Anakku, kenalkan aku ayahmu.

Saat surat ini dituliskan, kau tentu belumlah mengenal dunia. Tenang saja, kelak kita akan memiliki banyak sekali waktu untuk itu. Kita akan menghabiskan banyak malam untuk saling bercerita perihal kehidupan sehari-hari, perihal kota yang macet, perihal matahari yang terbit, dan perihal-perihal lainnya. Kita akan saling bercerita dan tertawa hingga larut dan membangunkan ibumu dari tidurnya, lalu ia akan marah, dan menyuruh kita untuk cepat memeluk selimut.

Anakku, hiduplah dengan rasa ingin tahu yang penuh, tanyakan segalanya. Ketahuilah apa-apa yang tak sempat kuajarkan padamu, sebab nanti kau akan besar di dunia yang berbeda dengan apa yang kualami. Buatlah kesalahan, jangan pernah takut. Takutlah hanya jika kau tak pernah mencoba, dan menyesal setelahnya. Takutlah jika berbuat salah, dan kau tak belajar apa-apa darinya.

Bercita-citalah, Nak. Kau boleh menjadi apapun yang kau mau. Kau boleh menjadi dokter, pilot, ataupun insinyur seperti teman-temanmu. Kau juga boleh menjadi penyanyi, atau pelukis, atau penari, tak ada cita-cita yang lebih baik dari yang lain, semua harapan itu baik. Yang tidak baik, adalah meragukan kemampuanmu sendiri.

Anakku, di rumah ini kau akan belajar berdemokrasi. Bahwa kau juga memiliki hak untuk berbicara. Jika nanti aku pulang kerja terlalu larut atau berangkat terlalu pagi. Tegurlah ayahmu ini, Nak. Aku jamin tidak akan pernah marah, meninggikan suara, ataupun memintamu untuk mengerti keadaanku. Tidak, Nak, aku bukan ayah yang seperti itu. Aku adalah ayah yang akan membebaskanmu berbicara apa saja, termasuk soal panggilan. Jika kau mau, kau boleh memanggilku dengan hanya menyebut nama. Sebab di rumah ini, aku tak ingin menciptakan jarak, aku ingin kita menjadi kawan yang karib.

Anakku, jika sudah tiba waktunya, maka kelak kau akan bersekolah. Tenang saja Nak, kau hanya perlu datang, duduk manis, dan mendengarkan. Aku takkan sedemikian kaku menyuruhmu belajar dengan baik. Sekolah agar kau menjadi orang yang pintar itu omong kosong. Di sekolah kau hanya akan dipaksa mempelajari semua hal, bahkan mata pelajaran yang tak kau suka sekalipun. Kau akan dijejali dengan hafalan dan banyak sekali tugas, yang belum tentu akan berguna bagimu kelak. Pada akhirnya, kecerdasanmu hanya akan dinilai dengan sederetan angka-angka dalam rapor. Jika nanti kau menadapat nilai buruk, usah kau khawatir. Bukan untuk nilai itu aku menyekolahkanmu, Nak. Tapi agar kau mengenal orang lain dan belajar menempatkan diri di antara mereka.

Di sekolah kau akan belajar perbedaan, kau akan mengenal si Jawa, si Batak, si Ambon, si Tionghoa, si Arab, dan kau akan tahu bahwa memang begitulah manusia tercipta. Tak ada yang salah dari hal tersebut, bukankah dengan berbeda kita baru bisa mengenal orang lain? Dan meskipun nanti kau akan bertemu dengan orang yang mengkotak-kotakkan manusia berdasarkan perbedaan, kuingatkan padamu, Nak, jangan pernah kau ikut melakukannya. Perlakukan manusia, selayaknya manusia, bagaimanapun keadaannya. Kita semua setara, itu adalah perihal yang tak bisa ditawar.

Setelah purna belajar memahami manusia, barulah kau boleh mengenal Tuhan, Nak. Kau akan belajar tentang agama, tentang candu yang membuat semua orang mabuk. Candu yang membuat orang mudah melayangkan tunjuk pada muka orang lain sambil berteriak kafir. Candu yang membuat manusia rela meledakkan diri, mengobarkan perang, maupun merampas tanah manusia lain. Itulah kenapa agama kuletakkan paling akhir dari apa yang perlu kau pelajari. Aku tak ingin kau menjadi hakim moral atas orang lain, tak ada manusia yang berhak mengadili manusia lain.

