk mengikuti kursus bahasa mandarin. Percayalah, apapun yang membuatmu bahagia, merupakan sumber kebahagiaanku pula.
Kita pernah saling menguatkan, bukan lewat doa yang terucap dari mulut masing-masing karena tak satupun dari kita yang percaya. Melainkan lewat kiriman bunga yang tiba-tiba sampai di kantormu saat lelah dengan pekerjaan yang tak pernah usai, atau lewat smoothies cokelat saat kau merasa tidak enak badan. Akupun demikian, dikuatkan oleh kata-kata semangatmu saat kepalaku dihantam keragu-raguan. Barangkali hanya dengan begitulah cara kita menjaga kewarasan di tengah dunia yang hiruk-pikuk ini.
Kita pernah menertawakan tingkah teman sekelas yang curiga dengan kedekatan kita berdua. Mereka dan rasa penasarannya bisa sesekali kita jadikan bahan pembicaraan di malam tenang, saat kau dan aku tak punya bahan perbincangan tapi menolak untuk tidak berhubungan. Kita akan tetap terjaga hingga larut, dan ketika alaramku berbunyi tepat pukul sebelas malam, aku akan mengingatkanmu untuk selekasnya memejamkan mata.
Kita pernah saling bertemu, berdua saja, bukan utuk membahas tugas atau remeh temeh perkuliahan. Kita duduk berhadapan, aku ditemani kopi, dan kau dengan cappuccino tanpa gula. Saat itu aku kikuk setengah mati harus bersikap bagaimana. Satu sisi aku hanya ingin menjadi diri sendiri, di sisi lain aku tak ingin membuatmu heran jika tiba-tiba duduk dengan menaikkan kaki ke atas bangku. Lagipula dadaku gemuruh, ia rindu jatuh cinta dan berpesta seperti itu.
Tapi setidaknya kita pernah, ya, kita pernah. Maka saat semuanya telah usai, biarlah manis dan juga getirnya menjadi sejarah yang akan selalu kita ingat. Sebab kau tahu, hidup itu berjalan, namun kenangan akan tetap diam tak bergerak.
Mon maap mau nanya, harus makan apa sih biar bisa bikin kata-kata sebagus ini?
Coba buku diblender kak, campur air hangat 😄😄
Baaaangg yof, yaampun akhirnyaa aku baca juga soal tulisan ini yang ku kira ga bakal ngeliatnya hihihi.
Tulisannya tetep keren sih bang, bikin pembaca ngerasa apa yang dirasa, bisa ngebayangin juga kejadiannya.
Salut. Keep writing bang 🙂