Jujur kukatakan padamu bahwa Solo telah berhasil membuat hatiku jatuh saat didatangi pertama kali. Kota Istimewa yang tanpa status istimewa ini hadir dalam raut sederhana tanpa hiasan nan dilebih-lebihkan. Mungkin memang begitulah seharusnya sebuah kota, dilihat dan didekati secara apa adanya. Disinggahi, dihuni, dan dicintai secara jujur tanpa harus merujuk pada hal yang serba indah. Seperti kisah yang hendak kuceritakan padamu ini.
Saat itu belum tengah hari namun matahari telah menggantang ubun-ubun, panas nian. Dimana-mana terlihat gedung-gedung hotel yang makin bersolek, berlomba mencakar langit. Aku berhenti persis didepan sebuah gedung berwajah belanda, belakangan kutahu bahwa bangunan tersebut adalah studio rekaman milik pemerintah pertama di Indonesia. Lokananta nan renta, nama ini diambil dari cerita pewayangan, yakni seperangkat gamelan dari Suralaya yang dapat berbunyi sendiri tanpa penabuh.
Sebagai sebuah perusahaan rekaman, Lokananta penuh dengan koleksi lagu-lagu daerah seluruh Indonesia hingga pidato-pidato kenegaraan Presiden Soekarno. Disini juga terdapat beberapa ruangan yang bahkan enggan disebut museum. Tak ada yang tersisa kecuali sisa-sisa kejayaan masa silam dalam bentuk peralatan rekam pita kaset, itupun dengan kondisi tak utuh. Lokananta bagai anak kecil yang terus berteriak dan berlarian ke mana-mana merajuk ingin diperhatikan, hingga kemudian lelah dan menyerah. Gema Gamelan kahyangan ini tak lagi berbunyi sekeras dulu.
Aku merasa kikuk dan serba salah ketika memasuki gudang penyimpanan piringan hitam, jelas karena merasa ikut bersalah. Didepanku terdapat puluhan ribu keping piringan hitam telanjang. Sebagian besar tergeletak begitu saja dalam kardus secara acak di sudut-sudut ruang gudang. Kondisi piringan terlihat berdebu dan tak terawat, terlebih dengan sirkulasi udara buruk dan suhu menyengat. Banyak sudah gerakan peduli yang diinisiasi relawan untuk membantu, salah satunya mencuci dan menyampuli piringan, namun masih jauh dari kata cukup.
Uang dan uang, permasalahan yang tak lekang karena waktu. Perawatan membutuhkan biaya yang tak sedikit sementara pemerintah acuh lepas tangan. Memang jajaran pejabat pernah berziarah kesini sebagai bentuk upaya pencitraan, namun wacana tetap menjadi wacana. Kata-kata mereka bersayap, menerbangkan harapan-harapan yang tak kunjung hinggap sampai sekarang, realisasi hilang entah kemana.
Terlebih di zaman serba digital yang tak lagi mengenal kaset, jalan untuk menyelamatkan Lokananta menjadi semakin remang. Kita gamang jika harus berhadapan dengan masa lalu. Mungkin karena tak lagi mengenali sementara hati enggan mendekati. Lokananta yang dimakan usia mulai mendekati ajal.
Berbagai cara telah dilakukan pengelola sebagai usaha menyambung nyawa, Lokananta bertahan dengan menjual rilis kaset lagu-lagu lama. Sesekali tetap membuka studio rekaman yang bahkan telah jarang disinggahi. Beberapa koleksi terpaksa dijual untuk menutupi biaya operasional. Tak kurang, dapurpun disulap menjadi lapangan futsal yang bisa disewa sewaktu-waktu. Para pengelola Lokananta masih tetap berjuang meski tanpa dukungan, karena mereka percaya mati sebenarnya bukanlah ketika berhenti beroperasi, namun jika dilupakan.
