Jika Indonesia memiliki Prambanan di Sleman sana, maka Kamboja memiliki Angkor Wat di utara kota Siem Reap. Mereka sama-sama memiliki langgam arsitektur menjulang perlambang gunung Meru. Sama-sama kuil Hindu meski Prambanan dibangun untuk memuliakan Siwa sedangkan Angkor wat merupakan persembahan bagi Wisnu. Dua kuil itu bagai sepasang anak kembar yang lahir di tempat dan waktu yang berbeda. Barangkali perbedaannya hanyalah pada suatu masa, Angkor Wat sempat dialihfungsikan sebagai tempat peribadatan agama Buddha.
Kupikir akan memakan waktu lama untuk sampai di kuil yang menjadi lambang negara dan terpampang pada bendera nasional Kamboja tersebut. Dugaan yang ternyata keliru, ia adalah kuil pertama yang kutemui tak lama setelah membeli tiket karena terletak paling selatan di antara kuil-kuil Angkor lain. Setelah memarkir sepeda, kuarahkan langkah padanya. Pemberhentian pertama, semangatku berlebih-lebih, siap menyelami romantika dinasti Khmer masa lalu.
Tidak seperti candi lain di sekitar kawasan Angkor yang menghadap timur, Angkor Wat berorientasi ke sebelah barat. Perkara ini tentu saja menuai banyak silang pendapat di antara para sejarawan. Sebagian mereka tidak melihatnya sebagai sesuatu yang ganjil, sebab Wisnu, dewa yang dimuliakan kuil ini memang identik dengan arah barat. Namun sebagian lain termasuk Coedes, menyimpulkan bahwa Angor Wat sengaja dibangun bukan saja sebagai kompleks pemujaan, tapi juga pemakaman. Karena itu, barat yang merupakan simbol kematian dan tempat matahari tenggelam pun dipilih.
Sebutlah ini sebagai analisa yang gagap kultural, tapi aku memiliki pendapat sendiri soal arah hadap Angkor Wat. Dalam kacamata seorang arsitek, selain alasan religius, topografi wilayah juga merupakan penentu terbesar dalam menetapkan orientasi bangunan. Sebagai perbandingan, ada 22 candi di bagian selatan Jawa Tengah yang ternyata menghadap ke arah barat dan hanya 12 yang benar-benar menghadap timur. Penempatan candi itu erat hubungannya dengan kontur alam sekitar, begitu pula kurasa dengan Angkor Wat.
Konon, sudah lama benar Suryawarman II menginginkan sebuah kuil yang gagah lagi megah. Maka setelah berhasil merebut tahta kerajaan dari pamannya sendiri, yaitu dengan cara menusuknya dari belakang saat mengendarai gajah, dikerahkanlah masyarakat Angkor untuk mewujudkan ambisi tersebut.
Sayang hanya sepetak padang di tenggara Yasodharapura yang dirasa cukup lapang untuk mendirikan sebuah kuil. Mungkin tanah itu tidak akan terlalu menjadi masalah jika yang dibangun hanyalah rumah, atau alun-alun, atau jalanan, atau apa-apa yang tidak perlu mengemban fungsi ritual. Tapi jika itu kuil, segalanya serba dihitung, ditetapkan sebaik- baiknya, secermat-cermatnya, terutama pintu masuk. Antan patah lesung hilang, di tanah itu pintu masuk mustahil dibangun menghadap timur sebab ditentang langsung oleh aliran sungai Siem Reap, dan itu tidak surup.
Begitu pula dengan utara. Kamboja berada jauh di atas garis khatulistiwa. Itu berarti bagian utara kuil hanya akan menjadi gelap sebab menelan bayangan sepanjang hari, entah itu pagi, siang, sore, atau senja saat matahari tergelincir di lingkar langit bagian selatan. Barat adalah akses paling dekat, juga paling masuk akal. Jika raja hendak beribadah, ia hanya perlu berjalan lurus ke selatan dari kediamannya di Yasodharapura, menoleh ke kiri, dan gerbang kuil niscaya terpampang di depan mata.
Lantas dibangunlah Angkor Wat dengan gapura menghadap ke arah barat. Orang-orang mungkin akan menganggapnya gila karena kuil-kuil yang terdapat di kawasan Asia Tenggara memiliki kecenderungan menghadap timur, tapi Suryawarman II hanya melakukan apa yang sebaiknya ia lakukan. Ribuan batu-batu pasir pun diangkut dari Bukit Kulen menggunakan rakit di sepanjang sungai Siem Reap, kemudian ditarik oleh tenaga ratusan gajah, lalu dirakit dengan bantuan tali sabut, katrol, dan perancah bambu. Sepanjang siang, sepanjang malam.
