Tak salah jika kadang kita sedikit berfilosofi tentang makna sebuah perjalanan yang telah kita lakukan selama ini. Mereka ulang apa yang telah kita dapatkan dan kita berikan. Dan yang paling penting menyadari serta menata ulang tujuan dan alasan dibalik jauhnya langkah yang telah tertempuh.

Bagi sebagian orang, perjalanan adalah sebuah bentuk eksplorasi mengenal diri sendiri. Memang sudah sifat manusia untuk mencoba sampai di garis batas kemampuan. Mencoba untuk melangkah lebih jauh, mendaki lebih tinggi, atau bahkan menyelam lebih dalam.

Bagi sebagian lainnya, mereka melakukan perjalanan dengan niat lepas dari hiruk pikuk dunia, berusaha lari dari rutinitas berulang-ulang dan membosankan. Mencari tempat sepi untuk sekedar menenangkan pikiran.

Ada juga beberapa orang yang berniat untuk melepaskan hasrat penasaran, memuaskan rasa keingintahuan. Menemukan tempat tersembunyi, mengeksplore keindahan dari satu tempat ke tempat lainnya.

Bahkan ada yang menjadikan ini sebagai sebuah ajang keren-kerenan. Ajang untuk meningkatkan popularitas. Mulai membandingkan satu dengan lainnya. Haus akan eksistensi untuk menjadi penjelajah terbaik.
Aaahh, manusia memang makhluk kecil yang ingin menaklukkan segala.

Dari banyaknya alasan orang melakukan perjalanan, lahir pula beragam nama dan sebutan bagi mereka. Mulai dari turis, traveler, backpacker, flashpacker, penjelajah (eksplorer), pengeliling dunia, nomad, pengembara bahkan musafir. Entahlah saya masuk ke dalam kategori mana, yang jelas pengelompokan ini merupakan kasus lama yang telah melahirkan perdebatan tak kunjung usai.

Perdebatan ini selalu berkutat tentang Turis yang pasti menginap di hotel mahal, sedangkan traveler tinggal dirumah penduduk lokal. Tentang turis yang bawa koper dan traveler yang bawa ransel. Turis naik pesawat, traveler jalan di darat. Turis ikut tour terima jadi, traveler berpetualang sendiri. Turis senang manja dan traveler doyan derita. Turis banyak duit sedangkan traveler pada pelit. Turis adalah traveler amatir, traveler itu turis profesional.
Daftar ini seakan tak ada habis-habisnya. Pertanyaan selanjutnya “buat apa?”

Semua seakan berlomba dalam mencari, entah itu pencerahan, jati diri, atau ketenangan. Bahkan beberapa ada yang masih mencari apa yang mau dicari. Manusia berusaha mendefinisikan, menemukan, mendapatkan, dan memuaskan keinginan pribadi yang lambat laun berkembang menjadi sebuah pemuasan ego secara massal. Semakin banyak dan semakin sporadislah pertumbuhan para pengembara baru.

Mereka (para traveler dadakan) ini berawal dari sebuah misi penjelajahan yang lambat laun dan tak terasa menjadi misi penjajahan tak kasat mata. Bepergian semaunya dan berbuat seenaknya. Merusak ekosistem yang telah lama terawat, lupa akan tanggung jawab. Ditempat keramaian pariwisata, bukan kejadian langka jika menemukan banyaknya tebaran sampah bak taburan bintang di angkasa.

Selain sampah yang berbentuk real, tanpa sadar mereka juga meninggalkan sampah kultural. Sebuah polusi sosial yang dampaknya lebih berbahaya ini akan mendegradasi etika yang melahirkan dan mengundang kerakusan, nafsu untuk mengubah, hasrat menguasai.

Menjabat status seorang pejalan kita dihadapkan pada dilema serba salah. Satu sisi banjirnya wisatawan pada satu daerah dapat menjanjikan kemakmuran bagi masyarakat lokal. Turisme membuat suatu lokasi berlomba untuk mempercantik diri. Menampilkan eksotisme yang dimiliki. Tradisi yang sudah mati dihidupkan, yang hidup dikemas ulang agar lebih memikat, biar palsu yang penting laku, terjual sebagai komodoti.

Satu sisi kita bertanggung jawab akan kerusakan yang ditimbulkan belakangan. Terjadinya pertukaran ide dan perubahan pola pikir membuat masyarakat berfikir kapitalis. Kemajuan ekonomi tak terelakkan, pembangunan infrastruktur tak tertahankan. Komersialisasi budaya menghilangkan keaslian adat yang selama ini dijaga. Semua menjelma menjadi pembaharuan dan peradaban mapan.

Yang dahulunya surga, berubah menjadi neraka. Jika sudah seperti ini, kita akan kembali menuntut negeri-negeri hidup dalam keterbelakangan. Mengharapkan masyarakat lokal untuk menghargai kultur yang sudah hidup di dalam nadi. Supaya tetap “asli”, “eksotik”, dan “misterius”. Menjadi taman bermain dan pelepas dahaga di tengah modernitas dunia. Terlambat dan menyesal, kita akan mulai meninggalkan dan mencari surga baru.

Begitu seterusnya, tanpa henti, mulai dari mengeksplorasi hingga eksploitasi. Bagai makan buah simalakama. Lalu apa yang harusnya dilakukan? semua terjadi begitu saja, mutualisme yang merugikan. Siapa yang patut dipersalahkan?

Disini saya tidak bermaksud untuk mendeskreditkan pihak manapun. Seperti yang kita tahu, tak ada yang mutlak benar dan mutlak salah di dunia ini. Janganlah sampai terkotak dengan kata “Membenarkan” dan “Menyalahkan” yang notabene hanyalah sebuah produk dari jutaan perspektif dan sudut pandang tiap individu.

Kembalilah menginstropeksi diri sendiri. Hilangkan budaya mencari, terapkan kebiasaan berbagi. tanyakan bukan tentang apa yang sudah kita dapatkan, namun apa yang telah kita berikan. Jangan pertanyakan apa yang telah kita hasilkan, namun apa yang akan kita lakukan, untuk kedepan.

Pencarian dalam sebuah perjalanan hanya akan mengantarkan kita pada tujuan, namun jika kita melepaskan semua hasrat pribadi dan mulai berbagi, perjalanan akan menghantarkan kita pada sebuah kebijaksanaan tak bertepi.

2 thoughts on “Memberi Arti Setiap Langkah Kaki”

Leave a Reply