Aku bangun saat matahari sudah setinggi penggalah dan langsung merutuk sebab gagal melihatnya terbit dari Angkor Wat. Memang salahku sendiri, mengingat semalam kuhabiskan waktu hingga larut berbincang dengan sepasang pejalan yang kebetulan berbagi kamar penginapan, tapi setidaknya pada mereka sudah kupesankan untuk membangunkan bila hendak berangkat esok hari. Untuk berjaga-jaga, kusiapkan pula alarm jika sekiranya mereka lupa. Rupanya dua usaha itu sia-sia belaka. Mereka hilang tanpa kabar dan teriakan alarm tak berhasil menyuruhku bangun, menggeliat pun tidak.
Begitulah hari yang kumulai dengan ketergesa-gesaan itu bermula, mandi, berpakaian, dan keluar dari penginapan sebelum siang bertambah terang. Perkara apakah mandiku bersih atau perutku sudah terisi tak sempat lagi terpikirkan saat itu. Yang kumau hanyalah mencari cara agar bisa sesegera mungkin sampai di Angkor Wat.
Sepengetahuanku, ada beberapa moda untuk mencapai kawasan Angkor. Dengan tuk-tuk, dengan motor, atau dengan sepeda kayuh. Aku memilih alternatif terakhir sebab tidak ada opsi berjalan kaki. Jadilah kini aku mengayuh lurus ke utara sejauh 8 kilometer setelah berhasil menemukan penyewaan sepeda seharga 1 dollar untuk pemakaian sehari penuh. Tidak ada lagi lembayung, tidak ada kabut, hanya matahari yang panasnya mengekal.
Untuk ukuran kota terbesar ke dua di Kamboja setelah Phnom Penh, jalanan Siem Reap bisa dikatakan rapi. Tidak terlalu padat, bersih meskipun berdebu, terdapat beberapa jalur hijau, dan yang paling penting, masih terlihat adanya pedestrian. Aku selalu berpendapat bahwa parameter sebuah kota bisa disebut manusiawi adalah ketika ia tak lupa menyediakan trotoar bagi para pejalan kaki.
Kira-kira sepuluh menit mengayuh, sebuah cabang terlihat dari jalur utama. Cabang itu lalu menuntunku pada sebuah gapura besar. Semakin pendek jarak antara kami, semakin teranglah bagiku bahwa gapura tersebut merupakan pintu masuk situs keagamaan terbesar di dunia, kompleks kota Angkor. Aku sampai dengan lengan basah, dahi basah, punggung basah, dan baju yang juga basah. Belum tengah hari mandiku sudah bisa dihitung dua kali.
Di depan loket, terpampang tiga jenis tiket masing-masing untuk kunjungan satu hari, tiga hari, atau seminggu penuh berhak keluar masuk Angkor. Aku melanjutkan perjalanan setelah membeli tiket sehari dengan ongkos sebesar 20 USD.
Selepas gapura utama, baru kusadari bahwa Angkor bukanlah kompleks percandian kecil yang bisa dikelilingi dengan bersiul-siul sambil berjalan ditemani dedaunan gugur dan angin sepoi-sepoi, melainkan sebuah kota. Ada lebih dari seribu kuil terserak di kawasan ini. Mulai dari tumpukan arca yang tercecer tiada jelas di petak-petak sawah kering, sampai kompleks percandian yang pucuknya menjura langit. Tentu dibutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk bisa mengunjunginya satu per satu, dan itu berarti dua hal, aku selamat tidak memutuskan berjalan kaki dan tiket satu hari yang telah kukantongi jelas tak akan cukup untuk memahami Angkor lebih dalam. Terlambat, pengetahuan baruku itu betul-betul terlambat.
Bersepeda melintasi puing-puing kota Angkor bagai bersepeda melintasi lorong waktu. Aku seperti diajak untuk melihat bagaimana langgam arsitektur masing-masing kuil berubah dari satu zaman ke zaman lain, dari satu dekade ke dekade lain. Hal itu tentu saja membutuhkan stamina seorang porter gurun Gobi. Bagaimana tidak, selain mengayuh, aku harus bisa berkawan dengan denyaran matahari yang setia menggantang ubun-ubun. Jangan bicara soal keringat, ia kini sudah menguap bahkan sebelum sempat jatuh dari pelipis.
