Orang itu mengajakku bicara dengan bahasa yang sama sekali tidak kumengerti, dan aku bahkan tak tahu harus menjawab ya, atau tidak, atau tidak menjawabnya sama sekali. Sementara itu, ia masih menunggu, dengan tanda tanya besar mengambang di depan mukanya.
Agar tidak berkepanjangan, kuakhiri keadaan canggung itu dengan mengangkat bahu sambil mengucap apologi, “I am sorry, I don’t speak Khmer.”
Punggungnya merosot ke sandaran kursi, mukanya bingung betul. Kulihat tangannya mulai menggaruk-garuk kepala yang kurasa tidak gatal. Diperlukannya untuk bertanya sekali lagi, seolah butuh kepastian. Kali ini dengan bahasa Inggris, “Where do you come from?”
“Indonesia.” Entah kenapa kata yang terdiri dari 9 huruf itu mendadak bangga kusebut. Sebelum-sebelumnya, mungkin pertanyaan serupa akan kujawab dengan Padang, atau Bukittinggi, atau Sumatera Barat, tergantung suasana hati dan lawan bicara. Namun kini lidahku memilih Indonesia. Rasa-rasanya percuma juga di atas bus yang melaju di jalan lintas Kamboja ini aku menjawab Padang, atau Sumatera sekalipun.
“Aah, sorry, I thought you were Siamese.” Terang sudah, ternyata tadi ia mengajakku bicara dengan bahasa Thai. Ia keliru menganggapku orang Thailand, sedangkan aku keliru menganggapnya berbahasa Kamboja, nadanya terdengar sama saja di telingaku.
Setelah itu, pembicaraan kami bisa ditebak. Ia bertanya mulai dari alasanku ke Kamboja, berapa lama, dengan siapa, dan yang paling membuat perutku sakit adalah kenapa orang Indonesia senang berpoligami. Aku menjawab semua pertanyaannya kecuali perihal yang terakhir. Kurasa bukan hanya negeriku, selama negara itu miskin, atau tertinggal, atau memiliki persentase penduduk muslim yang banyak, maka poligami adalah suatu kewajaran, sewajar tidur ketika mengantuk. Selain Indonesia, negara-negara timur tengah maupun Afrika adalah bukti nyata.
Ia menerima jawabanku dengan anggukan kepala persis burung pelatuk, kemudian tak lagi mengajak bicara. Mungkin ia surut kehabisan topik, atau mungkin tak senang dengan penjelasanku sehingga lebih baik tidak memperpanjang-panjang perkara. Entah apapun alasannya, untuk jawaban tadi aku tak peduli pendapat orang. Kami pun diam, kembali menjadi asing dan tak lagi saling mengenal sepanjang sisa perjalanan.
Bus masih melaju dengan kecepatan sedang, tidak cepat juga tidak pelan. Kuedarkan pandangan ke luar jendela, tidak ada lagi padang-padang tandus, sekeliling sudah berganti rupa menjadi kota dan gedung-gedung. Aku tersenyum sendiri, sudah lama kuimpikan perjalanan seperti ini, pejalanan darat membelah negeri-negeri Indochina. Mulai dari Vietnam, terus ke Kamboja, Thailand, lalu turun ke Malaysia dan berhenti di Singapura, sendirian saja, atau kalau boleh disebut, berdua dengan diriku sendiri. Kini aku benar-benar mewujudkannya.
Masih siang di hari yang sama, bus akhirnya berhenti di sanding sungai Tonle Sap, persis di pojok dermaga Sisowath. Jam tangan menunjukkan pukul 11, terlambat satu jam dari waktu yang diperkirakan. Semua penumpang diminta turun dari bus, aku tak terkecuali. Sebenarnya Phnom Penh bukanlah tujuan utamaku, kota ini merupakan pemberhentian sementara di mana aku dan penumpang-penumpang lain diminta menunggu selama dua jam sampai bus lain, yang akan membawa kami semua ke Siem Reap, datang.
Dan dalam waktu yang disediakan itu, aku tahu apa yang harus dilakukan. Kakiku mulai berjalan.
