Laut Jawa, lima belas mil ke utara Tanjung Pakis. Pukul satu, malam gelap, hari ke dua puluh bulan Oktober, seribu sembilan ratus tiga puluh enam. Sebuah kapal penumpang sepanjang 54 depa, bermuatan penuh manusia, miring dan berasap dan nyaris karam. Orang-orang berlarian, menolong jiwa sendiri-sendiri, dengan bermacam-macam jalan. Peluit evakuasi yang terlambat, menjerit-jerit, menggema sebagai latar.
Hujan itu masih jatuh. Membasahi laut, membasahi sinyal-sinyal radio yang dikirim meminta bantuan. Dari haluan yang belum tenggelam, penumpang tidak lagi menyeka hujan, atau air mata, sebab percuma. Dan mereka tahu itu. Van der Wijck tidak terselamatkan, itu pasti, sepasti datangnya esok hari. Di bawah sana, air begitu mengerikan, serupa menggelegak dipanaskan dalam bejana. Bagaimanapun, mereka takut. Mereka bergidik.
Sebuah kapal Koninklijke Paketvaart Maatschappij lain lewat. Plancius, begitu yang tertulis di lambungnya. Operator radio kembali mengirim sinyal. Lewat tuts morse, jari-jarinya bergetar secepat yang ia bisa. Satu menit, dua menit, sandi itu tidak sampai, kapal berlalu. Dua ratus lebih penumpang kemudian melambai-lambaikan sesuatu, entah bendera, entah baju, entah apapun yang dapat berkibar. Tiga menit, empat menit, lambaian itu juga tidak sampai, kapal menjauh. Lima menit, enam menit, segalanya tampak seperti neraka basah.
Sehari sebelumnya, Van Der Wijck sempat berlabuh di dermaga Surabaya buat pemeriksaan rutin yang dilakukan sekali dua pekan. Dalam pemberhentian itu mesin diperiksa, bahan bakar dicukupkan, jumlah makanan dipastikan, dan penumpang dihitung satu-satu, lengkap. Merasa tak satupun ada yang salah, niat kemudian dirampungkan dengan melanjutkan pelayaran. Namun, saat hendak mengangkat sauh, angin bertiup sedikit kencang, tapi itu bukan hal yang dikhawatirkan sang kapten. Bagaimanapun, kapal harus tetap berlayar. Pukul sembilan malam, kemudi diarahkan ke Semarang, tujuan Tanjung Mas.
Lepas tengah malam, laut berubah menjadi ladang beliung. Lalu terjadilah yang telah digariskan terjadi. Van Der Wijck karam. Hanya butuh enam menit bagi laut untuk membuat besi itu hilang dari pandangan. Satu sekoci terakhir bisa dilepaskan dari geladak. Satu saja, dan itu tidak cukup bahkan untuk menampung jumlah anak-anak serta wanita tua. Ratusan penumpang lain mengambang, kadang oleng dihempas gelombang. Jelas bahwa tak ada satupun yang sudi jika harus pulang tinggal nama, maka mereka sebisa mungkin terus berenang menyibak laut yang digenangi minyak sisa bahan bakar. Lengket dan hitam. Mereka adalah zombie-zombie yang belum hendak mati.
Sembilan pesawat Dornier ternyata mendengar panggilan darurat pertama. Seterimanya kabar kecelakaan, mereka langsung pergi menjalankan pertolongan yang perlu. Sepuluh menit penerbangan, pesawat-pesawat itu telah mendarat di air asin untuk mengangkut 90 penumpang sekarat yang kedinginan. Para korban dibawa terus ke Surabaya untuk diobati dan diminta keterangan sebab-sebab tenggelamnya kapal. Penumpang yang tersisa masih lebih dari setengah, dan mereka harus pasrah menunggu bantuan sambil mengambang. Situasi seperti itu dirasa seakan-akan berlangsung selamanya, karena sudah tentu tidak ada tempat yang nyaman di tengah laut.
Kapal penyelamat Belanda akhirnya datang dua puluh menit kemudian, disusul kapal-kapal lain penangkap ikan dari desa-desa sekitar pesisir. Sepanjang sisa malam, para penyintas yang tertinggal diberikan makanan hangat dan pakaian kering, lalu diangkut ke pantai terdekat, sebagian ke Brondong, sebagian ke Tuban, sebagian lagi tidak ditemukan. Untuk perkara yang terakhir, jumlahnya tidak jelas, tak ada data pasti tentang itu selain kabar duka yang datang bersama fajar di permulaan pekan.
Sebagai ungkapan balas budi, kemudian dibangun sebuah monumen setinggi enam meter, sebab Belanda tahu bahwa ingatan saja tentu tidak akan cukup. Untuknya, dipilihkan lokasi paling istimewa, bersanding-sandingan dengan ruas jalan Daendels. Di dinding barat monumen diukirkan ucapan terima kasih pada para penolong tenggelamnya kapal Van Der Wijck, sedang sisi timur, istimewa diberikan pada Martinus Jacobus Uytermerk, operator radio yang ikut tenggelam bersama mesin pengirim sinyal, dengan headphone masih di kepala.
Belanda ternyata benar setengah, ingatan adalah benda yang rapuh di negeri ini. Juga salah di setengah yang lain, bahwa monumen tetap tidak cukup sebagai tugu kenangan. Seorang Hamka pernah ikut berusaha mengekalkan cerita ini pada bukunya. Namun lagi-lagi, gemanya hanya sesaat. Ramai sebentar, lalu orang lupa kembali. Memang bangunan ini tidak setragis nasib museum atau perpustakaan yang lengang manusia, dia masih ditemani hiruk pikuk orang lalu-lalang hendak ke pasar, tapi keberadaannya seolah tembus pandang. Jarang ada yang menyengajakan datang untuk sebentar saja mengingat sejarah dan menghormati jasa para penolong. Monumen ini terkepung dalam kesendirian yang tidak sendiri.
