Aku masih sangat kecil kala itu, tahun kedua di sekolah menengah pertama. Pada pelajaran Bahasa Indonesia, kita semua ditugaskan untuk menuliskan karangan tentang harapan dan cita-cita saat besar nanti. Sungguh aku benci dengan pelajaran mengarang. Aku bukanlah pria dengan sejuta kata-kata yang mampu menuntaskan aksara dengan sempurna. Tanganku lebih lihai mengaduk warna dan menatanya di atas kanvas, bukan menderetkan huruf rapi di atas kertas.

Sebagai pengganti karangan, kulukiskan cita-cita lewat gambar, menggoreskan gradasi  pensil menjadi gambaran hitam dan putih. Waktu itu aku menggambar kapal-kapal besar penjelajah. Cita-citaku menjadi mereka, selalu mengarungi dan menyinggahi setiap sudut dunia. Aku kerap membayangkan sedang berdiri di depan geladak sambil memegang sebuah binokular. Memandang daratan nun jauh di seberang sambil berkata “Dua hari lagi kita sampai.” Persis bagai Columbus saat menemukan Amerika pertama kali.
gambar sdSebagai pengganti pula, aku dimarahi sejadi-jadinya, ujung rambutku ditarik sakit sekali. Setelah itu dihukum berdiri didepan dengan kaki terangkat sebelah. Gambar yang kugambar digantung di leher, isak tangisku parau menggantung di tenggorokan. Hukuman nampaknya tak menjadikan guruku puas. Anak nakal yang malah menggambar di pelajaran bahasa Indonesia ini diceramahi tentang macam-macam. “Mau jadi apa kau kelak? Indonesia tak butuh seniman. Belajar saja yang rajin sebab seni disini tak dihargai.” Memang sepertinya semua orang selalu (merasa) lebih tau bagaimana orang lain harus hidup.

Tak terasa waktu melesat bagai anak panah, cepat dan berkelebat melewati berbagai peristiwa. Hari ini telah sepuluh tahun berlalu, aku sedang berjalan memasuki sebuah cafe di kawasan Senado Square, Macau. Kupilih duduk di dekat jendela agar bisa sesekali melesatkan pandangan keluar dan melihat kupu-kupu bermain dalam ayun bunga-bunga Tulip kuning menyala di sela pokok-pokok taman Magnolia.
cafe“Senhorita, eu posso obter o cartão, por favor?” Aku memanggil seorang pelayan untuk membawakan menu.
“Aqui está o cartão, o que você quer encomendar?” Ramah pelayannya menjawab dengan aksen Portugis yang kental sembari memberikan daftar menu dan menanyakan apa yang akan kupesan. Disini bahasa yang banyak digunakan adalah Kanton, namun harmonis berbaur dengan bahasa Mandarin, Portugis dan Inggris.
“Uma xícara de café e tortas de ovo macaenses.” Jawabku sambil menunjuk gambar segelas kopi dan kue tart khas Macau.
“Ok, espere um minuto.”

Telah enam bulan kuhabiskan sebagai pendatang yang langsung terkesima saat didamparkan nasib ke daratan ini. Barangkali memang benar kata Kahlil Gibran bahwa cinta memiliki tenaga memanggil hingga seseorang takkan berdaya kecuali luluh dan pasrah mengikuti panggilannya. Aku yang sangat mencinta seni lukis, berbalik dipanggil dalam bentuk beasiswa dari Instituto Politécnico de Macau. Saat ini aku tergabung sebagai mahasiswa School of Arts dalam Department of Visual Arts. Semenjak itu, hari-hariku disibukkan dengan menggambar ratusan sketsa bangunan kota.

