Mimpi tentang berkelana ke negeri jauh dan tak dikenal telah menjadi mimpi yang universal, ditanamkan oleh para orang tua dari berbagai bangsa. Mimpi ini jugalah yang telah melahirkan para pengelana akbar, para penakhluk yang telah mengubah sejarah dunia. Mimpi ini mengawali perjalanan Marco Polo melintasi jalan panjang dari Venesia hingga takhta kaisar Mongol di negeri China. Kata “jauh” membuat Columbus dan para pengelana lautan lain bertahun tahun mengarungi samudera luas. Tak heran jika manusia berlomba untuk terus berkelana menemukan tempat yang keindahannya seperti surga tersembunyi di setiap pelosok semesta.
Keinginan itu sekarang disambut dengan tiket pesawat yang dewasa ini diobral setengah harga (atau bahkan seperempatnya) dan lusinan paket tour menjanjikan “pengalaman tak terlupakan” dijual bak kacang goreng oleh agen-agen perjalanan yang mengaku sangat expert di bidangnya. Berbekal kamera, buku panduan, pakaian seadanya dan tas ransel, para traveler berlomba untuk mendefinisikan arti sebuah perjalanan, melontarkan sejuta slogan untuk sekedar mempertontonkan eksistensi diri atau menarik perhatian orang awam.
Salah satu fenomena peledakan jumlah wisata paling mencolok belakangan ini adalah Gunung Semeru, tanah yang digadang-gadang sebagai titik tertinggi di pulau Jawa. Terlebih setelah ditayangkannya film 5cm membuat makin sporadisnya kegiatan pendakian. Mereka datang dari seluruh penjuru tanah air, berbondong-bondong mengunjungi tempat ini dengan tanda tanya besar terlihat di atas kepala, penasaran dengan panorama pegunungan di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.
Jujur, saya tidak terlalu menyukai gunung. Enam tahun berada di Malang, tak sedikitpun niat terbesit untuk berkunjung ke Mahameru. Semeru adalah tempat terakhir yang akan saya kunjungi di tanah Jawa, itupun jika terpaksa. Saya dilahirkan di kota pinggir laut, dibesarkan di daerah laut. Pantai dan debur ombak selalu membuat saya merasa di rumah. Matapun lebih condong menyukai birunya samudera yang tergradasi warna langit dibandingkan dengan hijaunya dedaunan dan bau pohon.
Alasan yang membuat saya akhirnya berkunjung kesini adalah atas permintaan seorang kawan lama dari negeri tetangga yang sangat ingin mengunjungi Ranu Kumbolo. Dua orang perempuan yang tidak mempunyai sedikitpun pengalaman dalam berkegiatan alam bebas berhasil membuat saya akhirnya merelakan kaki ini menjejakkan tapak di tanah berdebu gunung semeru. Tujuan utama: RANU KUMBOLO
Hari itu setelah perkuliahan usai, saat matahari tepat menggantung di atas kepala, saya dan Hamid meninggalkan kota Malang. Menyusul dua kawan yang telah berangkat lebih dahulu dengan ditemani seorang guide profesional bernama Wahyu. Kita menuju Ranu Pani dengan menggunakan motor. Tak ada angkutan umum yang langsung menuju Ranu Pani. Orang harus berhenti dulu di Tumpang, dua jam dari post pendakian, setelah itu menumpang truck yang membawa sayur ataupun bahan makanan ke desa atas. Tumpang sendiri adalah desa kecil yang tak istimewa. Disekeliling hanya ada jalanan berdebu membelah lembah-lembah, jurang dan sesekali perkebunan apik di sepanjang desa Ngadas.
Sewaktu melintasi daerah Jarak Ijo (1800 mdpl) beberapa ratus meter sebelum memasuki desa Ngadas, saya disuguhi sebuah pemandangan yang tak biasa. Sebuah taxi mogok dan tak bisa meneruskan perjalanan. Benar, sebuah Taxi. Kehadiran taxi ajaib ini sempat membuat saya heran, logika apa yang dipakai si sopir dan si penumpang. Jika perjalanan dari kota sampai Ranu Pani saja sudah dilakukan oleh mereka yang bermanja ria duduk di dalam taxi dengan air conditioner sepoi-sepoi. Derita macam apa yang akan mereka hadapi jika harus bertatapan langsung dengan batu cadas dan jalur semeru yang mengular tak tahu ujung pangkal.
Saya hanya bisa berduka cita pada jiwa yang telah mati ketika mendaki tak lagi mempunyai esensi. Entah terbuat dari apa rasa penasaran mereka hingga sangat mahal harga untuk membelinya. Para pendaki kini seperti pelacur yang menjajakan dan melelang tubuh mereka kepada setiap gunung yang mendapat predikat “Panas” ataupun “Mountain of The Year”. Sangat banyak budaya pendakian yang hilang dan menguap seiring perkembangan zaman. Dimana ketika dulu saya pertama kali mendaki, persaudaraan antar sesama terasa sangat kental. Persiapan dan motivasi juga sudah sangat berbeda.
