Tidak pernah mudah menjadi perempuan, terlebih di negeri yang maskulin seperti Indonesia. Perempuan selalu dituntut untuk bisa menyesuaikan standar konstruksi sosial, dan standar yang begitu tengik itu disebut budaya patriaki. Dalam konsep patriaki, laki-laki merupakan pemegang kekuasaan utama yang berhak mengontrol perempuan atas segala aspek, mulai dari ranah personal hingga ranah yang lebih luas seperti partisipasi politik, pendidikan, ekonomi, sosial, maupun hukum.

Budaya inilah yang kemudian berdampak pada demosi fungsi perempuan sebagai warga kelas dua yang lemah dan harus dilindungi, sementara laki-laki harus selalu menjadi sosok yang kuat dan pantang merajuk apalagi menangis. Gagasan patriaki yang lahir dari ego si lelaki itu sendiri sebenarnya berbahaya karena dapat menghasilkan efek toxic masculinity, yaitu perasaan insecure terhadap maskulinitas sehingga merasa bahwa laki-laki sejati tidak boleh memiliki minat pada kegiatan feminin, seperti memasak, mengurus penampilan, menonton film romantis, termasuk memahami perempuan.

Padahal, tidak ada yang salah jika lelaki menjadi seorang penari sebagaimana tidak ada yang salah jika perempuan menjadi seorang pembalap. Bias antara pemaknaan jenis kelamin dan genderlah yang membuat kita selalu mengkotakkan apa yang harus dilakukan laki-laki dan apa yang harus dilakukan perempuan. Kita menjadi begitu terbiasa dengan konsep patriarki sehingga sering keliru menyebut bahwa gender adalah sinonim dari kelamin.

Jenis kelamin adalah sesuatu yang hadir secara lahiriah. Misalnya bayi berpenis disebut laki-laki, dan bayi bervagina disebut perempuan. Sementara gender adalah perbedaan peran, hak, kewajiban, kuasa, dan kesempatan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat. Jika kelamin bersifat alamiah, maka gender bersifat kultural, hasil bentukan sosial dan budaya. Gender bisa berbeda-beda sesuai dengan letak geografis maupun waktu, gender seseorang dapat berbeda-beda di daerah tertentu, dan di waktu tertentu pula.

Contoh paling umum dari bias gender adalah gagasan soal perempuan sebaiknya bekerja di rumah sebagai ibu rumah tangga yang mengurus kebutuhan anak dan suami, sedangkan laki-laki bekerja di luar sebagai kepala rumah tangga. Di banyak kebudayaan, situasi seperti ini bisa saja berbeda. Bahkan dalam kebudayaan yang sama sekali pun, zaman bisa membuat peran itu berubah. 12.000 tahun yang lalu, saat manusia masih berburu, division of labor mengharapkan laki-laki yang pergi berburu karena lebih efektif. Perempuan, secara kodrat harus menghabiskan waktu untuk melahirkan dan menyapih, untuk itu mereka lebih efektif berada di rumah dan menjadi peramu. Kini, misalnya, jamak saja perempuan bekerja di luar sementara laki-laki yang berada di rumah.

Dibesarkan dengan konsep bias gender bisa menjadi senjata yang menyerang kebebasan perempuan. Kenapa? karena dengan adanya pembatasan seperti itu dapat mereduksi peran perempuan di dalam masyarakat. Sejarah kita telah membungkam perempuan terlalu lama sehingga nilai-nilai masyarakat menjadi asing dengan pikiran dan isi kepala perempuan. Tak heran jika hari ini sering kita temukan komunikasi antar gender berjalan secara asimetris.

Ketimpangan itu salah satunya dapat kita lihat dari bagaimana masyarakat memandang praktik prostitusi. Yang kerap dilupakan, transaksi seksual bernama prostitusi adalah sebuah bisnis dalam sektor informal. Layaknya prinsip ekonomi, ia tidak akan dapat berjalan tanpa adanya permintaan. Para pekerja seks komersial tidak akan rela memberi jasa, jika tidak ada permintaan dari lelaki yang sanggup membayar. Dalam praktik prostitusi, dua pihak yang berkepentingan sama-sama memiliki posisi setara. Satu membutuhkan uang, sementara yang lain membutuhkan kepuasan.

