Jika kau sebut pagi adalah keheningan, maka itu tak berlaku di pesisir Lamongan. Saat itu matahari bahkan belum menetas ketika kami (Aku, Adul dan Royan) mengunjungi Tempat Pelelangan Ikan Brondong. Sisa-sisa remang malam nyata masih terasa, siluet kapal besar dengan latar merah darah masih menyala-nyala, namun tempat pelelangan itu sudah ramai saja layaknya semarak lebaran. Tak ada yang benar-benar diam, semua nampak sibuk dengan urusan masing-masing, yang seolah tampak tak ada habisnya.
Para pedagang sibuk meneriakkan ikan dagangan, para kuli angkut mondar-mandir memindahkan ikan dari palka kapal masuk ke dalam keranjang, para pembersih ikan, penimbang berat, rentenir, penagih hutang hilir mudik, pemilik kapal, bahkan anjing buluk yang tampaknya bermalas-malasan di sudut ruang pelelangan sebenarnya sibuk mengawasi sisa ikan yang tercecer, menu makan pagi itu.
“Ini namanya ikan Tongkol, yang ini Kuningan, ini Kakap, nah kalau yang itu Tenggiri.” Beruntunglah Royan bersedia menjadi tuan rumah yang baik menjelaskan beragam-ragam jenis ikan yang bagiku sama saja bentuk dan rupanya. Ia berbicara terus berganti-ganti topik dari ikan, aktivitas nelayan, kapal penangkap, bahkan jenis jaring tanpa aku bisa menanggapi. Seketika dunia kelautan menjadi begitu awam bagiku, setidaknya saat tahu bahwa banyak yang belum kuketahui.
“Yang itu namanya Jaten, kecil saja, cuma muat maksimal dua orang. Yang agak besar sebelah sana namanya kapal Ijon-ijon, isinya bisa tujuh sampai sepuluh orang. Paling besar namanya Bokongan, muat sampai tiga puluh orang, kalau melaut bisa sampai dua minggu tak pulang. Alat tangkap kapal itu macam-macam, tapi biasanya Purse Seine, Rajungan, Bubu, dan Pukat. Ada juga yang iseng-iseng memancing, lumayan buat tambahan.” Royan mengisah serupa dayung tak letih melarung sambil tangannya bergerak kesana kemari.
Jenis ikan yang dijumpai makin mengejutkan saat kakiku melangkah masuk ke dalam ruang timbang. Hiu, Pari Manta, dan Marlin terserak begitu saja di atas lantai. Jenazah ikan itu berjajar beratus-ratus dan aku sekarang berdiri lama menatap mata mereka yang sendu, menyaksikan pembantaian satwa dilindungi yang tak lagi terhitung jari.
Sejauh yang kuingat, Indonesia memang telah menjadi surga legal perburuan hiu sejak dulu kala. Tak ada hukum yang benar-benar runcing untuk memutuskan perihal ini salah adanya. Upaya penghentian perburuan juga bukan perkara mudah selama masih ada pembeli. Biasanya bandar-bandar penerima hiu adalah restoran berbintang yang terdapat di hotel-hotel mewah. Pasar masih akan selalu terbuka, penangkapan hiu jangan harap bisa berhenti, dan begitulah ekonomi.
Kompleks memang jika aku harus menjelaskan masalah konservasi. Di sini mereka butuh makan, ada perut yang senantiasa minta diisi. Jangan bicara edukasi, mereka tak peduli asalkan terus dapat uang agar bisa beli nasi. Saat menyadari raut wajahku, tak kalah segeranya Royan menjelaskan bahwa “Biasanya hiu-hiu itu tersangkut di jaring tanpa nelayan berniat menangkapnya.” Lawas betul.
Ditengah gencarnya kampanye penyelamatan hiu oleh para pemerhati, maka gencar pula segala muslihat penangkapan. Alasan demi alasan disiapkan sebagai pembenar. Media yang seharusnya menjadi salah satu pendidik belakangan tunduk pada pemodal. Mereka lebih sibuk memberitakan perkawinan artis dan pelesiran anak menteri tak peduli isu lingkungan mulai sekarat dan meregang nyawa. Pada akhirnya upaya ‘Save Shark’ yang jamak didengungkan hanya akan menjadi sekedar simbol dan slogan agar tampak setidaknya masih ada jiwa-jiwa peduli nan heroik. Aku kadang berpikir, sebegitu laparkah kita hingga halal saja rasanya segala cara?
