Ratusan tentara di sebelah kiri, ratusan pemberontak berwajah penuh gemuk berada di sebelah kanan. Mereka berhadap-hadapan namun tak saling lihat, satu kelompok di balik puing kuil, kelompok lain di dalam gerumbul semak, keduanya dipisah jarak ribuan langkah. Masing-masing tengkurap bersembunyi memasang mata seawas elang, tangan menggenggam sepucuk senapan jarak jauh berlaras panjang, dengan teropong pendek, dengan telunjuk yang setia menempel pada picu.

Begitulah suasana perang saudara Kamboja saat pemerintah menghadapi kelompok Khmer merah binaan Pol Pot. Intai-mengintai telah berlangsung seharian dan rasanya bisa berlangsung selamanya jika salah satu senapan tidak meletus dan moncongnya mengeluarkan asap tipis yang segera hilang ditiup angin. Tembakan pertama itu kemudian memicu tembakan lain hingga udara dipenuhi oleh bau mesiu dan desing peluru. Sebutir, dan sebutir, dan sebutir lagi. Tidak ada yang terbunuh oleh rentetan itu, tepatnya belum. Pelor-pelor meleset, mengenai tiang-tiang batu dan dahi sang Buddha, melubanginya hingga dalam.
Lima ratus tahun sebelum kejadian itu, adalah Jayawarman VII yang bersusah payah memerintahkan pembangunan kuil yang kemudian ditembaki oleh pasukan dan pemberontak itu sesuka hati. Barangkali jika raja pemberang itu masih hidup, maka mulutnya pasti sudah menyerapahi mereka dengan tulah yang tak hilang. Bagaimana tidak, kuil bercorak Buddha itu boleh disebut sebagai sebuah mahakarya langgam arsitektur barok Kamboja. Langgam yang dicirikan dengan mencampurkan segala jenis bentuk arsitektur, dan merupakan pencapaian paling purna ahli bangunan Angkor dalam berhitung dan mengukur.

Kini aku berdiri di tempat yang sama. Bermuka-muka dengan relief wajah gergasi yang bolong. Telapak kananku mengusap-usap dahi patung batu itu, merasakan bekas-bekas peluru yang masih juga kekal. Prasat Bayon, meskipun sudah tahu kuil ini sebelumnya melalui cerita-cerita yang kubaca, tapi menyaksikannya secara langsung adalah pengalaman berbeda. Bahkan kuakui kawasan ini berhasil membuatku diserang keterpukauan sejak pertama kali memasuki gerbang selatan Angkor Thom.
Ada empat paviliun dan empat gapura yang bisa digunakan sebagai pintu masuk kuil Bayon, dan seluruhnya terletak di delapan penjuru mata angin. Untuk mencapai salah satu paviliun ataupun gapura tersebut, aku hanya perlu mengayuh sepeda sejauh 800 depa melewati tanah yang sudah ditutupi oleh potongan batu-batu andesit pipih dan disusun menjadikannya jalan nyaris selebar sembilan hasta.

Saat dibangun pada abad ke 12, Bayon dibuatkan tiga lapis pagar batu. Jika diurutkan dari lapis terluar hingga lapis terdalam dan dilihat dari udara, maka Bayon ibarat sebongkah kuncup teratai nan hendak mekar. Masing-masing pagar dihiasi oleh relief Apsara dan pahatan wajah tersenyum yang menghadap ke segala sisi. wajah-wajah Avalokitesvara itu berjumlah 216 dan tersebar di 49 menara. Kini, sebagian patung batu itu memilih kokoh berdiri, sebagian lainnya terpaksa menyerah oleh waktu, hilang kepada entah.
Layaknya kuil-kuil lain di kawasan Angkor, Bayon hari itu kurasakan begitu riuh layaknya pasar malam. Bermacam-macam interaksi terjadi secara acak begitu saja. Seorang anak kecil menjual cinderamata pada sepasang kekasih yang sedang berteduh di salah satu sudut, atau biksu yang sibuk berdoa sedang di sampingnya beberapa pengunjung wanita berbaju warna-warni tengah berpose seolah-olah sedang mencium pipi maupun bibir patung sang Buddha. Ganjil dan menggelikan di saat bersamaan. Berlibur mungkin menjadi sebuah eskapisme baru bagi mereka, melihat apa yang sehari-hari tidak bisa dilihat, lalu seperti sebuah kewajaran, muncullah sikap kekanak-kanakan yang berlebihan.