Namun anehnya, pembagian beban tanggung jawab ketika terjadi penggrebekan selalu saja berat sebelah. Pengungkapan identitas oleh media maupun hukuman sosial hanya diberikan pada pihak perempuan, sementara pejabat publik, ustadz, pendeta, pengusaha, atau laki-laki yang menggunakan jasa tersebut nyaris tak tersentuh sama sekali. Perempuan seakan tidak punya otoritas atas tubuhnya sampai-sampai perannya harus diobjektifikasi melalui kacamata patriarki.

Mengapa kita sedemikian benci pada perempuan? Mengapa perempuan diharuskan untuk bersikap santun, suci, dan menjaga diri, sementara laki-laki nakal itu dianggap wajar? Mengapa kita berpikir bahwa pekerja seks adalah sebuah kejahatan yang oleh karena itu layak dipidana? Apakah menjaga kesucian itu hanya tanggung jawab perempuan saja, sementara laki-laki baru diminta bertanggung jawab setelah tak lagi mampu menahan nafsu?

Hal ini menjadi menarik karena landasan berpikir yang digunakan untuk menghukum para pekerja seks komersial biasanya tak jauh-jauh dari ajaran agama dan moralitas. Lalu apakah sebetulnya bisa memidana seseorang atas landasan moral? Seharusnya tidak bisa. Pidana sebagai hukum publik tidak bisa menghakimi tindakan seseorang berdasarkan pendapat subjektif. Setiap orang memiliki kadar moral yang berbeda satu sama lain dan sangat tidak bijak bagi negara untuk mengatur masyarakatnya atas dasar sesuatu yang tidak jelas parameternya.

Berdasarkan deklarasi International Planned Parenthood Federation (IPPF) pada tahun 1994, hak seksual mencakup hak terhadap riwayat hubungan seksual atau perilaku seksual. Hal ini berarti setiap orang berhak memanfaatkan seksualitasnya, dan bebas dari kekerasan maupun pemaksaan. Sehingga mereka yang memilih menjadi pekerja seks harus dilindungi dan dijamin bahwa pilihannya bebas dari kekerasan dan pemaksaan, bukannya dipidana atau dipersekusi.

Sayang, sebagian besar masyarakat Indonesia belum memandang seks sebagai hak seksual yang merupakan hak asasi manusia, sehingga ranah paling privat seperti hubungan seksual sekalipun masih dikurasi. Menurut masyarakat kita yang minim informasi dan daya kritis ini, hubungan seks tidak akan menjadi masalah sepanjang ada dalam lingkup perkawinan. Jika koitus dilakukan tanpa tujuan prokreasi atau bahkan dikomersialisasi, maka Kaum moralis, atau setidaknya mereka-mereka yang menganggap dirinya bermoral akan langsung menghujat perbuatan tersebut sebagai simbol korupsi moral, dan oleh karena itu harus ditolak.

Itulah kenapa orang-orang yang melakukan hubungan seksual di luar nikah, meskipun terjadi atas dasar consent tetap dirundung habis-habisan. Label perempuan nakal akan langsung dilekatkan pada mereka yang sudah tak lagi perawan sebelum menikah. Apa lacur, makna keperawanan telah dikonstruksi sedemikian rupa hingga selalu dianggap paket tak terpisahkan dengan moralitas. Keperawanan dianggap sebagai simbol kesucian, standar moral baik-buruknya seorang perempuan. Di sisi lain, kalau bicara laki-laki, standar moral seperti itu tak berlaku sama sekali. Tidak ada istilah yang sepadan dengan pemaknaan keperawananan perempuan lewat selaput dara.

Sebenarnya ada banyak pemikir yang bisa kita jadikan rujukan perihal kebebasan hak seksual, salah satunya adalah John Locke, filsuf berkebangsaan Inggris. Lewat pemikirannya tentang hak-hak alamiah, ia sangat membantu dalam memahami apa itu hak asasi manusia. Ia mengatakan bahwa segala hal yang melekat pada diri tiap individu adalah kekuasaan masing-masing individu bersangkutan: hak atas hidup, hak atas kebebasan, dan hak atas kepemilikan. Tiada hak bagi siapa pun untuk mengatur tubuh orang lain kecuali sang pemilik hakiki, mengambil atau merampasnya adalah pelanggaran paling besar.

