Suara dencing besi menyambut ketika langkah kakiku memasuki dapur tempa pembuatan Gamelan di desa Bekonang, Solo. Terlihat sebuah bara logam sedang menderita dalam nyala pembakaran ditengah ruangan, menjadikannya merah sempurna. Sesekali blower listrik ditiupkan, menyebabkan percikan api melayang-layang kesegala arah. Hanya sedikit bias cahaya matahari yang menerangi. Barangkali suasana memang sengaja dipertahankan remang agar mudah menilai suhu dan ketebalan berdasarkan warna maupun kilau.
Piringan logam yang sedang dipanggang ini bernama perunggu, hasil leburan timah dan tembaga dalam cetakan tanah liat. Sebelum ditempa, logam dimasukkan kedalam tungku pembakaran yang bisa mencapai angka tiga ratus derajat celcius. Bila temperatur melebihi batas maka perunggu jadi sangat lunak, tempaan mungkin saja meninggalkan bekas ceruk terlalu dalam, lebih fatal jika sampai berlubang. Jika berada dibawah batas temperatur, perunggu beresiko retak dan pecah. Jika sudah begini logam harus dilebur ulang, dicetak kembali menjadi lakar.
Setelah dirasa cukup pijar, piringan logam tadi diangkat dan diletakkan diatas landasan. Empat lelaki lain bergantian mengayunkan palu-palu besi ke piringan, tanpa kacamata pelindung ataupun sarung tangan. Piringan diputar perlahan sembari terus ditempa. Bunyi ritmis tabuhan mereka menggema di mana-mana, berirama semakin cepat, lebih cepat dari denyut jantungku yang memburu. Saat satu putaran usai, hanya sekitar dua puluh lima detik, piringan tadi kembali dilebur kedalam tungku. Waktunya pekerja beristirahat dan meluruskan punggung, duduk berjajar di kursi kayu.
Proses ini dilakukan berulang ulang, membakar, membolak-balik, lalu menyanyikan lagu palu yang berdentam-dentum. Begitulah sekilas potret hidup pandai besi pembuat gamelan, irama logam adalah suara yang khatam lekat ditelinga. Seharian mereka membangun harap dari biji peluh dan hawa panas menyengat. Bagiku yang tak terbiasa, ruangan ini terasa gerah sangat. Debu hitam pembakaran menempel di baju basah dan kilat-kilat keringat yang sedari tadi tak henti menetes di pelipis, tubuh dibuat lengket legam karenanya.
Pekerjaan tak usai sampai sini, tahap pembuatan gamelan masih sangat panjang. Diluar ruangan yang lebih lega, terlihat beberapa orang yang sibuk menggerinda, mengampelas, memahat dan mengecat kayu penyangga. Tugas yang paling berat mungkin dipikul penentu nada, insting dan pengalaman menjadikan posisi ini terbilang istimewa. Tanpa adanya garpu tala, pengecekan nada dikerjakan manual, mulai dari mengetuk hingga mendengarkan suara dengan seksama. Wajar saja jika satu set gamelan jawa bisa mencapai harga ratusan juta, sebanding dengan harga bahan dan usaha pengerjaan. Perihal siapa yang menikmati, tentulah para pemilik modal, pekerja tetap dengan upah seadanya.
Hidup menjadi pandai besi menurutku tidaklah seindah dongeng pengantar tidur. Ditengah arus pendatang yang menyesaki Solo berarak tiada putus, industri rakyat disini masih tenggelam dipinggiran kota. Mereka adalah para seniman yang dilupakan, orang-orang yang merawat kebudayaan tanpa medali penghargaan. Mereka adalah korban-korban yang harus puas disuapi megahnya gaung kata-kata pariwisata.
- Pak Menteri, Padamu Kutitipkan Wisata Negeri
- Menggenapi Usia
Tanpa keloyalan mereka mungkin gamelan sudah lama punah atau mungkin malah diklaim negera tetangga. Next time lihat yang sentra industri ciu, Yof. Lihat “heritage” yang masih hidup berpuluh-puluh tahun lamanya tapi masih penuh lika-liku hukum di tengah proses bertahan hidupnya. Eh tapi jangan borong ciu nya loh, dipahami aja prosesnya hihihi
bener banget, yang membuat mereka bertahan ya keloyalan terhadap budaya, salut dan angkat dua jempol
ayuk atuh mas, hehe, jadi nyesel kemarin gak sekalian liet ciu 😀
berarti melipir solo lagi ni yak, siap direpotin lagi?
