Setelah melewati perjalanan panjang antara Sape dan Manggarai, akhirnya aku tiba di Labuan Bajo. Saat itu paras pagi masih bermandi embun, sebutir matahari muda merayap pelan di posisinya untuk menandai timur. Sejauh mata memandang hanya samudera biru tiada berhingga, diatasnya membentang gelanggang awan terbang melayang. Segera tercium aroma petualangan di udara, rasa senangku limpah ruah, berapi senyala-nyalanya.
Labuan bajo adalah bandar besar di sudut kabupaten Manggarai Barat. Tempat singgah para manusia berbagai suku bangsa sebelum akhirnya bertolak ke pulau-pulau kecil yang berserak di Taman Nasional Komodo. Disini wisata merupakan denyut yang setia meletupkan nadi kota. Ada yang datang menyelami ratusan kehidupan bawah air, ada pula yang sekedar ingin berjumpa sang naga purba. Aku tak peduli, tujuanku kali ini hanyalah Rinca, sebuah kampung nelayan yang terletak di pulau bernama sama. Kuteruskan langkah ke arah utara menuju pasar ikan, berharap disana bisa mendapat kapal tumpangan.
Di sepanjang perjalanan banyak kulihat gadis-gadis setengah bugil membiarkan tubuhnya melepuh dikunyah matahari. Mondar-mandir dengan kulit putih merah terbakar. Sedang di seberang jalan, tak jauh dari situ, hanya berjarak sepelemparan batu. Kontras dengan rona pigmen kecoklatan, seorang bocah kecil duduk tertegun menjaja dagangan sambil sesekali mengelap keringat di wajahnya. Mungkin bukan karena panas yang melelehkan, namun karena hidup yang melelahkan.
Setiba di pusat pelelangan ikan, aku mampir di salah satu kedai sambil memesan segelas kopi hitam pekat. Aku masih memiliki sekerat waktu untuk tunggu matahari naik tegak sembilan puluh derajad. Sambil menunggu tumpangan, kulihat seorang lelaki dengan rambut warna tembaga datang dari laut, ia tiba dalam sekujur ombak dengan perahu batang gaharu. Matanya pisau dengan kulit legam mengkilat. Tangannya erat menggenggam sekeranjang ikan sako.
Dia turun dari perahu bagai serdadu. Badannya tegap beraroma laut kental. Keranjang ikan tadi dilelang pada penawar tertinggi. Uangnya kemudian di tukar beras dan beberapa keperluan sehari-hari. Setelah agak lama mengawasi, aku memberanikan diri untuk bertanya dan meminta tumpangan, barangkali dia bersedia membawaku ikut serta, atau barangkali tujuan kita sama-sama pulau Rinca.
Tak disangka, perawakan keras bapak nelayan tadi ternyata menyimpan keelokan budi. Ketika aku meminta tumpangan, senyumnya tumpah berserak, memperlihatkan giginya yang putih tersusun rapi. Kebetulan dia juga berumah disana, biarlah dia membawaku tanpa perlu diminta biaya. Aku senang, benarlah jika laut bukan hanya tentang dunia garam dan ikan-ikan. Masyarakat pesisir selalu punya cerita untuk diterjemahkan.
Tepat pukul dua belas, perahu kami meninggalkan dermaga pasar ikan. Laut kala itu tenang tanpa gelombang, kapal dibuat bergerak tanpa goncangan. Selama perjalanan, tak henti dengung angin menyanyikan potongan senandung nelayan. Dinding ujung perahu berlayar menyibak riak-riak kecil air yang berkecipak menimbulkan alunan nada gemericik. Ciap camar terdengar samar-samar. Inilah pesta alam, dua jam lamanya aku dihibur orkestra laut yang tak berkesudahan.
Dari kejauhan, aku melihat bukit demi bukit berbaris rapi menyerupai punuk unta. Permukaannya kuning terang diselubungi rumput dan lebatnya perdu semak. Jauh di lembahnya berderet rumah petak kotak-kotak warna warni. Alunan desir ombak nakal mengecup lengkung bibir pantai. Berulang dan sibuk dengan perangai sendiri, sebentar datang sebentar pergi, sesekali riuh sesekali sepi. Memanglah tuhan pandai menata keindahan, sekelebat namun tegas Rinca terlihat bagai desa-desa dalam hikayat. Aku sampai..
Perahu menepi, aku melompat dan menarik tali tambat sampai ke lepas pantai. Setelah mengucap ribuan terima kasih, aku berbalik dan memulai petualanganku sendiri.
Menurut sejarah yang pernah kubaca, masyarakat Rinca bernenek moyang orang Bajo dari perairan Sulawesi. Jauh sebelum musafir barat datang menyusu ke negeri dua musim, mengemis cengkeh dan berbagai jenis pala, negeri kita sudah sebegitu matang menanak penjelajah, melahirkan para pelaut yang tak kenal takut. Jauh sebelum kapal-kapal kolonialisme datang dengan perangai peperangan. Masyarakat kita telah hafal lekuk tanjung dan musim pasang surut laut.
