Aku sedang dalam perjalanan menemui customer saat pesan itu tiba, “Yof, kau tak perlu menungguku setiap hari, bahkan ada baiknya jika mulai mengurangi ketergantungan.” Tanganku gemetar, punggungku jatuh lebih dalam pada tempat duduk. Mobil masih melaju, namun kota-kota kian kabur dari pandangan. Suara temanku yang sedang menyetir juga semakin lama semakin redup, kemudian lindap kepada tiada.
“Tapi, bukankah kita..” kuhapus pesan yang sudah diketik. Kutulis pesan yang lain, kuhapus lagi. Aku kehabisan kata-kata, hingga yang terkirim akhirnya “Boleh aku tahu, kenapa?”
“Aku tak bisa membalasmu.” Seketika kalimat itu menjelma menjadi seorang gergasi yang siap menghantamkan gada ke kepalaku. Apa yang kutakutkan terjadi sudah, percabangan itu telah sampai, pacu lari telah usai, dan menjangan itu telah menang. Hanya saja aku tak menyangka ia datang terlalu gegas, pesan itu terlalu lekas, sementara hatiku siap pun tidak.
Barangkali kelemahanku adalah terlalu membiarkan cinta meranggas ke seluruh tubuh, tanpa mengetahui bahwa setiap detik yang kita jalani bersama hanya akan menjelma menjadi satu cangkulan untuk menggali kuburannya sendiri. Barangkali memang kelemahanku adalah menganggap kedekatan kita serupa taman ilalang yang tak menyembunyikan ular, tanpa mengetahui bahwa cepat atau lambat ia akan datang dan memuntahkan bisa.
Barangkali memang kelemahanku adalah menganggap kita terlalu cerdas untuk mati dipenggal perbedaan, tanpa menyadari bahwa masing-masing dari kita hidup di masyarakat yang belum bisa menerima orang asing. Barangkali aku terlalu naif dan daif menganggap bahwa perbedaan diciptakan untuk saling mengindahkan, layaknya warna pelangi selepas hujan. Sampai kemudian sebuah kalimat yang cukup tajam untuk sekadar disebut lembing kau lesatkan, “Aku tak siap mendapat perlawanan dari keluarga dan lingkunganku.”
Barangkali memang kelemahanku adalah terlalu dungu untuk tunggang-langgang mempelajari bahasa yang keriting tulisannya dan mirip pengucapannya hanya untuk meniadakan perbedaan tersebut, tanpa mengetahui bahwa darah nyatanya tak bisa dibohongi. Seberapapun keras usahamu atau seberapapun lantangnya suaramu meneriakkan doa, ada hal-hal yang tidak bisa diamini oleh dunia ini. Langit melarangnya, dan bumi tak merestuinya.
Barangkali memang kelemahanku adalah menganggap kau tak akan pernah pergi, sementara mataku melihat sendiri alas kakimu sengaja kau tinggal di luar setelah mengetuk pintu dan masuk menempati satu ruang di hatiku. Barangkali juga aku terlalu utopis, menganggap suatu saat aku dan kamu dapat berubah menjadi kita, tanpa mengetahui bahwa siapapun tidak akan bisa menjadi siapapun, kecuali dirinya masing-masing.
Barangkali memang kelemahanku adalah merumitkan segala sesuatu, padahal yang terjadi sebenarnya adalah orang yang kusayangi, tidak menyayangiku balik, sesederhana itu. Lagipula apa-apa yang kutuliskan ini terlalu berlebih, ujung yang kusebut-sebut itu nyatanya tidak pernah ada, sebab pada dasarnya kita memang tidak pernah saling memulai.
Kini pelatuk sudah ditarik dan peluru sudah ditembakkan. Setelahnya hanya ada jarak-jarak yang memilukan dan melelahkan. Pertanyaan soal “Boleh aku tahu, kenapa?” tidak lagi menjadi penting, sebab apa guna alasan? Bukankah perpisahaan kini dan nanti akan sama saja? Menunda luka adalah tindakan bodoh, seperti juga menyimpan rapat-rapat rindu yang terlalu.
Kini biarkan aku merawat luka sendiri. Barangkali benar bahwa hanya dengan mencintai diam-diamlah satu-satunya cara untuk tetap merayakan kedekatan.