Tunas matahari mulai menguning, masak ditanak waktu semalaman. Aku yang tak tidur masih saja berusaha mengalimatkan beberapa rasa dan kata sederhana menjadi sebuah aubade, mengalamatkannya pada pagi. Kuharap hari ini langit tetap sejuk dengan terik biru tanpa perangai awan yang selalu saja mengubahnya menjadi platina. Mata sembabku berpendar, tidak saja di Indonesia, disinipun kulihat suasana bandara sudah sesak saja.
Pukul enam tiga puluh aku berjalan ke arah terminal untuk menaiki bis menuju Pham Ngu Lao, sebuah kawasan yang biasanya menjadi tempat singgah pertama para pelancong. Enam empat puluh aku sudah berada di atas bus yang bernomor seratus lima puluh dua. Diluar kuperhatikan jutaan sepeda motor merayap memenuhi setiap sisa ruas jalan. Lampu merah nyaris tiada guna. Bunyi klakson dan bising mesin terdengar tak henti-henti.
Di ujung jalan, ketika bis berhenti melaju, terlihat gedung-gedung dibangun megah namun hijau dikelilingi taman kota. Nyanyian monolog burung parkit berdendang menghiasi pagi. Aku turun di persimpangan pasar Ben Thanh dan meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki. Di bawah sendalku, ada kota yang berdiam diri rela dilangkahi. Setiap langkah yang mulai meragu tentang arah mana kaki akan memilih, kota ini seakan membimbingku.
Melangkahkan kaki di pedestrian kota Ho Chi Minh seakan menyeretku melewati lorong mesin waktu. Benar saja, di penghujung jalan Nam Ky Khoi Nghia, terlihat bangunan enam lantai berwarna putih gagah yang dikenal dengan nama Reunification Palace. Saat Vietnam dicabik peperangan, saat perjanjian Jenewa membelah negeri ini menjadi dua, Reunification Palace adalah istana kepresidenan Vietnam selatan sekaligus pusat komando perang melawan Vietnam Utara. Dengan tatapan canggung namun lekat, kuputuskan untuk memasuki istana yang telah dijadikan museum ini barang sebentar.
Sejujurnya aku tak pernah menyukai segala hal yang berhubungan dengan perang dan penjajahan. Karena barangkali menebarkan rasa takut dan membungkam suara lewat desing peluru sama sekali tidak menyenangkan. Sengit dan sangitnya bau peperangan dapat saja mengambil semua ayah, semua ibu dan semua bayi-bayi penerus generasi. Apa yang menarik dari lesat pesawat tempur pun parade gempuran tank yang siap meluluh lantakkan kota? Perang untuk alasan apa pun adalah perkara paling keji yang pernah dilakukan manusia.
Kumulai perjalanan sejarah ini dengan berdiam sejenak di pekarangan museum. Aku berdiri dan mengamati bangunan bergaya Eropa ini dengan cermat. Sambil mengatupkan mata, kubayangkan Saigon, sang ibukota Vietnam Selatan masih menjadi negeri boneka negara barat. Diluar pagar terlihat Hanoi, Uncle Ho, dan ideologi komunisnya dipaksa puas dengan wilayah utara yang miskin. Berbagai potret peristiwa langsung memenuhi kepalaku. Ini perang tak usai, revolusi bersenjata terus berlanjut, pertempuran sedang bekecamuk.
Derap kaki menggema saat aku melangkah di pelataran bangunan. Montase yang melekat di setiap dinding museum membisikkan segala jejak-jejak sejarah. Ada kisah yang minta didengarkan dan cerita menyeruak minta dikenang. Jika mau sedikit berimajinasi, barangkali kita dapat mendengar benda-benda mati berbicara. Di tengah sunyi ruangan dan hening museum, terdapat jeritan pejuang yang terpasung. Saat tentara Amerika mulai merambah kawasan Indochina dengan dalih membasmi komunis, meletuslah babak baru perang Vietnam sebagai representasi pertempuran ideologi.
Memasuki basement, terdapat bunker komando yang dilengkapi dengan peralatan radio tua, peta strategi, serta foto-foto bersejarah yang dibumbui dengan propaganda peperangan. Aku bisa merasakan titik balik sejarah saat dua tank Vietnam Utara berhasil mendobrak pintu gerbang dan menduduki istana. Kota Saigon jatuh oleh serangan Hanoi yang didukung Soviet. Setelah peristiwa itu, perang berakhir, Reunification Palace menjadi saksi Vietnam bersatu dan membentuk pemerintahan bersama. Tahun seribu sembilan ratus tujuh puluh lima, rakyat bersorak menyambut kisah ini.
Matahari telah tinggi ketika aku memutuskan keluar dari museum. Perut yang dari tadi tak henti berbunyi nampaknya mulai meminta makanan. Berjalan ke utara, aku memasuki taman lain dengan roma getah pepohonan dan wangi serbuk sari bunga. Disini udara seakan berkipas, meniup daun-daun hingga gugur seperlunya. Menjelmakannya menjadi penyubur dan penerus tunas-tunas baru yang tak pernah usai.
Aku berhenti di sebuah gerai makanan dan memesan mie dengan campuran berbagai jenis daging. Kupilih meja paling luar untuk beristirahat agar bisa mendengarkan gerisik daun dan suara-suara berisik angin. Sambil menunggu makanan datang, kuingat kembali perjalanan singkat ke museum tadi. Mungkin aku keliru, mungkin aku tak benar-benar mengutuki perang, barangkali kejahatan memang diciptakan sebagai pelengkap sisi dunia. Atau mungkin aku sebenarnya sedang membenci diri sendiri karena tak bisa mengubah banyak hal. Aku hanya bisa membaca sejarah dan tak melakukan apapun, lantas dengan tidak pedulinya mulai mengutuki kehidupan yang semakin rusak.
Perang mungkin saja bukan sekadar cerita getir tentang pertumpahan darah, melainkan kisah tentang perjuangan yang tidak mengenal kata menyerah. Tentang perlawanan tiada usai enggan tunduk diketiak penjajah. Tentang gegas kemerdekaan, menepati janji kekebasan, dan kebahagiaan rakyat yang dibayar tunai. Barangkali ada yang tertinggal ketika kita hendak mengisahkan sejarah pada masa-masa purna seperti ini. Ada semangat yang tak ikut tertanam dalam sebuah tulisan. Ada takut dan harap yang mungkin hanya bisa dirasakan, ketika langsung berada di arena pertempuran.
Aku, masih harus terus belajar..
Perenungan. Sesama negara yang pernah terjajah cukup lama. Kita berjuang pada masa kini, tak layak disandingkan perjuangan di masa lalu. Tulisan ini menurutku salah satu bentuk tentang cara berterima kasih 🙂
aahh.. kamu harusnya komen di akhir-akhir aja qy
awal komen kok langsung bocorin esensi tulisan, haha
padahal uda disembunyi2in, eh kok tetep ketahuan
😀
aku hanya menunggu perang hatiku dan hatimu kelar trus kita bersatu di pelaminan #eeap
eeeaaaaaa…. bersatu di pelaminan, suit.. suit..