Meski begitu, agama jugalah yang memberikan ketenangan pada sebagian orang. Kau nanti akan melihatnya dari si Muslim, si Kristen, si Katholik, si Buddha, si Hindu, dan si konghucu. Negara kita memang hanya mengakui enam agama itu, Nak. Jika kau mau, kau boleh mengikuti jalan mereka, aku takkan memaksamu untuk memilih satu dari sekian agama tersebut. Kau boleh memilih sesukamu, kau bebas memeluk satu atau semuanya sekaligus, atau bahkan jika seandainya kau memutuskan untuk tidak memeluk sekalipun, aku sama sekali tidak akan keberatan. Agama adalah urusan personalmu dengan Tuhan, tiada yang boleh memaksanya, tidak negara sekalipun.

Anakku, kelak kau akan bertemu dengan orang-orang yang selalu ingin tahu kehidupan orang lain. Jangan risaukan mereka, Nak. Mereka tidak menjalani hidup yang sama denganmu, maka maklumilah. Dan jika suatu saat kau dihujat atas pilihan-pilihan hidup yang kau perbuat, jangan gentar. Sebab apapun yang kau lakukan, entah itu buruk atau baik sekalipun, akan selalu ada orang yang berkomentar, kita tidak bisa memuaskan semua orang. Maka tetaplah berjalan.

Anakku, kelak kau akan beranjak dewasa. Barangkali juga kau akan meninggalkan rumah. Pergilah nak, dunia tak hanya seluas pandangan matamu. Berjalanlah yang jauh selama itu mendekatkanmu pada impianmu. Jika suatu saat kau merasa lelah, istirahatlah barang sejenak, selonjorkan kakimu, berikan jeda. Tak perlu tergesa-gesa Nak, dunia bukanlah arena adu lari. Jika nanti kau menemui kegagalan, jangan pernah surut. Ketahuilah, di dunia ini, memang ada hal-hal yang tidak bisa kau ubah, sekeras apa pun usahamu. Yang perlu kau lakukan kemudian hanyalah memanjangkan kesabaran.

Dan jika nanti kau berhasil meraih apa yang kau inginkan, jangan pernah angkuh, Anakku. Ingatlah untuk selalu menunduk jika ada kesempatan. Jangan sampai kau terjatuh karena tidak mempedulikan apa-apa yang ada di bawahmu. Lebih banyaklah mendengar, sebab ketika kau berbicara, kau hanya akan mengulang apa yang kau ketahui. Sedangkan jika mendengar, kau akan mendapat apa yang belum kau miliki. Jika sudah demikian, maka ambil secukupnya, kemudian bagikan sisanya.

Anakku, kelak kau juga akan mengenal orang yang mencuri hatimu. Tak perlu malu, kau boleh sesekali bercerita tentangnya padaku. Jatuh cintalah dan perjuangkan. Untuk urusan yang satu itu, kau boleh untuk tidak bersikap logis, karena memang cinta mana yang masuk akal? Dan jika nanti kau menghadapi patah hati, menangislah jika kau ingin, karena memang untuk itu air mata diciptakan. Kau tak perlu senantiasa terlihat tegar, Nak, sebab hanya dengan demikian kau akan belajar kehilangan, dan menghargai apa yang kau miliki. Mungkin ibu akan marah dan menganggapmu cengeng. Lalu seperti peluru akan menghujanimu dengan ceramah. Mengangguk saja nak, Ia mungkin lupa, bahwa emosi adalah perihal paling rumit yang dimiliki manusia.

Begitulah hidup, Nak. Sepedih dan sekeras apapun itu, ia tetap layak untuk dijalani. Tapi sebelum itu semua terjadi, nikmati dulu masa kecilmu. Janganlah cepat dewasa, tumbuhlah dengan wajar. Karena apa yang sudah waktunya tidak akan bisa kau hindari, dan apa yang belum, tidak perlu kau takuti.

Salam, Nak

Ayahmu

One thought on “Untuk Anakku Kelak”

Leave a Reply