Nostalgia masa lalu seakan terusik dengan kehadiran para wisatawan anyaran. Memang ini hanyalah semata karena ego pribadi dalam menuntut sebuah eksklusivitas pada suatu kegiatan. Perdebatan demi perdebatan banyak bertebaran. Semua topik tertuju pada budaya yang harus dijaga. Sekarang gunung seakan menjadi tempat ajang antar nyawa. Tanpa pengetahuan akan peta ataupun persiapan logistik dan perlengkapan. Motivasipun juga telah bergeser dari menikmati, mencintai, lalu menjaga berubah ke penakhlukan. Eksplorasi berubah ke eksploitasi. Penjelajahan menjadi penjajahan. Semua cuma demi eksistensi diri. Menjadi selebriti dadakan setelah mengupload foto di jejaring sosial atau situs pribadi yang sebagian besar masih numpang portal gratisan. Beragam pertanyaan berebut, jawaban sekenanya disebut.
Aaaahhhh….
Tak ada kata benar di diriku atau dirimu. kebenaran hadir dalam ruang di antara kita semua.
Silahkan diresapi dengan sudut pandang sendiri-sendiri
Saatnya melanjutkan perjalanan ke Ranu Pani..
(bersambung)
Toss…, saya pun tak begitu menyukai gunung š
gimme five.. toast..
haha
Saya juga, awalnya. Tp skrg ketagihan naik gunung :p
lebih enak renang sama ikan mbak, hehe
naik gunung pemandangannya gitu-gitu aja
:p
sama2 ngebahas semeru, tapi jalanpendaki.com punyaku bahasnya gak sekeren punyamu.. huhuhu :'( keren!
hehe, setiap orang punya cara bertutur sendiri-sendiri mas
š
keep writing, keep learning..
Kebalikan dengan sampeyan. Saya bocah yang dibesarkan di antara gigir gunung & halimun sehingga takut dengan ganasnya ombak laut. Tapi kini mencoba berdamai dengan semuanya.
Saya suka dengan paragraf-paragraf akhir, ternyata kita memikirkan hal yang sama.
Betewe ini kunjungan perdana. Salam kenal š
salam kenal juga mbak, terimakasih sudah mampir
semoga akan ada terus kunjungan kedua, ketiga dan seterusnya, hehe š
tulisan mbak bagus
saya langsung suka waktu pertama mampir
Nice to know u Elisabeth
Semua cuma demi eksistensi diri. Menjadi selebriti dadakan setelah mengupload foto di jejaring sosial..
So true. Instead of be more present in the moment, they are all very busy with their camera. Capturing themselves. Many times.
Anyways, ini jg pertama kalinya saya baca tuntas article Yofangga. Beautifully written! Salam kenal.
naah, ini dia nih, yg ngerebut piala ITB, the best newcomer blog dr tanganq T_T
padaal da peringkat atas, ealah ko akhirnya disalib jauh
gyahaha
selamat datang mbak FIRSTA (eh bener khan? setelah beberapa member itb laen berhasil dengan salah menyebut namanya)
pelanggaran, harusnya mimin(whatsap) lebih sering baca2 n mengayomi blog anggota lain :p
anyways salam kenal juga
semoga betah di rumah sederhana ini
Waah aku mau komen apa yah ini?? Mas yofa udah lengkap dan keren banget nulisnya..dan bener banget yang dieksplorasi malah berubah ke eksploitasi. Kerenlah tulisannya mas š
anak kecil diem aja, huahahahaha
Loh gimana siih aku disuruh ngomen, skrg malah disuruh diem.iisssh :p ketauan kaan hahahha
hahaha, yauda, komen aja š
Ah aku mau kesitu, bulan nov ini mudah2an cuaca bagus biar bisa santai2 ganteng di rankum š
Foto2 nya juara banget, suka liat nya
waahh, musim hujan kak
semoga cerah
muncak ato kumbolo aja kak?
[Motivasipun juga telah bergeser dari menikmati, mencintai, lalu menjaga berubah ke penakhlukan. Eksplorasi berubah ke eksploitasi]
[Aaaahhhhā¦.
Tak ada kata benar di diriku atau dirimu. kebenaran hadir dalam ruang di antara kita semua]
Saya suka dengan 2 frasa tadi Bung Yofanga, keren ! (maksudnya dalam) …
Salam kenal dari Lampung
terimakasih eloratour, semoga berkenan dengan tulisannya š
waahhh
lampung, saya rindu dengan kiluan
sampaikan salam saya untuk kotanya
saya pernah dua bulan stay disana keliling satu provinsi
hehe
Wah mantab Bung Yofangga,
saya sendiri yang orang Lampung belum selesai keliling Lampung … ha ha š
Oke, terus sukses dengan advonturirnya …
Saya sendiri selalu merenungkan makna eksplorasi saat ini yang seringkali jauh berbeda dibandingkan dengan zaman para pioneer dulu. Di beberapa tempat infrastruktur pun dibangun dengan dalih untuk menarik lebih banyak pengunjung yang ujung-ujungnya disebut-sebut akan meningkatkan ekonomi lokal.