Bulan demi tahun terlewati, panen dan musim tanam berganti, badai datang juga angin mati, tapi pembangunan tak kunjung selesai meski telah habis masa 37 tahun. Sampai suatu ketika, bagai meletakkan api di bubungan, sang raja lebih dulu menemui ajalnya sendiri karena tewas dalam usaha penyerangan ke kerajaan Champa. Ia tak pernah melihat kuil yang diinisiasinya itu rampung.
Proyek pembangunan Angkor Wat dihentikan, meninggalkan arca dan kuil yang terbengkalai. Lalu serdadu Champa yang merasa di atas angin mengirimkan gelombang demi gelombang penggempuran balas dendam, dan kuil itu takhluk, juga porak poranda, lalu tanah, tumpah darah.
Adalah Jayawarman VII, yang karena jasanya merebut dan memulihkan kembali keadaan kota Angkor disebut-sebut sebagai raja Khmer terhebat sepanjang masa. Selain mengusir penjajah dan mendirikan ibukota baru di Angkor Thom, ia juga merenovasi Angkor Wat lantas mengalihfungsikannya dari candi Hindu menjadi candi Buddha Theravada. Tujuan awal Angkor Wat sebagai rumah Wisnu pun berubah. Namun setidaknya cita-cita Suryawarman II akan adanya kuil yang gagah lagi megah, purna sudah.
Untuk memasuki kuil Angkor Wat, saking besarnya, kakiku harus terlebih dahulu melintasi jembatan yang terbentang di atas kanal air dengan lebar 190 meter dan panjang mencapai 3,6 kilometer. Itu pun baru sampai di gapuranya saja. Kemudian, masih terdapat jalan lintas sepanjang 350 meter sebelum akhirnya sampai di pintu masuk kuil. Maklum, Angkor wat memang dikelilingi oleh pagar batu setinggi 4,5 meter dengan empat gapura pada masing-masing penjuru mata angin. Barangkali jika dilihat dari udara, kuil ini ibarat sebuah benteng mandala raksasa yang terletak di tengah-tengah pulau kecil seluas 200 hektar.
Persis di belakang pintu masuk, terdapat empat ruangan dengan lantai yang lebih rendah dan hanya ada satu tangga sentral untuk bisa menuruni ceruk sedalam dua meter tersebut. Berbagai macam ornamen memenuhi setiap sisi dinding. Sebagaimana tirta yang jamak terdapat di situs-situs pemujaan Hindu, ruangan ini pun setali tiga uang. Diperkirkan fungsinya sebagai pemandian atau kolam tempat menyimpan air suci di mana ritual-ritual keagamaan dilakukan.
Aku terus melangkah ke timur, memasuki labirin-labirin Angkor Wat lebih dalam hingga keluar di sebuah serambi luas. Di depanku terbentang empat menara setinggi 43 meter mengitari menara pusat dengan puncak mencapai 65 meter. Pengaturan menara itu persis seperti titik angka lima dalam butiran dadu. Inilah pentas utama dari keseluruhan kuil. Teranglah kini kenapa Angkor Wat begitu tenar hingga disebut sebagai kuil terjangkung seantero kawasan Angkor.
Memasuki menara berarti mendaki tangga curam dengan sudut lebih dari 60 derajad. Undak-undakan itu tentu menakutkan sebab sebagaimanapun ajeknya, Angkor Wat tetaplah tumpukan batu berusia ratusan tahun yang bisa terkelupas dan hancur dimakan zaman. Bagi pengunjung yang rasa penasarannya tak terbendung, mau tidak mau harus antri masuk satu-satu, sonder kecuali.
Kabarnya, saat dilakukan restorasi pada tahun 1934, peripih yang terpendam di menara pusat dan lazim menjadi jantung sebuah kuil itu, hilang entah. Besar kemungkinan peti batu tersebut dijarah oleh tangan degil pemburu harta. Tidak berlebihan, di dalam peripih sungguh banyak barang-barang bernilai jual mahal, dan itu semua tandas. Hanya lembaran-lembaran kertas emas ditemukan tersisa setelah melakukan penggalian sedalam dua meter di bawah permukaan tanah.
Setidaknya penemuan itu cukup jadi pengingat bahwa peradaban Asia Tenggara pernah begitu kaya dan digdaya. Terbit juga rasa banggaku melihat pengunjung berkulit putih, yang kemudian kesumba sebab dihantam matahari tropis, itu tercengang-cengang pada sisa kejayaan Khmer masa lampau, meskipun tak bisa mengelak dalam mengakui kini kita begitu tertinggal dari mereka. Tak mengapa, perkara ini ibarat cermin yang mengajarkan bahwa masih banyak masalah-masalah, yang belum tuntas, yang perlu Kita selesaikan.