Pesananku akhirnya datang, kopi hitam pekat dan sepiring Egg Tart, panganan yang sekarang menjadi salah satu oleh-oleh favorit jika berkunjung kesini. Egg tart adalah kue tart telur panggang dengan rasa kulit crunchy yang renyah. Rasanya manis dilengkapi karamel dan egg custard yang meleleh ketika dikunyah. Kutinggalkan kopi dan tart yang sedang panas-panasnya barang sebentar, sepertinya mereka berdua sedang tak ingin diganggu, setidaknya untuk saat ini. Aku memilih untuk mengeluarkan selembar kertas dan setumpuk alat gambar.
kue tartAku mulai mendekap kisah purba, tentang cita-cita dan gambar lusuh kapal kayu pengelana dunia. Kujejalkan potongan ingatan tadi pada goresan pensil yang samar. Kertas dengan wajah sembab terlihat pasrah dihujam hitam karbon tajam. Satu kapal, dua kapal, tiga, aku kembali menggambar awal peradaban Macau yang dihuni oleh nelayan dari Fujian dan petani dari Guangdong. Macau tak sekadar sarang gurita yang tidur di utara laut Cina Selatan, tapi surga buat letih pengelana laut segala benua. Macau tak sekedar dentuman meriam perang candu, tapi nafas dari jalur sutera yang membentang dari China sampai Antiokhia.
kapal besarTak heran pengelana negeri jauh menjadikan kota ini sebagai ladang untuk berdagang. Mereka berlabuh di tepian kuil pinggir bandar besar. Kuil A-Ma, disinilah sejarah bermula, sebuah kuil yang bahkan telah lahir jauh sebelum janin Macau lunas berkembang. Selama abad-abad perantauan yang tak usai, A-Ma abadi menjadi tempat sembah dewa-dewa bermacam agama dalam kompleks tunggal. Kuil ini menjadi penyatu banyak ajaran, menjadi pengikat tanpa perlu kita tanya sekat.
a maa maaSekarang Macau telah menjelma jadi negara dengan sejuta pucuk menara. Penuh dengan gedung-gedung besar seperti raksasa lagi tegap memikul langit. Jika malam ini adalah kota cahaya dibasuh ribuan lampu langsat kekuningan berpendar bagai kunang saingi kerlap bintang. Adalah Venetian Resort yang sukses menyeretku sekali lagi menggumam kekaguman. Disini miniatur Venesia lengkap hadir lewat kanal dan gondola-gondola romantisnya. Aku pernah menaikinya sekali, melintasi sungai berwarna tosca terang, ditemani sang pengemudi yang tak letih melarung dayung.
venetianGambarku sudah setengah jadi, kopi yang sedari tadi menunggu kusesap perlahan. Ada sebusur senyum yang kurasakan melingkar di bibir. Mungkin benar jika cara terbaik untuk meraih mimpi adalah bangun dari tidur dan kejar, barangkali matahari pagi dapat membuat jalan lebih terang. Sudut mataku melirik keluar, dibalik jendela terus saja berlalu lalang manusia-manusia yang bertujuan tanda tanya. Sibuk dan tersesat dalam pikiran masing-masing. Senado Square masih tetap menjadi sebuah taman kota dengan nuansa portugis, ditumbuhi oleh beragam bangunan berwarna pastel. Pedestrian lebar dengan corak zebra hitam-putih seakan menghipnotis siapapun yang melewati kawasan ini. Membuat mereka terpana lantas bertanya “Mengapa harus hatiku, Tuhan? Mengapa bukan hanya pandanganku saja yang jatuh di kota ini?”
senadoTak jauh dari tempatku, hanya sekitar sepuluh menit berjalan terdapat The Ruins of St Paul. Salah satu bangunan yang menjadi saksi peleburan budaya para penjelajah. Dibangun pada tahun 1580, gereja Santo Paulus harus rela tiga kali lelap dalam kobaran api dan anyir darah pekik suara berdesing. Sekarang hanya fasade bangunan saja yang masih tetap tegak berdiri di dunia yang tak kenal kasihan.
gerejaDi sudut lain persis dibelakang puing gereja, jika diteruskan melewati jalan-jalan lebar yang bertingkat akan ditemui Kuil Na Tcha. Kuil yang dibangun pada tahun 1888 untuk menghormati dewa Nezha, anak dewa perang yang bertugas sebagai penyelamat. Dalam kebudayaan Cina, Na Tcha atau Nezha berasal dari mitologi Hindu yang di sebarkan di daratan China lewat ajaran Budha. Mempertegas identitas multikultural Macau yang berwajah ganda antara elok timur dan mewah barat. Mungkin perbedaan adalah bentuk keadilan, karena dengan berbeda maka kita dapat menyadari betapa istimewanya tiap-tiap dari kita.
na tchaJadi kenapa harus Macau? Barat memang megah mempesona, tapi ingat, matahari selalu terbit dari timur.

KKKKRRRIIIIINNNNGGGGGG…….
Terdengar dering telepon genggamku nyaring, kulihat panggilan dari nomer tak dikenal.
KKKKKKRRRIIIIIIIINNNNGGGGGGG, aaahh, suara yang menyebalkan. Sudah lama ingin kuganti dering telepon ini. Bunyinya memekakkan telinga.
KKKKRRRIIIIIINGGGG, semakin lama bunyi itu semakin keras, membuatku sakit kepala, seakan dunia berputar. Ada pusing yang aneh menyerangku. Penglihatanku menghitam, aku tak sadarkan diri. Hal terakhir yang ku ingat hanyalah:

KKKKRRRIIIIIIINNNNGGGG….