Adalah Jayawarman II yang pada tarikh 802 masehi mencatatkan namanya pada sejarah dengan mendirikan kerajaan Khmer. Ia jugalah yang kemudian mendaku sebagai seorang dewaraja setelah berhasil memerdekakan Kambujadesa dari kerajaan Medang Mataram yang saat itu berada di bawah kekuasaan dinasti Syailendra. Berdasarkan apa yang tertulis di inkripsi Sdok Kok Thom, mulanya Jayawarman II sempat memancangkan pondasi kerajaannya di lereng gunung Mahendraparwata sebelum akhirnya pindah pada sebuah tanah subur bernama Hariharalaya, dekat delta sungai Roluos.
Lokasi kerajaan Khmer itu bertahan setidaknya selama tiga generasi sampai Yasowarman, sang raja ke empat, menggambar peta-peta baru perluasan kekuasaan. Ia memindahkan ibukota dan bersegera memulai dua kerja besar, yaitu menegakkan pertahanan dan menata pemerintahan. Maka Yasodharapura pun dibangun, sebuah kota baru yang kemudian lebih dikenal dengan nama Angkor dan menjadi cikal bakal kota terpadat di dunia. Konon, di titik zenit masa kejayaan Khmer pada tahun 1010 sampai 1220 masehi, Angkor menampung 0,1 persen dari keseluruhan penduduk bumi dengan penghuni diperkirakan mencapai tiga juta jiwa.
Selain memindahkan segala pusat pemerintahan, Yasowarman juga membangun seratus kuil peribadatan, menggali reservoar air raksasa seluas 13,5 kilometer persegi dengan kapasitas penyimpanan sebanyak 40 juta kubik, dan bahkan membelokkan aliran sungai Siem Riep untuk mencukupi kebutuhan irigasi pertanian. Denyut jantung kehidupan mengembang dengan cepat di sepanjang tepian sungai tersebut, menerus hingga ke pedalaman.
Diuntungkan dengan debit air permukaan tanah yang tinggi, tidak berlebih saat musim hujan sebagaimana tidak kekurangan saat musim kemarau, Angkor berhasil mempertahankan padi berbunga di segala musim. Sawah digarap tiada henti, beras tercukupi, perut kenyang, rakyat tidak susah, penduduk bertambah untuk kemudian membangun kota yang lebih besar lagi. Selanjutnya Angkor tak berhenti melahirkan pemimpin-pemimpin ulung yang terus menggaungkan nama kerajaan Khmer hingga pada awal abad ke sebelas, ia menjadi salah satu kerajaan termakmur di kawasan Indochina.
Ibarat kayu lembab bagi jamur dan rayap, kota-kota makmur adalah inang terbaik begi para penjajah. Maka pada tahun 1177 mulailah berdatangan serangan dari negeri tetangga. Pertikaian diawali oleh Champa. Angkor menangguk kekalahan, meraih kemenangan, dan mengulangi keduanya. Untuk beberapa waktu Khmer sempat bertahan sebelum akhirnya redup pada abad ke empat belas dan padam satu abad kemudian setelah kerajaan Ayutthaya menggotong genderang yang kulitnya ditabuh keras-keras. Pasukan negeri Siam itu menggemakan berang dan perang secara lantang dari atas punggung gajah-gajah, dan hal itu membuat Angkor gentar, mau tidak mau.
Kini, meskipun telah melewati masa lima ratus tahun, Angkor masih menyisakaan sisa-sisa kejayaan masa lampau. Terlihat dari skala bangunannya yang jauh dari kata ergonomis, serba besar, serba tinggi, dan serba luas. Puing-puing yang ada di depanku itu selain mampu membuat diri merasa ciut, juga memiliki perangai seperti lipatan dalam menandakan halaman buku. Ia hadir sebagai pengingat, bahwa dulu sekali di tanah ini, pernah berdiri sebuah dinasti yang begitu besar, tapi kemudian sirna jua. Seakan mengamini frasa yang fana itu Khmer, sejarahnya abadi.