Ketidakpahaman kitalah yang membuat pelanggaran-pelanggaran hak tersebut makin menjamur, sebut saja perilaku pelecehan seksual. Banyak laku yang bisa dimasukkan dalam kategori pelecehan seksual, mulai dari sesederhana cat calling sampai pemerkosaan. Mirisnya, kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia sering kali menemui jalan buntu karena minimnya regulasi. Selain itu, hadirnya reviktimisasi adalah salah satu yang menyebabkan korban enggan untuk bersuara. Misalnya ketika dalam persidangan, korban kekerasan seksual sering disalahkan karena memakai rok pendek, padahal itu adalah hak mereka sepenuhnya.

Budaya patriaki memang dapat menciptakan manusia misoginis yang mengabaikan hak dan keamanan perempuan. Karena begitu rentannya, sampai-sampai pemerintah merasa perlu untuk mengeluarkan kebijakan afirmatif untuk mengedepankankan kesetaraan gender, adanya gerbong kereta khusus perempuan contohnya. Memang belum menembak inti permasalahan karena akan menimbulkan dirkriminasi lain, tapi ini justru melindungi perempuan dari patriarki.

Berbicara lebih jauh, kesulitan menjadi perempuan di negeri ini tidak hanya dirasakan oleh orang-orang yang terlahir dengan vagina, namun juga oleh orang berpenis, tapi memiliki kecenderungan untuk menjadi perempuan. Biasanya kita mengkategorikan mereka ke dalam satu kelompok besar berakronim LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender). Perkara ini jauh lebih rumit, karena selain memahami jenis kelamin dan gender, pemahaman soal orientasi seksual akhirnya menjadi penting.

Terlepas dari agama, hasil survei dan pernyataan publik menunjukkan bahwa banyaknya kebencian terhadap LGBT, dalam kasus ini adalah transgender pria menjadi wanita (waria), muncul dari ketidaktahuan. Kebanyakan orang tidak memiliki pemahaman dasar mengenai orientasi seksual dan identitas atau ekspresi gender. Kebencian dari ketidaktahuan ini yang kemudian termanifestasi dalam bentuk kekerasan maupun pelanggaran hak asasi manusia. Selain persekusi, bentuk-bentuk pelanggaran yang biasanya terjadi adalah upaya paksa pemidanaan, pembubaran acara, hingga pelarangan mendapatkan pendidikan dan pekerjaan.

Dalam laporan yang ditulis International Labour Office (ILO) berjudul “Pride at work: A study on discrimination at work on the basis of sexual orientation and gender identity in Indonesia” dijelaskan bentuk-bentuk diskriminasi terhadap kelompok LGBT di dunia kerja dimulai sejak proses lamaran kerja, tes keterampilan, sampai wawancara. Hal ini tentu saja berpeluang mempengaruhi produktivitas ekonomi suatu negara, karena praktik diskriminasi ini membuat orang yang memiliki keterampilan malah kehilangan kesempatan kerja yang baik.

Sebagai imbas, karena kecakapannya tak terwadahi, kelompok waria akhirnya bekerja di sektor-sektor informal yang sama sekali tak sesuai dengan keahlian mereka, misalnya pekerja seks. Jika sudah seperti ini, maka pembahasan kita akan kembali ke paragraf awal soal kasus prostitusi. Situasi yang serba salah, masyarakat menolak kelompok trans pada pekerjaan formal, tetapi melihat prostitusi waria sebagai hal yang harus diberantas.

Memang tidak pernah mudah menjadi perempuan, terlebih di negeri yang maskulin seperti Indonesia. Atau apakah pada dasarnya, di mana pun, menjadi minoritas, dalam kasus relasi kuasa, memang tidak akan pernah mudah?

One thought on “Menjadi Perempuan”

Leave a Reply