Setengah jam berkeliling, kukira sisa perjalanan di kuil Bayon akan tetap menjadi perjalanan yang menyenangkan dan baik-baik saja. Dugaan yang ternyata keliru, perasaanku justru kemudian campur aduk. Pasalnya, setiap langkah kakiku seakan diawasi oleh tatapan mata ratusan patung-patung laterit hitam. Lihatlah di balik tekukan bibir Buddha itu, sebenarnya ada teriakan dewa Siwa yang kuilnya diluluhlantakkan. Dan semakin lama berkeliling, semakin aku tak bisa lagi membedakan mana senyuman dan mana seringai.
Memang Bayon dahulu diniatkan sebagai tonggak berubahnya agama resmi kerajaan Khmer dari Hindu menjadi Buddha. Namun itu berasal dari keputusan Jayawarman VII secara sepihak. Barangkali ia keliru menganggap iman adalah apa yang bisa ditentukan sebebasnya oleh seorang raja dan diamnya masyarakat adalah sebentuk penerimaan, tanpa pernah menyadari bahwa dalam diam, rakyatnya memendam keluh sampai di titik paling jenuh.

Akhirnya waktu juga yang membuktikan bahwa permasalahannya tidaklah sesederhana itu. Jauh setelah Jayawarman VII digulingkan oleh Jayawarman VIII, Khmer dikembalikan lagi pada Hindu, dan Bayon ditambahkan relief Apsara menari hingga lingga yoni. Dari situ kita tahu bahwa agama adalah perihal kebebasan memeluk, bukan apa yang dititahkan begitu saja.
Aku lantas teringat dengan perkara serupa yang sering terjadi di negaraku. Bahwa ada yang aneh dalam cara pikir sebagian orang, yang terus menerus mengibarkan bendera hijau sambil mendesak terbentuknya Indonesia sebagai negara Islam. Agaknya mereka lupa bahwa Indonesia adalah bhineka. Meniadakan atau menghendaki perbedaan disatukan dalam sebuah landasan agama adalah pola pikir yang bengkok. Sedang menganggap bahwa daulah khilafah adalah pemerintahan tanpa cacat yang akan menjadi jawaban atas segala permasalahan negeri adalah kebengkokan lainnya.

Beda kasus, pemaksaan yang sama. Biasanya aku hanya akan tersenyum melihat hal itu terjadi dan memutuskan untuk tidak acuh. Aku sudah kepalang kebal dengan omong-kosong keagamaan. Jangan salah, aku ikut mengamini Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin dan tidak sedang menyebarkan kebencian terhadap satu kelompok. Namun ketika mencoba untuk berpikir logis dan belajar pada sejarah, menganggap apa yang dianut sebagai norma paling sempurna dan memaksakan kehendak pada siapapun tidak akan pernah melahirkan sesuatu yang baik.

Di titik ini aku berhenti untuk sejenak membaca lagi apakah tulisanku masih relevan atau tidak. Tentu naif membandingkan apa yang terjadi sekarang dengan yang dulu, banyak konteks yang jelas berubah. Lagipula, sedikit banyak dari golongan yang menginginkan perubahan ideologi itu jelas teredukasi, mereka terlalu paham dengan konsep yang mereka usung untuk kemudian kurecoki lagi dengan pemikiran dangkal tentang bagaimana cara bernegara yang baik. Namun kritik tetaplah kritik, yang bisa menjadi susu atau tuba tergantung pada bagaimana sikap para penerimanya.
Kembali ke kuil Bayon. Bijakkah apa yang telah dilakukan oleh Jayawarman VII? Tentu tidak, tapi jika waktu boleh berulang tepat ketika ia tengah membangun Bayon dan mengubah Khmer menjadi Buddha, percayalah aku tidak akan sedikitpun mencegah. Sebab biarlah kesalahan itu menjadi sejarah, agar kita bisa belajar, dan memutuskan untuk mengambil jalan yang berseberangan.

