Remah hujan masih terasa dalam bentuk jalanan becek dan rerumputan basah. Senja telah habis digantikan malam berwarna kelabu. Tak ada Aldebaran, tak terlihat Canopus pun Orion yang memburu Scorpio. Awan menyelimuti langit dengan penuh, namun tidak sedikitpun mengurangi keceriaan Sekaten di alun-alun utara keraton Surakarta. Rangkaian acara yang didaulat hadir sekali dalam setahun ini rutin dilaksanakan untuk memperingati hari lahirnya sang pemimpin, baginda nabi Muhammad.

Lapangan dibuat terang benderang walau tanpa bintang dan pecah retas kembang api. Lampu-lampu dari lengkung bianglala berpendar merah, kuning, sesekali biru. Ruang yang semula lengang disulap menjadi taman bermain dengan rumah hantu dan ombak banyu. Tak ketinggalan warung kopi dan lapak-lapak kecil yang menjual apa saja. Ratusan derap sepatu dari kaki-kaki manusia melantai di tanah sembab, hilir mudik mengabaikan waktu, melupakan lelahnya kerja seharian pun tekanan hutang dan beratnya cicilan.
pasar malamSepasang kakak adik berlarian sambil menggenggam kincir angin kertas di tangan kanan dan kapal klotok di tangan kiri. Raut wajahnya tampak senang tanpa beban, barangkali permasalahan paling berat yang mereka temui hanyalah sebatas lari siapa paling cepat dan badan siapa lebih tinggi. Semoga jiwa-jiwa mereka masih akan tetap menjadi anak kecil yang berbahagia tanpa kenal dunia kejam diluar sana.

Di atas komidi putar, terlihat sosok bapak yang tengah mengenalkan putranya pada semesta, mengajarinya tersenyum, melupakan cara menangis, dan memastikan semuanya akan baik-baik saja. Di sudut lain seorang ibu menggandeng jemari kurus putrinya yang luput digenggam seharian. Membelikannya gula-gula kapas merah jambu agar manis senyumnya terbawa sampai tidur. Ketika dirumah bapak sibuk bekerja dan ibu setia menguntai air mata, pasar malam menjelma menjadi sebuah perekat keluarga, menyediakan tempat menyeduh percakapan.
komidi bianglala pasar malamDi balik temaram lampu yang berwarna warni, aku melihat seorang perempuan berambut sebahu menggunakan gaun berwarna malam. Ia tersenyum-senyum sendiri menggoyangkan kepala ke kanan dan kekiri, cantik wajahnya dihiasi bedak dan gincu merah sekali. Kaki kirinya melipat di kaki kanan, ujung jemarinya sibuk sedari tadi memainkan ujung-ujung rambut. Barangkali sedang menunggu kekasih yang lama tak bertemu. Dapat kupastikan dia telah memanen banyak rindu, menabung asa untuk sesegera mungkin bertemu.

Benar saja, dari sesak kerumunan manusia, datang seorang lelaki bermuka canggung. Setangkai bunga kuning menyala menjadi hadiah sederhana merayakan sua. Senyum si gadis merekah pecah, mukanya bersanding merah. Mereka bergandengan erat bagai tak rela ditinggal barang sebentar. Larut dalam percakapan yang tak usai, barangkali perihal rindu, temu dan sendu. Sebagai penutup, sebuah kecupan mampir di kening, mereka tahu benar bagaimana cara membuat semesta cemburu. Dengan tangan yang saling melingkar di pinggang, mereka pergi melenggang riang.
kora-kora komidi putarDalam situasi seperti ini, kepalaku seringkali berkelana lebih jauh dari seharusnya. Aku membayangkan pasar malam sekaten adalah sebenar-benarnya pesta rakyat. Sebuah hiburan sederhana yang tak dilebih-lebihkan. Suasana bisa menjadi begitu hangat hingga dapat melelehkan hati siapa saja yang membeku. Aku masih ingat benar pertama kali diajak ke pasar malam. Senyum ibuku mengembang lebih lebar dari biasanya ketika menemukan gelas dan piring plastik murah meriah, aku diberi hadiah celengan ayam dari tanah liat. Semua orang senang tanpa ceria yang dipaksakan.

Malam ini, diuriuhnya acara sekaten, ditemani kenangan-kenangan masa kecil, tuhan berbaik hati mengabulkan banyak doa bahagia.

34 thoughts on “Sekaten, Sebenar-Benarnya Pesta Rakyat”

    1. hehe, tapi langitnya lagi mendung kak, coba terang, mungkin lebih bagus 🙂
      aku kesana sama mas halim waktu ke solo kemaren
      hhmmm.. kapan ya bisa ikutan sekaten lagi *malah ikutan nanya 😀

  1. ah bang kenapa tak kau inbox facebookku atau sekadar titip komen pesan di kala bermampir ke blogku memberitahu kau tengah menjejak tanah solo? aku juga sama menjejaknya disekitaran situ -_-

    1. aahhh… iya, hehe
      maap, maap, kelupaan 😛
      tapi ntar bakalan mampir solo lagi kok, nyante aja
      solo bikin ngangenin, kalo kesana kita wedangan yak, ngopi-ngopi santai 🙂

      1. Wah bisa bisa bisa bang, wah nanti temanya buat saya adalah jumpa fans, saya mengidolakan anda lho bang 😀
        boleh dong nyolong2 ilmunya nanti bang 😀
        kalo gak boleh nyolong bakal kurampok sajalah bang wkwkk
        oh ya kapan bermampir ke sini bang? jangan dadak mendadak bang aku orangnya serba tak memiliki kesigapan 😀

        1. waduuhh, kalo jumpa fans mah saya yang gak mau, haha
          anggap aja temen yang lama gak ketemu ngopi bareng
          lebih enak gitu khan 😀
          sama-sama belajar aja, saling bagi pengalaman 🙂
          ntar kalo kesana lagi ku kabari, sippp?

    1. bener, akulturasi budaya yang masih dijaga hingga kini 🙂
      salut sama warga solo khususnya yang masih memegang tradisi
      salam kenal juga mas
      makasih udah bersedia mampir

    1. hehe, makasih kak chan
      ahaaayy, ada yang pernah kencan di pasar malem nih
      sekarang pasar sederhana gini mulai hilang
      mulai gak dinikmati dan diminati

  2. Mas Angga, Ombak Banyu itu sama atau ndak, ya, dengan Ombak Asmara? Aku terakhir ke sana dan yang paling berkesan selain arak-arakan keliling kota, ya, Ombak Asmara sama pertunjukan sulap Ali Baba group (ular berkepala manusia, dll).

Leave a Reply