Bel tanda istirahat telah usai berbunyi nyaring, membangunkanku dari tidur. Ternyata aku tertidur tepat saat jam istirahat dimulai. Dengan agak malas aku mengangkat kepala dan membenarkan posisi duduk, berusaha mengingat kembali mimpi yang baru saja kualami. Terlihat beberapa teman mulai memasuki kelas. Aku segera bersiap  melanjutkan pelajaran hari ini. Tak lama bu guru hadir, semua murid mengeluarkan buku Bahasa Indonesia dari dalam tas. “Anak-anak, hari ini kita akan belajar mengarang. Keluarkan beberapa lembar kertas dan alat tulis kalian. Buatlah tulisan tentang harapan dan cita-cita saat kalian besar nanti.” Begitulah perintah bu guru dengan singkat.

“Mimpi yang aneh,” gumamku dalam hati.

Artikel ini diikutkan dalam kompetisi Why Macau
Semua gambar yang terdapat dalam artikel ini didapat dari kiahkiean.com, wikipedia.com, dan google.com

twitter Macau Facebook Macau terios2twit macau copy

38 thoughts on “[Macau] Penjelajah itu Bernama Harapan”

  1. Saya udah kepoin beberapa artikel peserta kontes ini.
    Dan HANYA ARTIKEL INI yang berhasil memenangi hati saya.
    Dan, semoga hati para dewan juri.

    Kamu…
    Kamu sangat LAYAK dan BERHAK untuk MENANG!

    1. makasih mbak apresiasinya
      tapi sayangnya indonesia masih belum siap memilih pemenang berdasarkan kualitas tulisan
      masih banyak faktor kepentingan penyelenggara
      hehe 😛

      1. Sedih :((

        Eniwei, rezeki memang datangnya dari Allah ya Mas.
        Yakin banget deh.
        When one door of happiness closes, another OPENS!

        Yakin!!

        Iya, saya kepoin yang menang, ternyata kebanyakan cerita PENGALAMAN MEREKA KETIKA BENAR2 LAGI di MACAU. :((

    1. jangan gitu duuunk, tulisan orang jangan pernah bikin kita minder
      justru jadi penyemangat
      orang bisa nulis bagus, masa kita enggak, hehe 😛
      ayoo.. semangat.. semangat..

    1. hehe, sama-sama, kamu juga good luck yah 🙂
      hhmm.. ga tau juga sih, indonesia uda siap apa belum bermain sportif

      harusnya kalo mau ngadain lomba ya paling enggak dikasih tau siapa yg bakal jadi juri, jadi kita tau kapabilitas dia dalam menilai tulisan, masa ngadain lomba nulis tapi jurinya sendiri gak pernah nulis 😀
      kedua, kriteria penilaian dikasi tau, apakah kualitas tulisan, apa banyak2an jumlah follower, apa ganteng2an/cantik2an, apa harus orang kementrian, apa harus ada hubungan sama penyelenggara lomba?
      ketiga, kalopun emang mau nilai dari kualitas, disebutin juga poin penilaian, bisa dari kesesuaian tema, alur cerita, pemilihan diksi, sudut pandang penceritaan de el el.. jadi ntar para peserta juga bisa nilai, yang menang karyanya emang beneran pantes jadi pemenang ato enggak. khan bahaya kalo penyelenggaranya gak profesional ntar malah jadi gunjingan media sosial 😛

      kalo uda bisa dan siap kaya gitu, baru dah bikin lomba, hehe
      *malah curhat

    1. hohoho, di aminin aja dah, timbang ntar ngambek 😀
      khan saya yang artis, kakak dunk yg harusnya beruntung bisa jalan sama thelostraveler ke macau
      *pedenya lebih tinggi

  2. Keren tulisannya. Pas awal baca artikel ini itu gambar-gambar sketsa beneran gambarmu. Semoga menang ya. Kalau menang, kirimin kartu pos dari Macau dong. Hehehe..

  3. kata-kata berbunga-buunganya udah berkurang . .. Daripada ikut lomba, jadi reporter aja? mau? tiap bulan keliling Indonesia nggak pake lomba-lombaan, bersaing sama ratusan yang lain. kirim CV kamu ke email gue, ada temen reporter yang mau pindah bulan-bulan ke depan. media online sih. . . tapi lumayanlah kalau jalan gak pake duit sendiri, nulis di bayarin ha ha ha, , , gimana?

  4. Ehh seperti deja vu membaca tulisan ini.Punya mas Yofa juga tapi lupa judulnya dan dimana.
    Pada akhirnya,semoga menang mas!Ini bagus sekali,sumpah gak bohong dehhh.may the odds be ever in your favor :-)!#crossedfingers

    1. hehehe, hayoooo, dimana coba? 😛
      alurnya kurang lebih sama, tapi ku ceritain dengan cara berbeda 🙂
      bagus kalo juri gak suka tulisanku ya percuma, gak bakal menang juga, hehe

  5. Baca awalnya tak fikir beneran ke macau, e,, ternyata mimpi,,,, sial aku tertipu,,, X_X

    Baca tulisan mu mas,,, selalu menyenangkan,,,
    Semangat pokok’e,,, 😉

Leave a Reply