“Enak kali ya tinggal di Jepang” Ucap temanku saat kami mengunjungi Tokyo beberapa minggu lalu. Aku tak langsung menjawab, tapi celoteh sederhana itu tersimpan lama di kepalaku.

Sekilas, tinggal di Jepang memang tampak begitu menyenangkan. Aku sempat sekelebat berpikir, apakah memang begitu adanya? Kita kerap lupa bahwa saat pelesir ke satu daerah dalam waktu singkat, yang kita lihat hanyalah sebuah etalase kehidupan. Dan layaknya etalase, ia memang dirancang untuk memanjakan mata pengunjung.

Kita tak pernah benar-benar tahu kegetiran macam apa yang terletak di balik etalase tersebut. Di balik segala keteraturan lalu lintas, transportasi yang nyaris selalu tepat waktu, jalan-jalan yang bersih, dan trotoar yang bebas dari kaki lima, ada manusia-manusia yang letih. Sebuah antitesis dari gemerlap Shibuya atau kilau lampu malam Shinjuku, kehidupan yang tampaknya rapi, tapi rapuh di sisi-sisi yang tidak terlihat.
Menurut data demografi terbaru, Jepang adalah salah satu negara dengan populasi lansia tertinggi di dunia, hampir 30% penduduknya berusia di atas 65 tahun. Banyak dari mereka menjalani usia senja seorang diri, jatuh sakit, dan akhirnya meninggal tanpa ada siapa pun yang menemani. Jepang bahkan memiliki istilah khusus untuk fenomena itu, kodokushi, mati dalam kesunyian. Bagiku, ini menyedihkan.

Fenomena kodokushi umumnya menimpa lansia yang tinggal sendirian di rumah, di flat, atau di apartemen yang disewa dengan uang pensiun yang tak seberapa. Kematian itu datang dengan berbagai cara, penyakit umum usia lanjut seperti serangan jantung atau stroke, kecelakaan kecil seperti terpeleset di kamar mandi, atau tubuh yang perlahan menyerah karena kondisi yang tak lagi kuat menopang.

Karena tinggal seorang diri, maka kematian mereka cenderung terlambat diketahui, bisa berhari-hari, bahkan berminggu-minggu. Bisa jadi karena petugas apartemen atau tetangga yang mulai curiga karena bau menyengat merayap di koridor, atau ketika tumpukan surat tak tersentuh di depan pintu. Tragis rasanya, seseorang yang dulu punya keluarga, teman, dan kehidupan, kini hanya ditemukan karena tubuhnya mulai membusuk. Dan di titik itu, entah kenapa, Jepang yang tampak begitu riuh justru memperlihatkan sisi paling sunyi dari menjadi manusia.

Di sisi lain, generasi mudanya menghadapi tekanan yang tidak kalah berat. Jam kerja panjang, budaya ganbatte yang menuntut kesempurnaan, dan standar profesional yang ketat membuat hidup mereka terasa begitu melelahkan. Aku pernah memperhatikan ketergesaan penumpang di Stasiun Ikebukuro, stasiun tersibuk ketiga di Jepang. Pada saat jam sibuk, gerbong Yamanote Line penuh oleh orang yang berdesakan sambil terpejam, mengingat kasur yang beberapa saat lalu mereka tinggalkan.

Beberapa lain berkemeja rapi, berjas, bersepatu mengilap, menyumbat telinga dengan penyuara jemala sambil menekur memandangi ponsel lama-lama. Mereka adalah tipikal pekerja yang sedang lepas dari versi mereka di kantor. Mungkin itulah satu-satunya ruang hening yang mereka punya sebelum kembali bekerja bagai kuda. Boleh jadi itu adalah cara mereka mempertahankan kewarasan dalam hidup yang penuh tekanan. Kereta itu terasa seperti ruang penuh alter ego, tempat orang-orang merasa bisa mengelabui nasib, bernapas sebentar sebelum kembali menghadapi kubikel dan tuntutan yang tak ada habisnya.
Belum lagi fenomena hikikomori, anak-anak muda yang mengurung diri berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, kehilangan keinginan untuk berinteraksi dengan dunia luar. Perundungan, kegagalan akademis, kecemasan sosial, hingga tekanan dari orang-orang terdekat membuat 1,46 juta warga Jepang memilih untuk menyendiri. Hasilnya, banyak anak muda enggan menikah atau memiliki anak. Tingkat fertilitas Jepang mencapai titik 1,2. Jauh di bawah angka yang dibutuhkan untuk menjaga populasi tetap stabil. Di balik senyuman ramah karyawan konbini, negara ini tengah melaju mendekati ambang kepunahan pelan-pelan.