Beberapa periode lalu, para pelaku musik seperti Glenn Fredly, Efek Rumah Kaca, dan White Shoes sempat mengadakan sebuah acara yang bertajuk “Save Lokananta.” Selamatkan lokananta, dengan tanda seru yang berjejer di akhir kalimat. Tentu ini merupakan ajakan bagus untuk bersama-sama menyelamatkan bangunan berstatus situs budaya ini. Namun sayang gaung gerakan ini hanya marak-marak barang sejenak, Lokananta tetap saja hidup bagai sebuah rumah megah yang ditinggal penghuni. Ini membuktikan betapa sementaranya manusia menjaga sesuatu, termasuk semangat.
Selamatkah Lokananta jika terus seperti ini?
Dari Solo yang pelan pelan melupakan sejarah warisan, aku mulai belajar. Mungkin memang begitulah seharusnya mencintai. Seburuk apapun yang dicinta, kita akan selalu mencari celah untuk membela. Mencari sudut nyaman untuk terus memperhatikan. Di suatu kapan yang entah, aku masih menyimpan percaya akan tersedia harap bagi Lokananta kelak kembali berjaya. Bertahanlah.. Lokananta..
*numpang beken ah*
Aseeemmm… baru diposting wes langsung komen, haha 😀
Numpang beken juga ahh… 😀 😀
semua-semua kok pada numpang beken disini?
lha aku numpang dimana?
Aku numpang juga dong 😀
boleh mas
seminggu dua juta ya?
Keduax! :v
selalu keduax :v
tak apalah jadi yang keduax terus yang penting tak jadi dilupakan saja, hampir dilupakan saja rasanya entahlah, seperti nasib miris yang dimiliki si Lokananta yang bahkan aku saja selama ini numpang pijak di sekitaran tanah wilayah keraton Paku Buwono ini pun belum pernah sempat meyapa kenal bang.
hwahahaha, enggak lah
nah looo… yang asli solo aja belum kesana?
masa aku yang harus ngajakin kamu kesana?
wah.. wah.. wah..
ntar aku kesana kamu tak ajakin muter2 deh
hehehe
#Makdesing aku bukan orang Solo lho bang, -_-
Aku anak rantau sama kayak sampean, bedanya aku gak nemu di mana letak tanah kelahiranku sebenarnya karena kini paling tempatnya sudah ditindas beton-beton raksasa tak berbekas, kenangannya mati dilapuk waktu, tanah alas lahirku Jakarta itu bang, masa balita di himpit buki-tebing dataran tinggi Wonosobo,gede berkenalan masa jaya-jayanya nakal di Ngawi, dan sekarang merantau tak tahu ujung putar disekitran karanganyar, boyolali, solo ini. entahlah.. #makjelep
hahaha, asalnya gak jelas berati, manusia nomaden 😀
tapi jadi punya banyak pengalaman idup
hoho, aku ngiri 🙂
Jadi benar ya bang, kutagih kau melunasi janjimu untuk mengajakku muter2 nanti 😛
siaaaapppp..
miris bacanya
smoga akn dtg bantuan,,,
amien,,,
amiiinn, semoga pemerintah bisa ikut menjaga
tak hanya melabelinya dengan situs budaya tapi tak melakukan apa-apa
ahh.. cerita yang menarik..
selama ini belum pernah keliling solo nih..
cm sekedar mampir di rumah saudara disana..
aaahhh… sayang sekali mbak
solo banyak lokasi sejarahnya
aku aja betah disana, pengen balik lagi 🙂
Kemarin sama Mas Halim belum sempat ke Lokananta karena terbatasnya waktu.