“Maafkan kami.” hanya itu yang bisa kubisikkan dengan nada penuh penyesalan. Inilah Indonesia, kawan.
wahhh,,, prihatin ya mas,,, kalau Hiu-hiu terus diburu, maaka kedepanya, hiu akan semakin susah ditemui di perairan indonesia,,
benar, hiu makin dilarang makin diburu, yah, gitulah masyarakat kita 🙁
ntar kalau udah punah aja baru pada nyesel
akhirnya lihat tulisan kak Yof lagi. dan secara mengejutkan membahas soal hiu! waaaw! cetar.
saat ini regulasinya memang belum diperbaiki. bulan maret lalu, satu kapal penuh dengan sirip hiu di Papua belum diapa-apai pemiliknya. Karena hanya hiu koboi dan martil yang dilarang, sedangkan yang lain belum ada pelarangan. 🙁
hahaha, itu sudah lama ngendap di file draft ku kak, dan baru sempat dirampungkan tadi malem 🙂
hhmmm.. mungkin memang regulasi kita memang belum siap kak. Tapi mau nunggu sampe kapan?
tuh khan, satu kapal penuh sirip hiu berarti uda berapa banyak yang mati coba
aahh.. entahlah kak..
Jenazah ikan2 berguguran bergelimangan tak ujung habis Kasian bang, tapi hmmmmm titip satu buat dilaukkan dimenu petang ini, nyam nyam nyamm 😮
yaahh.. yah…
gak boleh, mengurangi atau tidak mengkonsumsi hiu sama sekali itu udah merupakan bentuk kontribusi positif loh
hehe, jangan nangkap hiu, jangan beli daging hiu dan jangan makan hiu
okeeh?
Siap kakak :v
Wah lamongan,,,, akhirnya muncul juga,,,,
baca judul atasnya seneng, akhirx miris,,,
baru tw q kalu d kota sendiri ada pasar yg jual hiu,,,,
tp alhamdulillah q belum pernah makan,,,,
hehehe 😀
Wah lamongan,,,, akhirnya muncul juga,,,,
baca judul atasnya seneng, akhirx miris,,,
baru tw q kalau d kota sendiri ada pasar yg jual hiu,,,,
tp alhamdulillah q belum pernah makan,,,,
hehehe 😀
jangan dimakan, kasihan ikannya
hahaha, ini komen dari kapan ya, baru dibales sekarang
Lewat tulisanmu, Tempat Pelelangan Ikan terlihat sangaaaaaat menarik ^_^
Omong soal Hiu, banyak juga ya yang tersangkut jaring 🙁
Btw, yang Tuban kapan? #Eh
jangankan nulis tuban, buka blog aja jarang
maap, maap
sekarang lagi dibenahi semua dulu mbak, ntar nulis lagi
😀
Lho, kapan ini ke Lamongan?
gak bilang bilang -,-
sudah lama sekali mas gallant 🙂
Allah… Jenazah yang gurih, legit, lezat. Ketidaksengajaan tersangkut jaring yang berulang tentu bukan kebetulan kan ya?
Pemerhati konservasi dan kampanye seperti david yang melawan goliath jejaring pemburu hiu…
aduuuh, kamu ngomong apa sih qy, hehehe
Ini memang masalah dilematis, mas. Di satu sisi, ya, hiu adalah satwa yang dilindungi. Aku juga sependapat dengan slogan, “Sharks are not food.”
“Dogs are.” #eh
Namun di sisi lain, seperti yang mas sebutkan di atas, ini adalah cara mereka mendapatkan pundi-pundi uang. Lebih jauh, ada beberapa daerah di pedalaman yang mungkin menjadikan hiu sebagai makanan utama, dan mereka mana tahu tentang program penyelamatan hiu. Mana mereka peduli.
Jadi, keep shouting and doing our works. Perlahan, semakin luas yang menyadari bahwa hiu bukanlah makanan. Kalau orang-orang kaya di hotel itu nggak mau makan hiu semua, hotel juga pasti nggak akan terima hiu 🙂
hwahahaha, dogs are
pernah nyoba gie? katanya enak ya? aku pengen nyobaaa, tapi belum kesampean 🙁
Demi sesuap nasi bukan berarti boleh mengabaikan edukasi. Agak miris bacanya, tapi jama sekarang pengguna internet sudah banyak. Semoga dengan artikel-artikel seperti ini bisa menjadi sarana edukasi yang bermanfaat untuk semuanya ya 🙂
semoga
mari kita berusaha dengan cara masing-masing
sebarkan pengetahuan ini (ngiklan), setidaknya jadi sebuah sarana edukasi kecil-kecilan
hehehe 😀
on behalf of Save Sharks Indonesia, disampaikan apresiasi atas tulisan ini. terima kasih atas kepedulian akan keberlangsungan ikan hiu di ekosistem lautan. and thanks for spreading the words! keep it up! at least, dengan kita berbagi informasi seperti ini di dunia maya, akan lebih banyak lagi orang yang membaca & “ngeh” dengan pentingnya peran hiu. #savesharks
prihatin baca kisah ini, tapi memang beginilah kondisi maritim negeri ini. kami belum lelah & tak akan lelah untuk follow up ke kementerian agar UU perlindungan hiu secara menyeluruh bisa segera terbit.