Setelah berkeliling mengamati detail Angkor Wat, kuputuskan untuk kembali, tapi dengan jalan memutar. Di titik ini baru kusadari bahwa meskipun padat pengunjung, sama sekali tidak ada rasa pengap terasa di dalam kuil. Untuk bangunan yang lahir pada abad ke delapan, kuakui Angkor Wat memiliki sirkulasi udara baik. Selalu ada jendela atau lubang udara terlihat ketika berjalan melewati lorong-lorongnya. Hanya sesekali samar aroma dupa terasa menguar dari hio yang terbakar di beberapa tempat. Wajar, sampai sekarang Angkor Wat masih digunakan untuk bersembahyang, utamanya bagi umat Buddha. Di sini mereka saling mengatupkan telapak di depan dada, kepala tafakur, dengan mulut bergetar mengucap doa.
Tentu hal ini menarik perhatianku, bagaimana relief-relief Hindu agaknya bisa bergandeng harmonis dengan kisah-kisah Siddharta Gautama. Ini membuktikan bahwa bagaimanapun bentuk rumah maupun ornamennya, Tuhan hadir di setiap doa khusyuk orang yang bersungguh-sungguh.
Kita cukupkan cerita Angkor Wat sampai di sini. Selanjutnya mari menuju Angkor Thom, kuil peninggalan Jayawarman VII, si biang keladi bergantinya rupa agama kerajaan Khmer.
Suka dengan gaya ceritamu bang. Sejarah yang diungkap panjang, menjadi menyenangkan untuk diikuti. Detail pula. Jadi gak sabar untuk menantikan kelanjutannya.
Ngomong-ngomong peripih yang hilang itu sangat disayangkan ya. Padahal itu jantung dari kuilnya.
haha, lah ini khan belajar dari cara penuturanmu kak
pengen juga sekali-sekali bisa cerita detail 😀
iya sih, banyak candi emang rata-rata peripihnya ga bertahan
soalnya ya itu, pada ngerampasin isinya semua
waw.. keren banget kuilnya… cocok untuk saya yg jurusan sejarah ini…
hehe, ayooo main ke candi 🙂
busyeeet… 3,6 km jalan kaki?? #pingsan
btw, sebenarnya apakah ada hubungannya dengan kerajaan di indonesia?? kok namanya macam nama indonesia? suryawarman 😀
Kalo secara hubungan, dulunya memang Kamboja masuk jadi salah satu daerah kekuasaan Medang Mataram
tapi kalau ngelihat dari nama, ga ada korelasinya bang
suryawarman, jayawarman adalah nama yang berasal dari bahasa sansekerta
warman artinya pelindung
nah, berhubung Indonesia dulu juga sempat punya kerajaan Hindu-Buddha, jadi nama-nama itu akrab di telinga kita
wah, menarik sekali Mas.. suka dengan cerita yg kamu tuliskan.
Menikmati candi itu, adalah membaca khazanah dan histori yg ada di dalamnya. Semoga aku bisa ke sini!
pembangunannya cukup lama juga ya, baru tahu aku.
hehe, iya kak
di Indonesia juga masih banyak candi-candi yang belum ditelusuri khan?
coba deh, kulik sejarahnya satu-satu, pasti seru
ntar bakal ketahuan kalau Prambanan sebenarnya bukan dibangun dalam semalam
😀
Seru ceritanya, Mas! Sampe ke toilet aja nahan-nahan berasa nonton pelem bioskop! :))
waduuuh, bahaya, jangan sampe kencing batu bang 😀
Jadi inget tiketku yang hangus. Jika nggak, mestinya udah bisa melihat langsung bangunan keren ini. Dan…200 hektare! jadi inget perjalanan ke Candi Muaro Jambi yang konton luasnya lebih luas ketimbang Angkor Wat, walau “sayangnya” bangunan utama candinya kecil dan tidak semegah yang ada di Angkor Wat.
hahaha, tiket hangus itu emang sesuatu banget om
nyesek-nyesek nyesel gimanaa gitu 😀
aku belum pernah ke Muaro Jambi, iya, katanya gede juga ya kawasannya?
sayang pake batu bata ya, jadi banyak yang hancur gitu deh kayanya
Iya, saat ke sana, ada kawasan baru yang sedang direstorasi, batu batanya menumpuk dan tergeletak di lantai. Pusing banget tuh pasti timnya buat ngebentuk lagi jadi satu candi/bangunan
entah kenapa setiap bena ke sini selalu punya rasa yang ya gitulah sendiri. huft
hehehe, rasa yang gimana kak Bena? 😀
Apik apik fotomu kang. Tone warnane sangat magis dan membius.
Keliling keliling di Angkor Wat ini pasti menyehatkan ya soalnya harus jalan kaki. Eh kalau lari2 boleh gak ya? #eh
wah, mas Ndop
gak kuat kalo aku disuruh lari keliling Angkor, bisa gempor kakiku mas
sepedaan ae entek napasku opo maneh mlayu 🙁