Sepengetahuan mereka, hari itu langit sedang terang dan matahari terik. Tidak ada awan gelap juga tidak ada tidur yang disinggahi mimpi buruk. Penduduk kota Angkor masih mengurusi kebun atau membajak sawah, sebagian mereka mungkin tengah berdoa sementara yang lain memilih bersenggama. Apapun yang mereka lakukan, mereka masih berkegiatan sebagaimana biasa tanpa pernah menduga apa yang akan terjadi pada tengah hari yang cerah itu.

17 kilometer dari gerbang kota, pasukan Champa yang dipimpin oleh Jaya Indrawarman IV baru saja berlabuh di bibir danau Tonle Sap setelah berhari-hari berlayar mengarungi sungai Mekong. Dari sana mereka mengarahkan perahu terus ke utara menyusuri sungai Siem Reap. Kedatangan mendadak pasukan negeri asing itu jelas bukan merupakan kunjungan persahabatan, bukan pula delegasi penyerahan upeti. Misi mereka jauh lebih besar, sebesar kemarahan yang dibawa di hati dan mengalir dalam pembuluh darah masing-masing.
Sampai di tujuan, Jaya Indrawarman IV mengambil serunai yang terlilit di pinggangnya. Ia lalu mengangkat kedua tangan dan mulai meniup. Lengkingan serunai itu diikuti oleh tabuhan genderang perang yang bergemuruh. Sorak-sorai pecah di udara, teriakan-teriakan kebencian menggema. Bala Champa yang sudah terpompa semangatnya langsung turun dari perahu, merangsek ke sasaran utama, menyerbu kerajaan Khmer.

Ada dua cara yang lazim dipakai para penyerang untuk memasuki benteng musuh: mendobrak gerbang utama atau memanjat dinding pertahanan. Champa tidak memilih salah satu, mereka melakukan kedua-duanya sekaligus. Menggempur terang-terangan lewat pintu masuk juga menaiki tangga yang sudah disandarkan ke tembok kota. Tak butuh waktu lama bagi legiun itu untuk berhasil mendobrak gapura Yasodharapura maupun Angkor Wat, dan mereka memanfaatkan benar kesempatan itu.

Penyerangan Champa tentu bukan tanpa sebab. Konon, bibitnya berawal dari tahun 1136 saat Suryawarman II mengirimkan 700 kapal perang dan membariskannya di sepanjang teluk Tonkin. Ratusan kapal itu sukses menghancurkan Wijaya, ibukota kerajaan, sekaligus membuat Champa takhluk sebagai salah satu wilayah jajahan Angkor. Kini, meskipun telah lewat masa 41 tahun dan Suryawarman II telah lama tewas, kesumat itu tidak habis. Champa ternyata paham betul cara merawat dendam. Ingatan tentang perang mengekal sebagaimana dendam mengeras, sekeras batu, sekeras dendam yang mengeras sekeras batu.
Akibatnya sungguh mengerikan. Neraka seolah menunjukkan diri dengan sempurna persis di depan mata setiap penduduk Angkor. Mereka yang masih terkejut, tercengang-cengang saja melihat teman atau saudara ditusuk satu-satu oleh pasukan Champa, di dada maupun di punggung. Banyak pembunuhan yang tidak perlu, termasuk orang tua, wanita, juga anak-anak. Tribhuwanadityawarman, sang raja yang tidak biasa berperang akhirnya terpaksa turun ke gelanggang tanpa satu siasatpun. Dan ia tewas di tempat, tak perlu ditanya.

Hari itu langit tidak lagi terang dan matahari tidak lagi terik. Angkor Wat porak poranda meninggalkan sisa puing-puing, hantu bergentayangan, Yasodharapura terkepung dan penduduknya tidak punya pilihan lain selain membesar-besarkan hati sendiri dalam kepasrahan yang sangat, tentu sambil sesekali menyisipkan harapan kelak lahirnya sang pembalas dendam.

4 tahun penindasan berlalu, doa-doa yang menggantung mulai terjawab dengan munculnya Jayawarman VII. Dia paham betul apa yang dibutuhkan masyarakat. Khmer harus bangkit dan kota Angkor harus direbut. Itu adalah apa yang disebut orang sebagai perjuangan. Maka turunlah ia ke medan perang, usianya saat itu boleh enam puluh, tapi semangat perangnya masih seperti bocah belasan tahun.
Setidaknya Jayawarman VII berbicara benar. Ia melakukan beberapa pemberontakan, mengusir pasukan Champa, merebut, merenovasi Angkor Wat, hingga menyatukannya kembali dalam kerajaan Khmer yang lebih besar. Ia juga yang mendirikan Angkor Thom dan menjadikannya ibukota baru menggantikan Yasodharapura. Angkor Thom yang berarti kota besar itu bukan sekadar sebutan olok-olok belaka karena luas kawasannya mencapai sembilan kilometer persegi. Setara dengan empat setengah kali luas Angkor Wat, dan ke sanalah sekarang sepedaku dikayuh.

Untuk mencapai Angkor Thom aku hanya perlu bersepeda lurus ke utara sejauh 1,7 kilometer. Sama seperti kuil sebelumnya, Angkor Thom juga dikelilingi oleh pagar batu. Perbedaannya barangkali pagar Angkor Thom jauh lebih panjang dan lebih tinggi. Jayawarman VII jelas belajar banyak dari serangan Champa hingga pagar sepanjang 12 kilometer itu dibangun dengan tinggi sampai delapan meter, dua kali lipat lebih tinggi dari pagar yang mengelilingi Angkor Wat.
Angkor Thom memiliki 5 gerbang, empat di tiap sisi mata angin ditambah satu gerbang bernama ‘the victory gate’ yang terletak 500 meter di sebelah utara gerbang timur. Gerbang selatan Angkor Thom barangkali adalah yang paling terekenal dari semua gerbang di kawasan kota tua Angkor. Penyebabnya tiada lain karena jembatan yang digunakan untuk memasuki gerbang tersebut dijaga oleh 108 patung monolit, terdiri dari 54 patung dewa di sisi kiri dan 54 asura di sisi kanan. Masing-masing patung di kedua sisi itu memunggungi pintu masuk dan menggenggam seekor naga, sebagaimana diceritakan oleh hikayat Samudra Manthan dalam mitologi Hindu.

