Saat menulis cerita ini, aku sedang berada di sebuah kursi panjang ruang tunggu bandara Soekarno Hatta. Usai melewati beberapa petugas administrasi, akhirnya passport dan tiket penerbangan bernomor QZ 8234 lunas diperiksa. Tak lebih tiga puluh menit lagi langkah kakiku akan melepas tanah nusantara untuk sementara bertamu ke negeri tetangga. Ini adalah perjalanan pertamaku keluar negeri, sendiri saja.
Pada ruang yang dipenuhi oleh sesak dan rasa buru-buru ini semua orang terlihat kehabisan waktu. Di luar sana tetap saja beberapa pesawat rela hilir mudik secara betah. Bandara menyimpan ceritanya masing-masing. Ia menjadi sebuah gerbang pertemuan sekaligus perpisahan, menjadi saksi kepergian ataupun kepulangan. Lampu-lampu itu, papan pengumuman itu, pengeras suara itu telah banyak sekali melepas keberangkatan orang-orang menjemput impian, merajut gagap dan debar masa depan. Sesekali mungkin dengan sedikit air mata haru antar saudara dan kekasih.
Disini, di bandara ini, luapan emosi berubah bentuk menjadi pelukan, eratnya genggaman tangan dan kecupan perpisahan. Doa-doa dipintal berserak memecah langit-langit yang retak. Aku yang sedari tadi melihat rupa-rupa perasaan kemudian terdiam dengan senyum yang ditahan. Ada rasa malu ketika remah-remah ingatan masa kecil menyeru samar, perihal diriku yang dengan seenaknya meminta uang jika pesawat lewat. Sungguh dahulu aku tak begitu tahu bahwa pesawat-pesawat yang berumah di bandara ini adalah ragam bentuk pemintal harapan.
Selaras laju waktu, suhu udara di ruang tunggu terasa semakin dingin. Sepasang kakiku bergetar sejak tadi. Kuharap gegap ini tak terlalu berlebihan, karena yang pertama biasanya menjadi yang paling dinanti sekaligus ditakuti. Perjalanan yang lama telah dipersiapkan ini akhirnya menemukan titik mula. Kutatap sisi demi sisi dinding bandara tanpa tujuan. Debar jantung dengan degupnya yang tak berirama masih sulit tertata. Biarlah kuserahkan saja semuanya pada semesta, aku tahu ia yang paling ahli dalam menuntun langkah kaki hendak kemana.
“Di informasikan kepada para penumpang pesawat dengan nomor penerbangan QZ 8234 tujuan Ho Chi Minh city dipersilahkan untuk menaiki pesawat melewati pintu satu.” Pengumuman keberangkatan telah diteriakkan. Kulihat jam dinding berhenti tepat pukul empat tiga lima, jarang sekali maskapai kita yang gemar tak menepati waktu, kali ini bisa dipercaya. Dengan cepat beberapa orang langsung berdesakan, tergesa menyejajarkan langkah kaki-kaki tak mau kalah. Sedang aku masih duduk disini, mengalah hingga barisan memendek. Menyiapkan diri sekaligus mengucapkan salam pisah sementara pada tanah kelahiran.
Aku memasuki kabin pesawat setelah melewati beberapa lorong dan sapaan hangat para pramugari. Dengan senyum yang mengembang aku menuju nomor kursi yang tertera di boarding pass, tepat sekali berada di tepian jendela. Saat purna semua penumpang duduk teratur, mesin serupa burung ini berjalan pelan menghampiri lantai landasan. Selama beberapa menit para pramugari sibuk dengan kewajibannya menyampaikan peraturan-peraturan dan prosedur keselamatan, mulai dari pelampung hingga pintu darurat. Pilot sibuk dengan kerjaannya sendiri, mengarahkan pesawat, mengambil aba-aba sejauh mungkin dan mempersiapkan kuda-kuda terbaik untuk terbang.
Laju yang awalnya pelan semakin bertambah ketika mesin bekerja maksimal menembakkan letupan kecepatan, tubuhku terbenam semakin dalam pada sandaran kursi. Kita terbang. Pesawat akhirnya mengudara menembus awan-awan tebal di langit Jakarta. Bulir-bulir uap air sesekali merembes di bulat kaca jendela mengirimkan bau tanah yang khas, mengisyaratkan jika bumi masih ada dibawah sana. Diluar hanya putih jernih, semakin tinggi pesawat semakin nyata kulihat langit biru sebiru-birunya, luas tiada hingga. Perjalanan ini akan berlangsung selama tiga jam, kuputuskan untuk rehat dan sejenak tidur.
“Penumpang yang terhormat, sesaat lagi kita akan mendarat di bandara Internasional Tan Son Nath, Ho Chi Minh City. Pastikan sabuk pengaman anda telah terpasang dengan sempurna, menegakkan sandaran kursi, membuka penutup jendela, dan melipat meja di depan anda, Terima kasih.”
Aku terbangun mendengar pengumuman yang biasa disampaikan ketika pesawat hendak mendarat. Lampu koridor segera dimatikan, hanya cahaya redup tanda sabuk pengaman dan escape path light yang dibiarkan tetap menyala. Kegelapan merayap utuh di kabin pesawat. Sembari membersihkan mata yang lengket, kubuang pandangan keluar jendela. Kepulan awan memudar seiring turunnya ketinggian pesawat. Lamat-lamat terlihat gedung mewah berlomba-lomba mencakar langit. Kontras dengan kondisi di dalam pesawat, diluar sana malam terang sangat benderang.
