Ruangan hening total ketika dosen penguji ujian menjelaskan bahwa skripsi yang telah kusajikan tenyata sangat memuaskan. Oleh karena itu, aku pun berhak menyandang gelar sarjana teknik di jurusan Arsitektur. Jajaran pengajar yang terdiri dari dua dosen penguji serta satu orang dosen pembimbing tersebut kemudian bangkit berdiri, mengulurkan tangan sembari mengucap selamat.

Diluar ruangan, sejumlah karib mahasiswa yang menyengajakan datang telah menunggu. Aku keluar dengan wajah tak alpa oleh senyum. Entah oleh mereka, namun aku sangat bangga dengan hasil studiku. Betapa tidak, masa perkuliahan yang telah kutempuh selama tujuh tahun akhirnya paripurna. Waktu yang sangat lama hanya untuk menyelesaikan remeh temeh absen dan tugas setumpuk yang bisa dikebut dalam waktu empat tahun oleh orang kebanyakan.

Ketika yang lain sibuk dengan rutinitas kampus, tugas dan asistensi, aku malah menciptakan aktivitas lain dengan bepergian kesana kemari. Kuyakin ilmu tak selalu harus didapat dari balik tembok-tembok universitas. Aku mendapatkan banyak pengalaman baru yang nihil ditemukan dalam berbagai lembaran buku pelajaran. Muara dari semua perjalanan ini akhirnya terkumpul dalam sebuah karya tulis ilmiah yang (jika boleh sedikit pongah) dianggap oleh beberapa orang dosenku kerumitannya bahkan telah mencapai tingkat disertasi.

Mendengar belasan ucapan selamat membuat mataku berkaca-kaca. Aku tahu benar bahwa prestasi seperti ini adalah hasil perbuatan banyak orang. Kubiarkan pikiranku seketika berubah menjadi sebuah mesin waktu yang menjelajah masa lalu. Mengingat-ingat kembali semua kejadian yang telah mengantarkanku ke gerbang kelulusan. Barisan orang-orang ini ternyata cukup panjang, namun di ujung permulaannya tegak berdiri seorang wanita bertubuh langsing semampai dengan wajah yang anggun memperlihatkan ketinggian budi.

Wanita tersebut adalah ibu..
ibuIbu ibaratkan seutas benang layangan. Dia yang membuat anaknya dapat terbang menggapai impian hingga layang setinggi langit, sembari tetap menjaganya dari kejauhan. Tanpanya kita hanya akan kehilangan arah. Jika angin menderu kencang, dialah yang mempertahankan. Jika dirasa terlalu tinggi, dia jugalah yang akan menambatkan dan menjadi jangkar agar tetap menyentuh bumi. Lalu suatu ketika nanti jika hari sudah senja, dialah yang menarik anak-anaknya kembali pulang.

Ibu bagiku adalah rumah dari segala, sebuah citra kasih yang abadi. Tatkala persepsi manusia mengenai nilai-nilai kehidupan berubah mengikuti perkembangan, ibu setia dengan limpahan sayang yang tak mengenal batas, tak memiliki tepi. Mungkin jika memang surga terletak tepat dibawah kakinya, aku rela surgaku berdebu dan pecah terinjak. Agar tegak ibuku berdiri, agar tegar ibuku menatap hari.

Ada sesak yang tiba-tiba terasa ketika ingat bahwa ternyata berbilang tahun sudah aku tak menapaki tanah kelahiran. Semenjak bapak lantang berteriak “Jangan lagi kau pulang kalau hanya untuk habiskan uang,” sejak itu pula sumpahku terucap berpantang pulang. Memang telingaku sudah terlanjur kebal mendengar maki yang tak henti, namun entah kenapa kali itu kata-katanya seolah berubah menjadi lembing tajam yang diacu tepat menghujam ulu hati. Setelah kejadian itu, rajutan doa tak putus dikirimkan ibu lewat udara, sembari bersimpuh di atas sajadah, menengadah. Berharap lunak hati anakknya yang telah mendendam sekeras batu. Setiap tahun ibu tak henti menyuruhku kembali “Pulanglah nak, ibu rindu.”

Keluargaku bukan saudagar kaya raya dengan penghasilan puluhan juta, bukan pula keluarga yang harus bergelut dengan lumpur sawah dan duri ladang. Kedua orang tuaku masuk dalam golongan kasta biasa yang sederhana, hidup tak lebih tak juga kurang. Beruntunglah dimata mereka berdua pendidikan mendapat tempat nomor satu. Sekolah setinggi-tingginya hingga gelar berderet tersemat di nama setiap anak-anaknya merupakan mimpi yang diidam-idamkan.

Satu, dua, tiga, empat tahun berlalu, kuliahku tak juga rampung. Neraka menggelegak dibenak bapak. Dia mulai mengutuki cangkang kepalaku yang dia pikir tak berisi hingga harus makan waktu lama tuntaskan studi. “Jangan sekali-kali kau tiru laku abangmu,” Adikku yang juga telah masuk masa kuliah pernah mengadu demikian. Retak yang dipendam lama akhirnya pecah, bapak malu punya anak yang mubazir umur, kiriman bulanan berhenti, kehadiranku dirumah tak dikehendaki. Akupun enggan pulang sebelum tuntaskan kuliah, mulai menabung sedikit-sedikit untuk kelak bisa pulang sendiri, dengan uang sendiri.
familyKini gelar sudah ditangan, sekarang aku berada di atas bus yang melaju pelan membelah pulau Sumatera. Setelah tuntas 17 jam digoyang hentakan besi rel kereta, kini menanti 47 jam perjalanan darat berkelok menyusuri punggung bukit barisan. Malam sudah dimakan gulita, namun jalanan remang terlihat terang karena tiang lampu jalan berjejer rapi bak prajurit siap perang. Ada gerimis yang turun dari langit. Lewat jendela aku melirik pendar bulan malu-malu menggantung pucat dibalik awan gelap. Wajah ibuku terpantul di sinarnya.