Kini aku tengah menatapkan mata padanya, dan begitulah perkenalan pertamaku dengan Lamongan. Bukan pada pantai berpasir putih atau nyiur yang merebah rendah ke permukaan air. Bukan pula pada lautan jernih atau buih ombak yang menghempas berkali-kali. Namun pada sebuah monumen yang terletak di tepi kawasan pelelangan ikan Brondong. Monumen yang terlupakan, yang terselip di antara riuh tawar menawar dagangan, yang menjulang tinggi, yang tenang dalam diam.
Waaaahhhh… bagus postingannya 😀
Walaupun deket, aku belum pernah sekalipun ke monumen ini, padahal lewat bolak-balik #Duh
Postingan tentang Tuban kapan?
Bagus laaah, postinganku kapan sih ga bagus? 😀
eeehhmmmm.. Tuban ya mbak? duh, udah lupa ceritanya, kayaknya harus balik ke sana lagi deh
#Ehgimana
Sekalipun aku orang Lamongan (babat aslinya) tapi belom pernah ngerti ini wkwk
kamu mah Lamongan coret, hehe
aku kira malah kapal itu memang fiksi dan tidak nyata, ternyata beneran tohh hehehe
iya, Hamka menulis novel ‘Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck’ khan emang terinspirasi dari kejadian ini 🙂
Suka sekali dengan tampilan barunya. Ini mah Independet Traveler Reborn! hehehe.
Masih konsisten gaya tulisannya, suka banget. Larut. Saya cuma sekali mampir melihat monumen itu, yang mana saya baru tahu kisahnya beberapa tahun kemudian ketika ternyata Bapak menyimpan novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang sudah agak lusuh di tumpukan kardus. Ah, kapal ini nyata adanya! Tapi, benar juga, bisa jadi percuma….
haha, reborn apanya qy, cuma ganti tema
konsisten gaya nulis masih lah, konsisten nulisnya yang agak berat 😀
aaah, soal novel, aku dulu sempat punya yang edisi pertama
trus dipinjem temen, eh gak balik sampai sekarang 🙁
Setelah sekian lama bolak-balik ke blog ini nggak ada postingan baru akhirnya muncul juga yang ditunggu. Dan ternyata udah banyak update-an. As always, i really love the way you write. Ini semacam membaca dongeng yang menyenangkan.
Hehehe, terima kasih udah mau bolak-balik buat ngintipin tulisan baru mbak
dan maaf, baru bisa update belakangan ini 🙂
eh iya, kayaknya asik juga ya kalau pelajaran sejarah di sekolah-sekolah diganti aja metodenya jadi kaya pembacaan dongeng
pasti ga mbosenin 😛
Wah nulisnya ini pasti nggak sejam dua jam, ya. Butuh menyendiri, sambil menyeruput kopi (bila perlu), bikinnya nggak siang bolong pas terik menyengat, tetapi saat malam hari dengan keheningan menggeliat. Ah, the best lah. *ngomong apa sih*
Salam kenal mas Yo 🙂
Hi, Toms!!
Selamat datang, terima kasih sudah berkunjung
hehe, tebakannya tepat, nulisnya berhari-hari dan semuanya ditulis malam hari 😀
salam kenal juga ya, semoga betah dengan tulisan-tulisan lain 🙂
Wah, sudah nengok blog hamba ya, sampai tahu panggilan hits, haha.
Tebakan tepat, karena mas Yo setipe dengan saya (kalau nggak salah tebak). Tipikal blogger yang nulisnya berdasarkan kulitas, bukan kuantitas. Seringnya nunggu momen yang pas untuk menuangkan ide dan kreativitas. Betul? 😀
Bahkan, demi bikin artikel travel yang nggak biasa (karena kebetulan mengalami hal nggak biasa), saya sampai nyepi di malam jumat lagi. Ya, demi tulisan genre horor ini:
https://iwantantomi.wordpress.com/2016/10/26/demi-idul-adha-di-masjid-agung-jawa-tengah/
sudah, tadi sempat ngintip-ngintip
hahaha
anak malang ya?
aku dulu 7 tahun tinggal di malang 😀
siap, habis ini melipir baca postingannya
iya, ayas kera ngalam, wah… 7 tahun, sekolah?
Ma lord is back
hwaha, opo suf 😀
Makin lama makin senang baca tulisan Kakak, banyak kosa kata yang kadang aku aja nggak pernah kepikir pakai. aku tidak menonton film tenggelam nya kapal ini, karena aku pikir akan bosan, tapi setelah membaca tulisan kakak, jadi pengen lihat.
sippppp
tulisan yangggg kerrreenn. share ah di facebook. hahah. kool!
Hehehe, makasih kak Adliiin 🙂
Makasi sudah berbagi cerita ttg van der wijck, saya baru tahu kl ini ada monumennya.
Salut buat kak yofangga
sama-sama kak leo 😀
Aku larut dalam ceritamu, mas. Terima kasih sudah menulis ini. Aku nggak tau perihal kapal Van der Wijk ini juga belum pernah membaca novel atau menonton film tentangnya.
coba baca Nug, bagus kok bukunya
salah satu buku yang wajib dibaca sebelum meninggal 😛
Bahkan lebih menggugah baca tulisanmu tentang tenggelamnya kapal Van der Wijk dibanding nonton filmnya, Kak. BRAVO!
😀 baca novelnya bahkan lebih menggugah ratusan kali lipat kak bul