Kota Ho Chi Minh gagah memperlihatkan tubuhnya merona disiram jutaan lampu aneka warna. Pada tahun 1975, kota yang dahulunya bernama Saigon ini berubah menjadi Ho Chi Minh, diambil dari nama seorang pejuang kemerdekaan sekaligus presiden pertama Vietnam Utara. Ho Chi Minh dalam bahasa vietnam sering ditautkan dengan pengertian sang pembawa cahaya. Sangat serasi dengan tampilan kotanya yang setia dibalut warna warni neon penghias malam. Mataku berbinar senang, akhirnya kusingggahi juga dataran-dataran yang selama ini hanya bisa kulihat dari sebuah foto diam.
Waktu menunjukkan pukul delapan ketika memasuki ruang pengambilan bagasi di terminal kedatangan, tak ada perbedaan waktu antara Vietnam dan Indonesia bagian barat. Malam memang belum terlalu renta, namun ternyata sudah tak ada lagi kendaraan umum yang menuju kota kecuali taksi yang dari tadi hilir mudik mencari perhatian. Aku adalah pejalan dengan kantong cekak, selain ingatan, yang tak bisa bertahan lama pada diriku barangkali adalah uang. Jauh di negeri asing membuatku harus lebih berhati-hati dalam pengeluaran. Aku memutuskan untuk menunggu hingga pagi sampai ada bus yang rela dibayar dengan beberapa recehan.
Disini kulihat manusia-manusia berwajah serupa, berbagi warna kulit yang sama. Kusadari bahwa sebenarnya kita tak jauh berbeda. Wajah mereka beragam namun seragam sekaligus. Aku selalu membayangkan perihal Vietnam adalah sebuah negara dengan puing-puing terserak sisa peperangan. Masyarakat kotanya berpenampilan kuno khas negeri komunis dengan celana panjang sederhana dan kemeja putih tulang. Sedang para wanita berambut panjang dipilin rapi klimis dibalut katun pastel dan rok melambai sampai bawah lutut. Mereka menghabiskan hari dengan bersepeda kayuh serasi dengan topi caping bambu ala petani.
Namun ternyata aku ditakdirkan untuk salah. Ho Chi Minh telah melupakan Perang Vietnam yang menyakitkan. Kini kota dan masyarakatnya bersolek genit laksana gadis jelita. Tiada lagi sisa pertempuran, kecuali yang tersimpan di museum-museum kota sebagai pengingat masa lampau. Tak ada lagi sepeda kayuh yang menyemut lantaran jalanan sudah disesaki aneka sepeda motor dengan suara mesin dan klakson yang memekakkan telinga. Pun demikian dengan pakaian, mereka sudah melupakan rok panjang dan menggantikannya dengan celana pendek yang mempertontonkan kemolekan tungkai. Jadilah sebuah parade paha wanita seputih pualam tersebar dimana-mana.
Aku menggeret tas besarku untuk duduk di salah satu pojokan. Ada banyak hal yang bisa kulakukan hingga pagi. Namun sebelum itu semua, bolehlah sebentar kunikmati dulu lintingan tembakau yang dari tadi berteriak rindu dikeluarkan. Jangan tergesa, cukup untuk hari ini, sampai bertemu besok, ketika aku telah siap kembali untuk bercerita..
Izinkan saya meninggalkan jejak komentar kali pertama. Karena saya serasa ikut berjalan dan merasakan demikian ketika pertama kali terbang meninggalkan nusantara barang sejenak. Senang sekaligus gugup. Dan benar, tertahan satu jam di imigrasi LCCT gara2 dikira TKI, hehehe.
Menunggu dengan setia cerita-cerita berikutnya, mas 🙂
hehe, aku gak sempat transit di LCCT qy, langsung ke HCMC
awalnya sih takut-takut bakal ketahan imigrasi
tapi kalo udah lewat gitu lega rasanya 😛
Membaca tulisan ini jadi membuka memori lima tahun silam. Kita memilih destinasi luar negeri yang sama untuk perjalanan luar negeri pertama. Ho Chi Min 😀
wiihh wih, lima tahun yang lalu udah kesini kak?
aku jadi berasa jadi trepeler kemarin sore
hehe
😀
Kota itu, mengingatkanku pada penjelajahanku awal April lalu. Kenangan demi kenangan masih teraimpan dalam ingatan, dari yang manis sampai sepahit jamu godogan. 😀 selamat menjelajah kota sejarah…
aku kesini juga april kak
tapi april tahun lalu 😀
hehe
mau nulis dari dulu kok ya baru moodnya sekarang 😛
Widih masa kecilnya sama,suka minta uang kalau pesawat lewat.Aku kira cuma budaya bocah bocah cilik Jawa.hahaha #masakecilbahagia
haha, sepertinya budaya dimana-mana 😀
bahagia memang sesederhana itu 🙂
Baca ini jadi nyesel udah hangusin tiket ke Ho Chi Minh bbrp bulan lalu hiks
haha, nyesel emang datengnya belakangan kak 😀
kalo di depan namanya jadi pendaftaran 😛
Ajari aku bersolek genit nan jelita kak 🙂
hahaha, gak usah bersolek kak, udah laku kerass