23 thoughts on “Di Balik Senyuman Kuil Bayon”

  1. Masih nyempet-nyempetin bahas teman yang :itu lagi”, tapi dijabarinnya dengan cara yang cukup menarik. Kritik alus. Paling suka bagian ini >>> “Aku lantas teringat dengan perkara serupa yang sering terjadi di negaraku. Bahwa ada yang aneh dalam cara pikir sebagian orang, yang terus menerus mengibarkan bendera hijau sambil mendesak terbentuknya Indonesia sebagai negara Islam. Agaknya mereka lupa bahwa Indonesia adalah bhineka”

    Btw, eskapisme itu apa, sih? *mbaknya nemuuuu aja kata baru buat ditanyain*

    #ditimpukKBBI

    1. Hwahaha, masih sensitip sama isu ginian soalnya mbak
      rata-rata orang di sini ngomong masalah ini mulu, makanya sumpek
      kalo menurut KBBI ini sih
      : /es·ka·pis·me/ kehendak atau kecenderungan menghindar dari kenyataan dengan mencari hiburan dan ketenteraman di dalam khayal atau situasi rekaan

  2. Saya setuju dengan pendapat ‘agama adalah perihal kebebasan memeluk, bukan apa yang dititahkan begitu saja’, sejatinya tak ada yang boleh mengusik privasi individu dengan Tuhan yang diyakininya. Soal, eskapisme, sepertinya juga mulai menjalari masyarakat Indonesia. Hanya, tak banyak yang menyadari. Bisa jadi karena mereka tak mengerti istilahnya.

    Ngomong-ngomong mereka perempuan tulen kan?

    1. benar, agama adalah kebebasan memeluk dan bersifat sangat pribadi
      ga ada satupun manusia yang bisa memaksakan kehendaknya untuk masalah yang ini
      haha, sepertinya iya sih, wanita tulen
      khan bukan thailand, jadi kemungkinan ga tulennya dikit 😀

    1. Bukan Kak, Kuil Bayon ini sebagian kecil dari Angkor Thom
      Kuil yang berbeda dari Angkor Wat
      iya sih, bukannya memang udah begitu dari dulu?
      hehe

  3. Wah kak Yofangga kembali berhasil mengingatkan aku pada sebuah solo travelling saat aku belum serius dalam dunia tulisan, waktu itu aku mampir ke sini tanpa mengetahui apa dan siapa dibalik berdirinya kuil ini. Aku harus kembali ke Siem Reap yang memang sarat akan sejarah.

    1. kok kaya baca buku sejarah? ngebosenin dong kak?
      hehehe 😛
      soalnya buku-buku sejarah kita banyak yang bikin ngantuk
      makanya dikit yang seneng pelajaran sejarah

  4. “Namun ketika mencoba untuk berpikir logis dan belajar pada sejarah, menganggap apa yang dianut sebagai norma paling sempurna dan memaksakan kehendak pada siapapun tidak akan pernah melahirkan sesuatu yang baik.”

    Ini benar, karena — sama seperti kita — orang lain pun meyakini agamanya lah yang paling benar. Kalau masing-masing memaksakan keyakinannya, tidak akan ada perdamaian. Dan sampai Kamboja bikin MRT kelak, jangan sampai Indonesia masih terjebak ngurusin selangkangan orang.

    1. waduuuuh, kok ya ke selangkangan orang Ng
      hehehe, seloooww..
      yaah, dinikmati aja Nug, toh dunia ini adalah panggung sandiwara
      ceileeehhh..

  5. bagaimana rasanya berdiri di antara gergasi yang menaungi? seperti diawasi dan diikuti ke mana pun, ya. ah, kapan2 kepingin melangkah denganmu dan berbagi cerita tentang arsitektur ini.

    1. candi-candi di Indonesia malah jarang banget bisa kuulas kaya gini
      sebenernya pengen sih kak, yuk kapan-kapan eksplor candi
      ajak Gara sekalian, masternya percandian Indonesia 😀

  6. sinis banget pandangan mata salah satu gergasi itu ya kak Yof, kayak tatapan ibu tiri di sinetron-sinetron gitu. hihihi. btw, korelasi yang bagus ya antara keadaaan kamboja jaman dahulu dengan keadaan negara kita sekarang ini. padahal dalam agama islam sdah jelas, la ikhraha fiddiin, tidak ada paksaan dalam beragama. ah, semoga negara kita semakin kondusif ya

    1. widiiih, ketahuan kak Liza seneng nonton sinetron ratapan anak tiri 😀
      hhmmm, sebenernya perkara pemaksaan ini ga cuma terjadi di Indonesia atau Kamboja saja
      di belahan lain bahkan sudah berlangsung ribuan tahun lalu
      cuma karena kebetulan tinggal di Indonesia dan berlibur ke Kamboja, ya sekalian aja diangkat 😛

Leave a Reply