hehehehe
This is maybe the second comments for this article. No more words except, I confess how the pictures have great support for the sentence per sentence. Maybe, you’ve to grow up to the next process, have a self travel channel with “The Lostraveler” brand, hehehe…
kok yo komenmu ndadak macak inggris ngono qi?
hehehehe, aku lak dadi angel mocone 😛
Saya merasa bersyukur bahwa sampai saat ini masih ada orang-orang yang sudi mendendangkan gamelan. Itu artinya para pandai besi ini masih punya harapan untuk melestarikan budaya bangsa. Semoga saja, di antara harapan itu terselip usaha untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.
jangan sampai punah, paling enggak jangan sampe dicolong negara lain
*lirik-lirik tetangga 😀
makanya aku ngangkat industri rakyat kaya gini dalam tulisan
semoga yang lain juga ikutan aware dan lebih menghargai budaya sendiri
Lestarikan selalu Budaya Indonesia,, 🙂
siaaaapppp…
Keren banget foto percikan apinya kak…
hehe, kebetulan dapet momen bagus kak 🙂
Lebih rumit dari bikin parang yah.
lebih rumit kak
selain bentuknya, suara juga harus pas
hehe
Mas-masnya badannya seksi seksi yaaa #salahfokus
Eh Yof, kolom komentarmu ini hurufnya kekecilan banget. Mbok dibenerin dulu ukuran fontnya di style.css
haha, aku gak paham masalah gituan e mas
piye ya carane?
Pandai besi ini lama-lama punah kali ya Mas ? jangan sampai deh.
benar, jangan sampai punah
industri ini udah kecil
kalo punah mau makan apa orang sekitar
baca ini langsung ingat depan rumah di kampung ada tukang pandai besi.
langsung samperin dan tulis ceritanya mas
hehehe
🙂
mungkin inilah kerjaan yang sangat erat kaitannya dengan hati dan kekuaatan fisik, seperti sebuah seni dan mahakarya yang indah setelah jadi karyanya
benar, merekalah yang selalu sedia menjaga mahakarya indonesia 🙂
Ah! Seharusnya orang-orang kementerian pariwisata kreatif lihat dan baca blog ini! Sudah banyak seni dan budaya Indonesia yang terabaikan (halah bahasanya). Di Jogja juga banyak, waktu saya ke jogja aku lihat banyak seniman seperti mereka dengan ekspresi yang tidak bahagia tapi tidak juga marah. Seakan pasrah dengan pemerintah (duh udahlah jadi berat bahasannya)
Makasi banyak ya sudah share. Keren!
semoga mereka ada waktu untuk membaca 🙂
bukankah bekerja di kementrian itu sangat sibuk?
hehehe
Yang pertama, ajiibb… fotonya keren-keren bangets… Ngiler ngeliatnya.
Yang kedua (serius nih, sambil benerin kerah baju), Seberapa banyak anak bangsa masa kini yang masih peduli terhadap Gamelan? Jangan-jangan Gamelan hanya menjadi sebuah sesuatu yang asing di telinga mereka. Jadi melalui tulisan-tulisan sperti Mas Yofangga inilah, kita mengajak generasi muda kita untuk lebih mengenal dan mencintai kebudayaannya sendiri.
Oh iya, bagi sahabat yang hobi nulis, silahkan ikuti kontes kecil-kecilan di blog kami. Info lengkapnya silahkan baca di http://cagakurip.com/cuwc-cagak-urip-writing-contest/
buat yang pertama, hehe, makasih.. makasih..
yang kedua, hhmmm… seberapa banyak? yang jelas hanya tinggal segelintir saja, banyak cara untuk tetap melestarikan kebudayaan, bagi yang tak bisa ikut turun langsung, paling tidak berkontribusi dengan cara lain, menulis misalnya 🙂
siippp, semoga sukses mas lombanya 🙂
yof, posisi dimana sekarang??
di bekasi fan, kenapa?
wah ini deket rumahku mas, daerah bekonang mojolaban kan ya..kadang lewat sini, tapi belum pernah mampir..
mampir dooong, masa orang daerah lain yang kudu mempromosikan daerah sendiri
hehehe
Jasanya memang harus tidak boleh dilupakan, 😀 sudah mengembangkan budaya Indonesia 😀 semoga sukses!
Semoga industri rakyat,para seniman dan orang-orang yang merawat kebudayaan dapat terus melestarikan salah satu kekayaan budaya. dan pemerintah juga turut andil untuk mengapresiasi mereka, lewat dunia pariwisata misalnya
Indonesia yg sangat kaya akan seni & budaya…