Bibirku menyunggingkan senyum. Seberapapun habisnya hariku dimakan kesibukan-kesibukan yang dibuat sendiri, keluarga memang tetap menjadi tempat tambat segala langkah kaki, selalu menjadi rumah tempat berpulang.

Aku berbisik pelan, “Ibu, Aku pulang.”

Tulisan ini adalah bentuk partisipasi thelostraveler.com sebagai salah satu bagian dari keluarga besar Travel Bloggers Indonesia dengan tema #TentangPulang #Mudik #Pulang #Kangen.
Silahkan kunjungi karya lainnya di:
Farchan Noor Rachman – Kepulangan Yang Agung
Danan Wahyu Sumirat – Mudik, Rindu Rumah
Olyvia Bendon – Merangkai Serpihan Kenangan di Peunayong
Bobby Ertanto – Tradisi Mudik di Keluarga Batak
Fahmi Anhar – Tradisi Lebaran Di Kampung Halaman
Vika Octavia – Pulang, mengenang Kakek
Parahita Satiti – Mudik atau Tidak, Adalah Pilihan
Rembulan Indira Soetrisno – Yogyakarta, Pulangnya saya
Sutiknyo – Sebuah Cerita tentang Pulang
Indri Juwono – Cirebon : Mudik dan Perut yang Manja
Matius Teguh Nugroho – Selalu Ada Jalan Untuk Pulang
Taufan Gio – Lebaran Terakhir Bersama Nenek

65 thoughts on “Ibu, Aku Pulang”

  1. Pulang selalu menjadi pilihan terbaik. Ketika segala sesuatu diluar sana tidak pernah mengerti, pulang selalu menjadi jawab atas ketidakmengertian itu. (*Apa sihh…

    Btw, selamat pulang Mas Yofangga, Selamat menjadi sarjana setelah 7 tahun, SD aja 6 tahun ya… hehehe

    Saya senang baca2 blog para blogger traveler, menyenangkan sekali berjalan2 bersama blog mereka. hehe, salam kenal mas nya 😀

    1. keluarga adalah rumah yang tak akan pernah berpindah, pulanglah kalau sempat 🙂
      hahaha, SD aja 6 tahun, masak kuliah lebih sebentar dari SD? (pembelaan :D)
      Makasi uda mampir yak, salam kenal juga

  2. Mantap bang… pendidikan internal dan pengalaman eksternal. Seru sekali yah.
    Kita punya kesamaan bang. Suka traveling juga.
    Saya menyelesaikan studi ku 5 tahun, tapi bang yofangga masih menang heheheh

    Izin nanya, bang yofangga kan jurusan arsitektur tapi kosa kata yg di pakai di postingan blognya luar biasa. Baku, mudah di pahami, penyusanan katanya menarik. Sy penasaran, bagi tipsnya bang 😀

    1. hehe, menang apa nih?
      menang lama kuliah? haha, kalo yang itu jangan ditiru
      gak baik kuliah lama-lama 😛

      hhhmmm, yang penting banyak baca aja
      kamu adalah apa yang kamu baca, semakin banyak km baca, semakin banyak tabungan kata-kata
      abis itu, terus menulis, proses itu penting
      🙂

    1. hhmmm, tiap ketemu pasti nyuruh potong rambut kak
      hehehe 😀
      tapi aku gak mau, yaaah, itung2 menciptakan keributan kecil yang bakal dirindukan 🙂

  3. Hai dek Yo …. Mampir ya (Habis blog waloking kemana2 trus akhirnya nyasar ke sini juga, hehhehee)

    Lulus tahun 2014, kuliahnya 7 tahun, berarti … kamu … angkatan … 2004?

    Kalau iya, harusnya kita pernah ketemu di kampus dulu, hehhehhee. Selain kuliahnya yang satu gedung, aku dulu kalau asistensi selalu di rekording arsitek (yg sekarang rata dengan tanah, hix)

    Jadi kebayang “bobot” skripsimu dek Yo #SetorJempol

  4. sempat terbersit untuk melakukan perjalanan panjang ketika masih kuliah, belajar darinya, lalu menuliskannya menjadi skripsi yang berkualitas, tidak hanya sekadar syarat lulus. tapi, berbeda dengan bang yofan yang berhasil mewujudkannya, saya masih terlalu takut membuat bapak saya marah. hiks.. makanya sekarang masih berpusing-pusing mencari topik yang memuaskan hati, sekaligus tidak membuat bapak kecewa lagi (karena sempet PHP bilang pengen lulus cepet tapi ternyata gagal karena topik saya yang sebelumnya ditolak) hehe.

    anw, congraduation bang yof 🙂

    1. hehehe, semangat buat skripsinya yaahh, skripsi yang bagus itu ya yang selesai 😛 (kata dosenku gitu, karena kelamaan cari data)
      berkualitas atau enggak, tergantung kitanya mau membedah lebih dalem ato enggak
      good luck 🙂

Leave a Reply