Paltuding, pukul satu dinihari. Dingin masih enggan berhenti menusuk tulang. Seorang bapak bangun dari dipan kayu dirumahnya yang juga kayu. Setelah dirasa agak lurus punggungnya, dia ke samping tempat tidur, saya bilang begitu, tapi dia kata itu dapur. Biarlah kita bersepakat saja, dia mulai merebus air tak seberapa dan mulai meramu kopi panas.
Satu tiga puluh, si bapak harus bersiap pergi. Pukul segini mau kemana? ke puncak Ijen, lalu menuruni kawahnya. Bapak harus bekerja, biar dapat uang. Uang buat makan anaknya yang cuma satu, biar tidak lapar. Dia Hafal sudah bahwa langit cuma bisa turunkan hujan, bukan makanan. Sebelum pergi, kening anaknya yang masih tidur dicium dulu biar dapat restu.
Satu empat lima, bapak menggotong keranjang naik ke puncak. Dari Paltuding masih dua jam jalan kaki. Tapi bapak hanya punya waktu sedikit, jalan kaki harus dikebut satu setengah jam saja, karena pukul enam harus sampai rumah lagi. Naik ke Ijen tidak gampang, paling tidak sampai sekarang belum ada yang bilang begitu. Tingginya tak main-main, dua ribu seratus empat puluh delapan, itu diatas permukaan laut, deret angkanya saja sudah susah dibaca. Ya sudah, jangan buang waktu, bapak mulai berjalan.
Ditengah jalan bapak tak berhenti. Untuk menghemat waktu, dia minum kopi sambil jalan kaki. Untunglah malam ini purnama sedang naik secerah-cerahnya. Terang jalan dibuatnya. Benar saja, tiga lima belas bapak sudah sampai puncak, waktunya turun ke kawah. Benderang masih tak habis. Sinar bulan temani bapak menuruni batuan lancip dan tajam lagi curam.
Di dasar kawah lelehan belerang menggelegak enam ratus derajat celsius. Warnanya merah membara keluar dari kerak bumi. Asap putih menyembur tak tentu usai, jangan dihirup kalau tak mau jadi bangkai. Tapi beginilah kerja bapak, mendulang belerang. Menunggu beku, memecah, lalu menggotongnya berkilo-kilo. Setelah dapat banyak, bapak kembali memikul beban, berat sangat. Baginya mengais peluh dan mengikat perut sudah biasa. Yang ditakutkan hanya anaknya kelaparan. Jika ingat begitu, hilang sudah keluhnya.
Naik ke puncak susahnya dua kali lipat dari turun, apalagi dengan belerang sekeranjang. Belum lagi perjalanan dari puncak sampai pos timbangan. Satu jam perjalanan bapak habiskan dari kawah ke pos. Disini belerang ditimbang, berat punya bapak delapan puluh kilo, ditukar sama uang enam ratus perak sekilo. Lumayan pagi ini dapat empat puluh delapan ribu. Bapak senang, senyumnya mengembang, saatnya pulang. Dirumah si anak sudah bangun, sudah mandi, tapi belum sarapan. Bukan karena tak mandiri, tapi memang dirumah tak ada nasi, cuma sisa sekerat ubi. Ditunggunya bapak pulang, biar bisa dibagi lagi jadi dua.
Bapak sampai dirumah, waktunya mengantar anak ke sekolah. Dilihatnya si anak belum makan, padahal sekarang sudah hampir jam enam. Bapak marah pagi-pagi muntab. Si anak cuma bisa tunduk minta maaf sambil bagi ubi untuk bapak dimakan sekerat-sekerat. Bapak terisak, ditahannya air mata, sambil berkata
“Habiskan lah nak, bapak tidak lapar”.