Selain matahari yang terik berlebihan, kesan pertamaku pada kota ini adalah lengang. Bukan lengang secara konotasi atau metafora, melainkan pada makna yang sebenar-benarnya. Penduduk Phnom Penh hanya sekitar satu juta jiwa, angka itu bahkan harus dikali sepuluh jika ingin membandingkannya dengan Jakarta saja. Ditambah dengan udara yang menggelegak, orang-orang tentu lebih memilih menenteramkan diri di dalam ruangan dengan kipas angin atau segelas bir dingin daripada belalu lalang. Akibatnya, selama berjalan jarang sekali aku berpapasan dengan orang lain.
Jauh sebelum mekarnya gedung-gedung dari dalam tanah, orang telah lebih dulu mengenal Phnom Penh dengan sebutan Chaktomuk. Secara lurus nama itu berarti empat wajah, sesuai dengan letaknya di delta pertemuan empat sungai. Masing-masing mereka adalah sungai Mekong, turun dari Laos dan masuk ke Kamboja melalui timur laut. Yang lainnya sungai Tonle Sap, mengalir dari danau besar bernama sama. Keduanya bertumbukan, bertindihan, lalu bercabang menjadi sungai Mekong Rendah dan sungai Bassac yang kemudian menemui hilir di Laut Cina Selatan. Di sepanjang riak sungai Tonle Sap itulah kini aku berjalan dengan langkah pendek-pendek.
Sudah diputuskan, di kota ini aku hanya akan melihat-lihat seperlunya. Tidak ada yang perlu dikejar, terlebih dalam waktu singkat. Kurasa menyenangkan juga jika tidak tergesa dalam melakukan perjalanan. Maka berkelanalah aku dengan pelan dan santai, sesekali berhenti untuk sekadar duduk di bangku taman dan menyelonjorkan kaki, sesekali berkelok ke toko-toko yang berderet di sepanjang trotoar.
Aku sempat berhenti sebentar di depan Wat Ounalom setelah tiga puluh menit berkeliling. Kabarnya Wat itu merupakan kuil terpenting bagi umat Buddha Phnom Penh. Pada mulanya, jika ditelusuri dari sejarah kerajaan Khmer, Kamboja merupakan penganut Hindu dengan Siwa maupun Wisnu sebagai dewa utama. Adalah masa, yang nampaknya mengubah negara itu pelan-pelan. Kini 96 persen penduduknya mengikuti jejak Siddhartha Gautama, menjadikan Kamboja sebagai negara dengan persentase pemeluk Buddha terbesar di dunia, disusul oleh Thailand, kemudian Myanmar.
Persis di depan Wat Ounalom, terdapat patung dua orang tengah berkuda. Belakangan kuketahui mereka bernama Decho Meas dan Decho Yort. Tak perlu menjadi pematung untuk tahu bahwa yang berada di sebeleah kiri merupakan pak tua Decho Meas. Ia mengendarai kuda gagah dengan dua kaki terangkat siap berderap menyusuri padang terbuka. Sementara pria di sebelahnya, Decho Yort, terlihat masih segar dan sehat. Melihat senjata terhunus pada masing-masing punggung mereka, aku hampir yakin patung itu bercerita seputar perang. Bisa jadi mereka masih berada di sengkarut medan pertempuran, bisa jadi di masa damai di mana si bapak tua sedang menasehati generasi di bawahnya perihal perjuangan yang belum belum berakhir, atau perihal keadilan yang mesti ditegakkan.
Apapun itu, harus kuakui bahwa aku sama sekali tidak menemukan literatur tentang kisah kepahlawanan mereka. Beberapa informasi yang kudapat hanyalah cerita prematur tentang kehadiran mereka pada abad ke tujuh belas sebagai panglima militer. Selanjutnya yang bisa kudefinisikan barangkali hanya simbol-simbol yang berusaha diungkap ke permukaan oleh si pematung. Yaitu simbol kuda dengan satu kaki terangkat yang menunjukkan bahwa Decho Yort terluka, dan simbol dua kaki kuda terangkat yang menyatakan bahwa Decho Meas tewas di dalam pertempuran. Lain dari itu, tidak ada sama sekali.