senang lihat banner itong nangkring di blog ini. ayo blogger-blogger lainnya juga boleh lo pasang banner itong di blog sebagai bentuk dukungan gerakan #savesharks di Indonesia. 🙂
makasih kak fahmi
semoga yang lain juga ikut tergerak
sebenarnya di setiap tempat wisata pasti ada saja permasalahannya, tinggal pejalan mau atau tidak membaginya dengan orang lain
cerita yang bagus-bagus sih boleh saja, tapi sekali-kali cerita tentang hal yang jelek juga tidak ada salahnya sebagai sarana introspeksi
Menunggu update blogmu mas, akhirnya muncul. 🙂
Caramu bertutur tentang #savesharks berkesan dalam dan ngena. Trimakasih informasinya ya, kalau nulisnya pakek hati, yang mbaca keikut alurnya juga, nggak cuma easy reading tok he he. Semoga kebawa #savesharks juga, hati dan aksi 😀
terima kasih sudah menunggu 🙂
Iya inilah Indonesia. Negeri tercinta yang mulai kehilangan banyak kekayaan..
yah, beginilah
maafkan kami, hehe
Sad ending, Yof .. 🙁
Padahal di awal udah sumringah dengan foto warna-warnimu. Ihiks. Beginilah negeri kita. Huft ..
terkadang hidup memang pelik gitu mbak
tapi percayalah, tidak ada yang tidak bisa diubah
mari mulai dari diri sendiri, jangan makan hiu ya mbak 😛
konsep pasti bahwa rejeki sudah ada yg ngatur ternyata masih banyak yg meragukan ya. Sehingga kalau nggak menangkap Hiu, mereka merasa hidupnya akan berakhir karena nggak akan dapat penghasilan.
🙁
rejeki ya dicari mas ndop, tapi dengan jalan yang benar
soal sudah ada yang ngatur atau tidak, itu kembali ke iman masing-masing
hohohoho
lagi2 potret menyedihkan yg ada di negeri tercinta ini ya Mas 🙁 Semoga makin banyak yg baca artikel ini dan mulai peduli #savesharks
semoga mbak
semoga 🙂
hampir sepuluh th lalu aku datang ke sebuah pameran kuliner di Jogja, ada Pak Bondan W, dan ada sate hiu…. seingatku kok yg jualan malah stan dr salah satu dinas???
aduuuuuhhhh
seorang publik figur seharusnya memberikan contoh yang baik
jika pun tidak bisa, jangan memberikan informasi yang salah kepada masyarakat
sedih mengetahui dinas juga malah ikut-ikutan 🙁
ikannya segar2. semua jenis ikan banyak ditemukan disana yah. tp hiu itu walaupun dapat menyerang manusia, tapi kan itu ikan yang dilestarikan sekarang.
Waduh akang ng daerahku
Hmmm
Seperti itulah para nelayan-nelayan disana
Sebagian oknum nelayan memang memburu hiu
Dikarenakan permintaan pasar luar yang begitu menggiurkan
Berhubung itu adalah daerah tempat tinggalku maka aku tau betul seluk beluk wilayah itu.
Semua keluargaku adalah nelayan
Kecuali ayahku yang sudah pensiun menjadi nelayan. Jadi tidak heran melihat pemandangan seperti itu
Suwun bos udah kunjung disana
Dari spot itu ke timur di gunung kendil pasti menarik kang
waaaahhh, ente main ke blog ku
haha, terima kasih
nah, ya itu, karena masih ada permintaan makanya hiu masih diburu
supply and demand
coba aja tidak ada lagi yang mau makan daging hiu, diharapkan perburuan bisa berhenti
Cakep… fotonya. 😀
Terima kasih tom 🙂
jangan sungkan komentari juga foto-foto di blog saya yang nggak seberapa itu, ya, mas Yo. 😀