Isu kesehatan mental pun masih tetap menghantui. Meski angka bunuh diri di Jepang menurun dibandingkan satu dekade lalu, jumlahnya masih termasuk yang tertinggi di antara negara maju. Angka itu bukan sekadar statistik, ia adalah potret dari tekanan hidup yang jarang tertangkap kamera turis.

Aku sempat mengunjungi hutan Aokigahara. Sebuah jenggala di kaki Gunung Fuji yang masyhur sebagai tempat orang-orang mengakhiri hidup. Hutan itu lembap, pohonnya menjura rapat hingga cahaya matahari sukar menembus tanah. Jejak kaki jarang terdengar, dan lumut tumbuh tebal di batang pohon seperti selimut. Berjalan jauh memasuki hutan, aku membayangkan langkah-langkah terakhir orang yang datang dengan hati terluka. Mereka mungkin pernah tertawa, pernah punya mimpi, pernah dicintai, lalu perlahan tenggelam dalam kesepian yang tak terjangkau oleh siapa pun. Di tempat itu, Jepang yang kita lihat dari foto-foto liburan terasa begitu hambar. Dan justru di tengah keheningan Aokigahara, aku belajar bahwa sebuah negara bisa tampak begitu cemerlang di permukaan, tetapi menyimpan duka yang tak kalah kelam di bawah bayang-bayang.

Hidup sebagai pendatang pun tidak selalu mudah di Jepang. Aturan yang ketat, bahasa yang kompleks, serta kultur yang sangat memperhatikan norma membuat banyak ekspatriat merasa terisolasi. Sekalipun negara itu aman dan nyaman, tetap saja rasa asing bisa membungkus hari-hari seseorang, apalagi jika ia tinggal jangka panjang.

Pada titik tertentu, sebagian dari mereka mulai sadar bahwa label gaijin atau “orang luar”, bukan sekadar sebutan, tapi status yang menempel di kulit, cara berjalan, bahkan intonasi ketika berbicara. Tidak peduli seberapa fasih bahasamu, seberapa patuh kau mengikuti aturan, atau seberapa lama kau menetap, ada jarak halus yang akan selalu terasa. Bukan permusuhan, bukan pula penolakan, hanya batas tak terlihat yang membuat seseorang mengerti bahwa ia tidak sepenuhnya masuk ke dalam lingkaran sosial di sana.

Akhirnya, banyak pendatang belajar hidup berdampingan dengan perasaan itu, menjadi bagian dari masyarakat tanpa benar-benar menyatu. Di kota yang penuh kesopanan dan efisiensi, ironi kecil itu seringkali muncul justru pada momen sederhana, ketika diperhatikan terlalu lama di kereta, ketika percakapan berubah kaku, atau ketika tatapan orang lain mengingatkan bahwa ada identitas yang tidak akan pernah hilang. Sebuah pengingat bahwa di Jepang, menjadi gaijin bukan hanya tentang asal-usul, tetapi tentang bagaimana dunia di sekeliling memandang keberadaanmu.

Jadi, apakah tinggal di Jepang enak? Mungkin iya, untuk sebagian orang, di fase tertentu, dengan ekspektasi yang realistis. Tapi seperti tempat mana pun, Jepang bukan hanya Shibuya yang gemerlap atau Fuji yang Instagrammable. Ada sisi-sisi yang sunyi, keras, dan kadang menyakitkan, yang tak terlihat dari jendela hotel atau stasiun subway yang bersih.

Pada akhirnya, setiap negara punya cerita dua wajah: yang dipajang, dan yang disembunyikan. Dan sering kali, wajah yang kedua justru lebih jujur.

5 thoughts on “Melihat Jepang Dari Sudut Lain”

  1. Jepang ini ironi di balik banyak sanjungan ya mas. Saya belum pernah ke Jepang, tapi suka membaca tulisan-tulisan tentang fenomena kesepian warganya. Walaupun tidak seekstrem Jepang, tapi kurasa kaum urban di Indonesia juga mulai merasakan fenomena loneliness ini ya.

    Ditunggu mas tulisanmu yang lain! Kalau bisa yang hutan Aokigahara seruu tuh hahaha.

Leave a Reply