Tidak seperti Angkor Wat yang hanya memiliki satu kuil, Angkor Thom memiliki banyak kuil dan infrastruktur. Dalam 30 tahun masa kekuasaannya Jayawarman VII secara impulsif membangun puluhan rumah sakit, rumah peristirahatan, reservoar air, juga kuil-kuil megah termasuk Ta Prohm, Preah Khan, dan Bayon. Namun tentu ada harga yang hendak ditebus, dari sekian banyak pencapaian Jayawarman VII, ia juga menyodorkan tuhan baru yang minta disembah. Ia mengenyahkan patung dewa-dewa bermuka suram, menghancurkan kil-kuil yang menolak dipoles, mengganti dewi-dewi setengah telanjang dengan senyuman Siddharta. Ia melenyapkan Hindu dan melahirkan Buddha.
Sikap ganjil itu tak lepas dari keputusan Jayawarman VII menikahi seorang putri bernama Jayarajadewi, yang kemudian sepeninggal istrinya menikah lagi dengan adik ipar sendiri, bernama Indradewi. Dari kedua orang itulah Jayawarman VII belajar cinta kasih Buddha dan memutuskan untuk mengganti agama kerajaan Khmer. Jayawarman VII tak bermaksud jadi penghianat iman, ia semata hanya menjalankan apa yang dianjurkan oleh kedua istrinya. Sebab begitulah selalu tabiat cinta.

Pengubahan agama kerajaan ini mau tidak mau ikut mengubah segala bentuk peribadatan dan langgam arsitektur bangunan yang sudah dibangun sebelumnya. Tampilan kuil-kuil Hindu yang ditambahkan patung-patung Bodhisatwa itu kemudian menjadikanku sedikit reflektif. Apakah adil memaksakan kepercayaan pada masing-masing masyarakat yang kemudian menjadikan mereka liyan di kota sendiri?
Entahlah, tentu ini semacam pertanyaan komikal yang seringkali meledak-ledak di kepalaku, terlebih saat melakukan perjalanan. Dan seperti yang sudah-sudah, tidak semua pertanyaan bisa menemukan jawaban.

18 thoughts on “Tentang si Kota Besar, Angkor Thom”

  1. Selalu seru membaca cerita sejarah darimu Mas, soalnya pasti melibatkan emosi #eh. Perasaan saya jadi ikut teraduk-aduk antara merasa patriot ketika Jayawarman VII mendulang kemenangan, padahal membaca bagian beberapa belas tahun sebelumnya agak tegang karena penyerangan yang meminta nyawa, apalagi keroyokan, pasti sangat membabi-buta. Tapi yang bikin takjub itu hasil bangunannya sampai sekarang masih bertahan dan bisa disaksikan. Benar-benar sebuah kota besar, mungkin megapolitan pada masanya. Saya jadi makin pengen ke sana lagi, hehe, amin.

    1. Aku juga belajar menceritakan sejarah darimu kok Gar, gimana bikin cerita yang detail dan punya dasar, hehe

      iya, pada masanya kota Angkor pastilah begitu padat dan maju, tapi kalau ngelihat sejarah sendiri, kita pun juga sepertinya demikian

  2. persis dengan apa yang disampaikan mas Gara, aku pun hanyut terbawa suasana seperti sedang menonton film perang. Tentang Tribhuwanadityawarman yang terbunuh sia2, ah, aku benar2 bisa melihat tulisan ini mengalir mengantarku pada imaji yang luar biasa mas. Tentang balas dendam Jayawarman VII, semua benar2 mengalir indah. dan ga lepas dari alurnya. Selalu suka tulisan2mu Mas Yof! Keren.

  3. Saya tidak terlalu suka wisata semacam candi atau pun angkor — entahlah, ketika sekolah dulu pelajaran tentang kerajaan suka tidur.

    Tapi, membaca tulisan ini , seperti terjebak membaca keseruan sebuah cerita yang membuat saya berguman, ” ehmmm!”

    1. waaaah, ketahuan suka tidur waktu sekolah
      hahaha
      aku pun dulunya ga suka pelajaran sejarah, ya karena kurikulum kita terlalu membosankan untuk diikuti 🙁

  4. Memang beda saat seorang traveler budaya yang menulis, foto2nya bangunannya jadi hidup dengan cerita-cerita di dalamnya dengan kisah2 lama yang melingkupinya…

  5. Jarang aku menemukan tulisan blog yang mengangkat sejarah tanpa bosan, tapi tulisanmu ini lain, mas. Aku sukses membaca penuh sampai akhir. Suka banget sama konsep dan sudut pandangmu.

    Banyak Blogger harus belajar darimu, termasuk yang udah populer dan diundang sana sini 🙂

    1. Makasih banyak, Nugie 🙂
      hehe, ada kelebihan dan kekurangan masing-masing pastinya
      yang sudah populer atau di endorse sana sini mungkin pembacanya lebih banyak, ya paling tidak aku harus belajar gimana cara menjaga pembaca dari mereka 🙂

Leave a Reply