Melihat ceritamu, saya khawatir akan menangis jika kapan-kapan Mas Halim menemani masuk ke dalamnya…
iyaaa, kamu bentar banget di Solonya
aku aja beberapa hari disana masih kurang rasanya qy
hehehe 😀
Aku pengen beli vinyl Indonesia Raya 3 stanza itu deh kalau dijual
haha, temen-temenku pada gak tau lo mas kalo sebenernya lagu Indonesia Raya itu 3 stanza
eehhmm… dijual nggak ya, coba tanya ko halim deh
siapa tau dijual dalam bentuk kopiannya mas
Sendu sampe ke relung hati euy bacanyah.. pemilihan kosakatanya keren (Y)..
hahaha, sampai ke relung hati..
makasih mas 😀
Numpang nangis. Sedih bacanya 🙁 #sedotingus
lempar tissue, jangan peperin ingus sembarangan nug, hehe
Lokananta oh lokananta…entah gimana ujung dari semua ini. Semoga konsep museum musik bisa terealisasi, tapi kok agak pesimistis ya yo
hehehe, aku juga pesimis sih aslinya mbak
ngandelin pemerintah ya gitu itu, giliran di manajemen pihak swasta ribetnya minta ampun
duh kah.. embuhlah, haha
Lagi-lagi masalah anggaran. Padahal nilai sejarah Lokananta ini besar sekali ya, Mas.
Miris, Mas. Betapa perjuangan untuk bisa bertahan barang satu tarikan napas itu saja benar-benar mahal. Semoga saja kementerian terkait mau menyisihkan sedikit, satu lirikan saja, untuk peduli akan nasib perusahaan rekaman ini.
Apakah memang benar kata orang, bahwa negara ini sengaja abai akan sesuatu yang bernilai sejarah?
Diksimu, Mas. Top markotop. 😀
kita memang begitu sedari dulu,
jika sekarat begini saling lempar tanggung jawab, giliran hilang baru meratap kemana-mana
kembali ke kitanya juga sih, sebisa mungkin menyuarakan apa adanya
semakin banyak yang tahu, semakin banyak yang peduli
🙂
Lokananta sebenarnya adalah kunci dan gudang arsip musik Indonesia. tapi entah kenapa sekarang seolah terlupa.
benar kak chan, mungkin harus hilang dulu baru kita bisa sadar
Wah Mas, terakhir update blog Januari. Belum ada cerita baru kah?
berati disana banyak menyimpan lagu2 legenda tanah air ya
hmmfff…
miris banget ya mas too bad ;(
sebagai orang solo ikut mendoakan yang terbaik utk Lokananta semoga bisa terus bertahan ditengah kemajuan perkembangan zaman digital. krn bagaimanapun juga sejarah tidak boleh dilupakan.
numpang disini ah sebagai warga solo, hmm..malah aku lewat terus mas kalau disini, temenku ada beberapa yang ngerjain beberapa projek disini juga..tapi sayang saya belum pernah masuk hehe
masuk lah sekali-kali
saya malah kangen terus sama solo
semoga bisa kesana lagi
banyak kok daerah wisata solo yang bisa diurai
saya sering liat piringan hitam di film, tapi kalo megang atau dengenr langsung belom pernah, kayaknya saya mesti kesana deh hehe
perkembangan zaman kak 🙁
Saya sering ke Lokananta buat beli CD. Mungkin kondisinya sekarang lebih baik, ya. Menurut saya lho. Harusnya, banyak musisi yang rekaman di sini. Dan, bebarapa katalog CD dari Demajors juga menambah daya tarik buat ke sini, kok.
mudah-mudahan sudah lebih baik
masih menunggu janji pemerintah yang bakal menjadikan lokananta sebagai museum musik
jika sudah begitu semoga kondisinya bisa dibenahi
tak cukup rasanya kalo yang mengusahakan lokananta cuma dari komunitas
Jadi ingat koleksi kaset Bapakku, karawitan, wayan ki Narto Sabdo menghiasi rak-rak di rumah.
Bagaimana perkembangan sekarang ya?
makasih sharingnya, mga makin sukses.
hidup lokananta
terma kasih sudah di bagi min
dulu saya pengen punya lokannta tapi sampai sekarang belum kesampean