Saat makan, si bapak cuma bisa mengelus kepala anaknya dan lirih berkata
“Pandai-pandailah kau sekolah, biar tak susah seperti bapak, biar tak lapar anakmu kelak”
Enam tiga puluh. Si anak bersiap memakai sepatu. Sempat ia diam sesaat lalu toleh bapak disebelahnya
“Pak, sepatuku sobek sebelah kiri”
Bapak cuma bisa bilang “Nanti bapak usahakan yang baru ya nak”
“Tidak usah pak, aku tetap pintar kok dengan sepatu ini”
Senyum getir jatuh dari bibir bapak dan dikecupnya sekali lagi kening anaknya.
Setelah semuanya siap. Bapak mengantar si anak ke sekolah, tidak ada angkutan, tidak ada kendaraan. Mereka pergi dengan berjalan. Satu jam saja lamanya sampai sekolah. Dalam perjalanan bapak merogoh sakunya. Dikeluarkan tiga ribu rupiah dari celananya, lalu berpesan
“Anakku yang hebat, ini uang jajanmu, gunakan dengan bijak”
Si anak mengangguk tegas tanda setuju.
Mereka melanjutkan perjalanan.
Menyentuh Mas, perjuangan mereka nggak seberapa dibandingkan pendapatan yang diterimanya
makasih mas uda mampir, hehe
iyah
kita harus tetap bersyukur lah sama apa yang uda kita dapet 🙂
intinya jangan mengeluh
masih banyak orang diluar sana yang kurang mampu, bahkan hanya untuk makan..
ini beneran yakin bagus dan keren banget! four thumbs up buat mas yofangga 🙂
hehe, lama nih gak berkunjung mbak
😀
makasi makasiii apresiasinya
perjuangan bapak untuk anaknya selalu luar biasa……..
itu pasti.
selalu, tapi gak pasti, haha
baru kali ini nemu cara bertutur tentang ijen yang lain dr biasanya.
perjalanan saya ke Ijen memang benar2 kasih saya pelajaran.
hehe, makasi mbak
saya memang selalu mencoba untuk menceritakan sesuatu dari sudut yang berbeda 🙂
perjalanan memang harusnya bisa membuat kita belajar..
Indah sekali mas.
Ijen memang mengajarkan kita utk selalu bersykur. Bersyukur utk alam Indonesia yang begitu indah, dan bersyukur atas hidup kita, krn banyak saudara kita yang harus berjuang utk setiap hari yang dilewati.
benar sekali, bahwa sebenarnya kekayaan hakiki bukan terletak pada timbunan harta, tapi lebih kepada rasa syukur yang slalu terucap 🙂
Mas nginep di tempat bapak itu? Jadi kayak reality show sebuah stasiun televisi swasta. Tinggal bersama orang-orang seperti mereka memang akan memberikan banyak pelajaran hidup bagi kita.
hehe, selama perjalanan, kemanapun, aku jarang tidur di penginapan 😛
pasti kalo gak di tempat umum ya di rumah warga
So touching
Meleleh bacanya
😀 makasih makasih
Huaa blue fire-nya cakepp… Semakin suka gaya berceritamu, bro. Keep traveling and writing in your blog 😉
hehe, selamat datang di rumah sederhana ku mas
semoga tetep senang dan lebih sering berkenan mampir
😛
mengharukan mas, tapi itulah pilihan terakhir mereka,
ada beberapa yang mempunyai ladang dan akhirnya mereka lebih memilih utk berladang
sepertinya itu bukan pilihan kak
keadaan yang memaksa mereka seperti itu
yang punya ladang lebih beruntung 🙂
luar biasa ya bapak itu. dulu pas kesana gak sampai kawahnya…
kalo sempet mampir kesana lagi jangan lupa mampir ke kawahnya mas
hehe 🙂
mas yo emang pujangga keren cara nulisnya ih
duuuhh, bukan mas, bukan pujangga, hehe
mbok olen aja tuh yang berlebihan 😛
Wih Mas. Ini bener semua real yg di tuangkan dalam cerita diatas? Bener sampe berkunjung ke rumah bapaknya sblum naik pagi itu?