Aku lantas teringat nasib bangunan serupa yang ada di negaraku. Memang beberapa candi masih tegak dan gagah, namun tidak sedikit yang sudah berkalang tanah. Yang katanya dilindungi oleh Balai pelestarian Purbakala, tapi loketnya tak berpenjaga, dan arcanya hilang kepala. Barangkali daftarnya terlalu panjang untuk bisa disebutkan satu-persatu. Klise sekali, tapi justru di sinilah letak perbedaan Kamboja dan Indonesia, yang satu bersolek hingga mampu mendatangkan jutaan wisatawan tiap tahunnya, yang satu sibuk menyalahkan sambil berharap perubahan jatuh dari langit.
Memang bukan perihal mudah, juga tentu akan membutuhkan waktu. Sebab, seperti yang kita semua tahu, merawat adalah perkara paling sulit. Sampai semuanya lapuk dan pelan-pelan hilang, dan penyesalan datang kemudian.
Itu maksudnya truk ya bg?
Menceritakan keindahan tempat lain untk berpesan ke negeri sendiri. Bagus tulisannya..
lah, kok truck? haha, ga ngerti
yaaa, kalau mikirnya gitu boleh juga si, tapi awal nulis ini mah ga ada tendensi apa-apa
benar bang, merawat itu tidaklah mudah dan murah. ada yg bernasib baik dirawat dan di perhatikan, tp juga tak sedikit yang terabaikan.
iya, yang bernasib baik paling yang besar dan terkenal
kalau udah di pelosok gitu paling ya dibiarin sekarat
khan ga ngehasilin duit, jadi buat apa dijaga 😀
Saya lebih paham sedikit tentang angkorwat membaca posting ini. Jadi mereka adalah Kompleks candi yang caranya layak disebut sebuah kota. Tadinya tak pikir seperti Kompleks Borobudur atau Prambanan 🙂
iya mbak, Angkor itu secara bahasa artinya emang kota
dan di kota Angkor sendiri banyak banget kuil-kuil kaya Angkor Wat, Angkor Thom, Ta phrom, dan lain-lain
abis ini bakal ditulis satu-satu kok, hehe
baca blognya mas Yo ini jadi banyak kosa kata baru. hahaha.
Mungkin gegara keseringan nyemil kamus jadi bahasanya aneh-aneh gitu
Seru ya bisa sepedaan di dalem kompleks candi. Coba kalo bisa sambil liat sunrise, Mas.. *ungkit lagi*, hahaha..
Liat foto-fotonya jadi ngebayangin kehidupan masyarakat di sana waktu kerajaan Khmer masih berjaya. Sampe 3 juta penduduk, lebih banyak sedikit dari jumlah penduduk Kota Bandung. Seru! 😃
aaaarrrggghhh, kayanya emang harus balik ke sana lagi deh buat liet sunrise
masih ada hutang, sama masih banyak yang belum disamperin 😀
iya sih, untuk ukuran kota sepuluh abad silam angka segitu udah padet banget
macet ga ya kira-kira zaman dulu? orang khan pada naik gajah semua, haha 😀
aku penasaran dengan senyuman Candi Bayon
hehe, sabar mbak, abis ini dibahas satu-satu
ntar candi Bayon juga ada kok 🙂
Wah seru banget sepedaan, tapi enaknya kalau mau sepedaan lebih dari sehari ya soalnya luas buangetttt… T.T
Ga seru, titik.
hwahaha, panas banget mbak, sumpah
seharian sepedaan bisa abis 3 galon air
tapi kalo ada temennya sih mungkin beda cerita
#eh..
terima kasih artikelnya bagus nich,, untuk sejarah juga !
btw,, harga tiketnya tu berapa ?