Ganjil, tak terekam sejarah, tidak ada keterangan asal usul, lalu citra mereka berdua tiba-tiba muncul begitu saja dari antah barantah. Nasibnya sama seperti nasib pahlawan- pahlawan lain di banyak negara. Memang di muka bumi ini telah begitu banyak manusia yang dilupakan.
Begitulah, dalam sisa waktu yang tinggal sepuluh menit, aku kembali ke titik semula. Orang-orang sudah berkumpul, menunggu bus ke Siem Reap yang belum juga datang. Singkat betul kiranya perjumpaanku dengan Phnom Penh hingga tak sempat kujatuhkan hatiku padanya. Mungkin lain kali, mungkin lain kesempatan.
Jadi, (kadang) butuh waktu sedikit lebih banyak hingga kemudian memutuskan, “baiklah wahai hati, kujatuhkan sekeping bagianmu di sini” begitu ya? 🙂
whahaha, khan ada pepatah yang bunyinya kalau ga kenal maka ga sayang om 😀
lah ini belum pedekate, eh udah ditinggal 🙁
Maka berkelanalah dengan pelan dan santai… biar sempat kujatuhkan hati padanya :D.
Perjalanan yg menyenangkan pastinya ya om 🙂
iya, makanya kalau jalan-jalan jangan buru-buru 😀
Heheh iya jangan buru-buru… siapaa tau bisa nemu sahabat hati. *eh
Awalnya gak berharap gimana-gimana sama Phnom Penh, kirain kotanya gak ada apa-apa.. eh ternyata asyik juga buat jalan-jalan. suasana kotanya bisa dinikmati banget… dan paling suka lihat aktivitas warna di pinggiran sungai Mekong itu. 😀
Hehehe, kotanya tenang-tenang kaya ga ada masalah apa-apa
coba kalau ga sepanas itu, mungkin bisa betah di Phnom Penh lama-lama
mungkin cukup sebentar, biar lain kali bisa kesana lagi untuk waktu yg cukup lama dan mengenalny alebih dalam 🙂
Iya, lain kali bakal ke sana lagi
pasti banyak tempat yang masih nyimpen cerita
sayang waktu itu waktunya terbatas
wah sayang banget cuma bentar, eh tapi kadang yang sebentar itu suka berkesan
eehhmmm, yang paling berkesan sih kotanya panas banget
hwahaha
trus sepi pengunjung
mungkin aku dateng di waktu yang salah kali ya
Asli dari foto keliatan banget sepinya ya
iya rey
penduduknya sepersepuluh jakarta, bayangin aja
atau mungkin aku nyampe bukan di destinasi wisata kali ya, jadi sepi
eh tapi itu padahal deket grand palacenya Phnom Penh lho
20 menit membaca kisah ini dan jatuh hati pada penuturannya, …
Seperti biasa, selalu puitis, dan dalam …
Love This Bung Yofangga
waduh, lama banget bacanya sampe 20 menit
kepanjangan apa ya tulisannya?
ga ngebosenin khan? 😛
Dua jam itu singkat banget hahaha. Ibaratnya mungkin belum menemukan ikatan batin, apa yang membuatmu spesial. Eh tapi, memang bahasa Thai itu seunik aksaranya 😀
Singkat banget qy, masih lamaan kuliah 3 SKS, haha 😀
ga pengen belajar bahasa Thai? khan aksaranya mirip-mirip sama Jawa
Selama ini, aku pikir Thailand lah negara dengan presentase umat Buddha terbesar di dunia. Mengingat kuil dan bentuk pemujaan Buddha nya yang tersebar dimana-mana. Ternyata justru Kamboja ya.
Kalo secara jumlah Thailand emang pemeluk buddhanya lebih banyak dari Kamboja kak,
tapi kalau secara persentase, Kamboja lebih mayoritas
tapi kalau ngelihat jumlah kuil-kuilnya
emang lebih rame dan terfasilitasi Thailand deh kayanya 😀