Sayangnya seringkali kenyataannya tidak seperti itu.
Bagi saya sekarang yang penting asalkan dampak kepada lingkungan tidak buruk, maka sah-sah saja setiap orang mau berbuat apa. Itu ‘kebijaksanaan’ yang saya pegang sekarang sambil terus belajar dan mencari kebijaksanaan lainnya.
bener kak, pembangunan infrastruktur besar-besaran, dalihnya peningkatan ekonomi, menarik wisatawan
kadang ada yang beneran bisa konsisten membangun, kadang cuma sekedar lepas tanggung jawab menghabiskan anggaran dana daerah
jika suatu saat lokasi sudah mulai rame, kita dihadapkan lagi dengan kontradiksi tidak alami
ada yang mengeluh jika terlalu banyak artificial
lokasi wisatanyapun harus bergelut dengan ancaman kehancuran dan kerusakan lingkungan
(tentu dengan mengalirnya wisatawan yang notabene tak semuanya sadar lingkungan ditambah dengan lokasinya yang tidak siap untuk mempertahankan ekosistem)
jadi serba salah
yang jelas kita mulai dari diri sendiri
jika tak bisa memperbaiki, paling tidak ya menjaga
jangan ikutan ngerusak
š
ya memang pendaki sekarang dengan pendaki 10th yang lalu berbeda ,,, jauh bahkan sangat jauh ,,,,, dahulu untuk mendaki gunung apalagi semeru sangat butuh pemahaman dan bekal yang cukup baik (harusnya sampai sekarang masih tapi banyak diabaikan). saya pribadi sangatlah menyesalkan semakin majunya teknologi malah merusak akal dan pikiran anak muda jaman sekarang,,,, awalnya mendaki gunung adalah salah satu kegiatan olahraga di alam bebas sekarang mendaki gunung hanya sebuah wisata yang katanya semua orang mampu,,, semua orang bisa tanpa persiapan yang matang (korban 5cm),,,, #prihatin yang mendalam,,,,,
sangat jauh, degradasi pola pikir juga sangat berpengaruh
dahulu kalau mau mendaki gunung susahnya minta ampun, persyaratannya banyak, persiapannya segunung
sekarang gunung jadi tempat wisata, wajar saja jika banyak yang antar nyawa
#ikutan prihatin
“Motivasipun juga telah bergeser dari menikmati, mencintai, lalu menjaga berubah ke penakhlukan. Eksplorasi berubah ke eksploitasi”. itu semua “budaya pendakian yang hilang dan menguap seiring perkembangan zaman”…
berharap, masih ada pendaki2 yang mencintai, menjaga, dan melestarikan… dan saya yakin sangat banyak di luar sana..
saya sangat suka sekali sama rangkaian kata mas yofa, especially “Saya hanya bisa berduka cita pada jiwa yang telah mati ketika mendaki tak lagi mempunyai esensi”
terimakasih sudah mampir mas š
cuma belajar menyampaikan unek-unek di kepala
semoga negara yang katanya demokrasi ini bisa dewasa menjawabnya
hehe
Sama-sama mas,…
SEMOGA,..
Tulisannya bikin jleb, membuat merenung diri merenung tentang esensi dari naik gunung. Salam kenal Mas, senang nyasar di blog Anda š
salam kenal juga mbak š
senang udah rela nyasar kesini, hehe
emang sih, sekarang mendaki uda gak punya esensi lagi, cuma sekedar eksistensi
duuhh…
Menarik. Saya jadi bertanya-tanya, berapa persen jumlah orang yang (ngaku) suka naik gunung akan bertahan seandainya semua media sosial lenyap.
Oia, soal 5cm… Saya pernah ngobrol sama salah satu warga Desa Ranu Pani. Menurut dia, jumlah pendaki meningkat banget setelah ada film itu. Membawa keuntungan buat warga? Jelas. Setidaknya untuk jangka pendek. Porter banyak order, misalnya. Tapi, apa pendaki yang datang karena sihir film itu punya kesadaran untuk menjaga diri sendiri dan menjaga lingkungan? Misalnya dengan bawa air cukup dan ga berenang di Ranu Kumbolo? Semoga seperti itu. Semoga juga, film2 bernuansa gunung2an selanjutnya lebih bertanggung jawab untuk ngasih pesan/nilai yang lebih berguna buat penontonnya, dan buat lingkungan. Salam.