Namun yang terbentang di hadapanku sekarang sangat berbeda. Jejak kejayaan yang didongengkan padaku sebelum tidur, menjelma rumah-rumah apung yang surut ke darat. Bajo tak lagi suku air. Di tepian pesisir berserak bangkai perahu jadi citra wajah laut muram. Disebelahnya hanya reruntuk gelagar penjemuran ikan asin yang melepas anyir terakhir. Pelabuhan sepi jarang dikunjungi kapal-kapal. Tradisi gemilang terkikis mulai hilang.
Saat berkeliling, aku diundang salah satu warga untuk singgah di rumah mereka. Ajakan ini berbalas anggukan dan senyum lebar dariku. Sewaktu memasuki pintu rumah, langsung terdengar riuh sorak beberapa bocah kecil menyambut. Mereka terlihat sedang duduk mengelilingi sebuah meja triplek penuh tepung. Meja yang sangat kukenal, itu adalah meja karambol dengan bidak tutup botol. Salah satu dari mereka berlarian dan menggandeng tanganku mengajak ikut serta, sepertinya mereka senang kedatangan tamu.
Setelah puas bermain, tuan rumah menyuguhiku kopi panas. Kita berbincang macam-macam. Lewat mulutnya mengisah tentang kehidupan berat. Disini jarang komodo, bagian pulau Rinca yang ramai dikunjungi adalah Loh Liang. Jikapun ada, turis-turis yang datang hanyalah untuk mengarahkan jepretan dan mengabadikan kemiskinan, lalu dibawa sebagai selasar tempat beriang ke negara masing-masing. Dibumbui dongeng arif bijaksana, hidup sederhana dengan kemakmuran suku pedalaman. Kita seakan fosil yang siap dijual mahal dalam paket-paket wisata
Mereka adalah nelayan, ombak bertubuh dalam dirinya, sejak lahir laut tumpah ke dalam hatinya. Mereka menebar jala seperti hidupnya sendiri. Dahulu, mereka tak perlu mencari ikan, ikan yang menghampiri mereka. Namun belakangan peraturan Taman Nasional dianggap sangat memberatkan. Tak boleh menangkap sembarangan, ikan ini dilindungi, daerah ini kawasan konservasi. Berani memancing hukuman langsung tembak mati. Secara tidak langsung mereka dipaksa menepi.
Sebagai gantinya, bekerjalah di Taman Nasional. Jadi pegawai, berseragam, bersafari kuning rapi sekali. Namun untuk menjadi pegawai mereka perlu orang pintar, sedang di pulau hanya ada pendidikan sampai Sekolah Dasar. Kesempatan bahkan telah direnggut jauh sebelum diberikan. Akhirnya hanya orang Manggarai sana yang mencicip rasanya kantor. Disini kita dijepit keadaan. Di atas mantera Taman Nasional, harga iba berubah jadi sangat mahal.
Aku menoleh ke arah para bocah. Entah apa yang sedang berkelindan di pikiran mereka sekarang. Senyum mereka sangat ikhlas tanpa perlu tahu apa yang dijanjikan esok atau lusa. Apakah mereka sempat bercita-cita? Aahh.. sudahlah, kadang memang ada beberapa pertanyaan yang harus di relakan mendekam tanpa perlu ditanyakan. Sebab mungkin saja dapat melukai orang lain, lalu berbalik melukaiku lebih dalam. Kututup perjumpaan, dengan merangkul para anak laut itu semutlak mungkin.
Penuturan yang sangat turut menggugah urat nadi. Bearti ada ironi. Sama seperti cerita-cerita para Haji di kampung Komodo.
hwahahaha, apaan si qy, bahasamu lo 😀
Benar, selalu ada ironi di masyarakat yang hidup di daerah tempat wisata
Hmmm, menurut saya nelayan Rinca ini memang harus diberdayakan oleh Taman Nasional namun bukan sebagai pegawai berseragam lho. Ini seperti memakmurkan komodo namun menyengsarakan manusianya sendiri.
sedari dulu memang sudah begitu
komodo jauh lebih disejahterakan dibanding manusianya sendiri
*miris
Smoga pemerintah terketuk hatinya
semoga, eh, emang ada aparat pemerintah yang mau baca tulisan ini?
hehe
Semoga ada mas,, مِّينَ آمِّينَ…يَرَبَّلْ علَمِّينْ
Sungguh kasihan anak2 itu,,,andai bisa ikut merangkul mereka,,, 🙁 kalimat penutupnya sangat membuat aku iri,,,, 🙁
Suka deh dengan bahasa penyampean nya. Selalu di bikin jatuh hati. Bekerjalh di taman nasional dengan baju kuning rapi dll
aaiiihhhh
kak cumi mau jadi penjaga taman nasional kah?
sini ku rekomendasiin
hehe
Keren mas tulisannya. Jadi meleleh ketika baca kondisi di RInca. Belum sempat ke desa ini.