Setelah menunggu berhari-hari, berminggu-minggu, akhirnya lelaki itu datang bersama temannya. Mereka keluar dari aspal utama dan berkelok ke setapak kecil, setapak yang diselimuti pasir halus sehingga roda motor bergulir sedikit terseok-seok. Si pengendara kemudian menekan pedal rem pada salah satu sudut yang dirasa pantas, menurunkan standar motor, dan menewaskan bunyi mesin. Ia membunuhnya dengan sebilah kunci, sekali putar, ya sekali putar saja motor itu berhasil dibuat mati.
Seturunnya dari kendaraan, mereka berdua langsung berpencar. Temannya pergi lebih dulu, ia berkacamata, memakai kaos putih, bercelana hitam pendek, dan terlihat seperti seorang bocah hilang. Kakinya melenggang gegas menyusuri garis pantai, menyesatkan diri ke timur laut, menyusul bayangannya sendiri. Saat itu langit cerah hampir tengah hari, burung-burung laut bermigrasi, dan kapal-kapal nelayan mondar-mandir membawa panen rumput laut.
Lelaki yang kutunggu terlihat tak kalah hilangnya. Ia masih berdiri mematung, menatap matahari di belakangku sambil meneduhkan mata dengan tangkupan tangan. Aku berusaha menerka-nerka apa yang hendak diperbuat saat kedua tangannya mulai sibuk merogoh-rogoh tas samping. Lelaki itu ternyata mengeluarkan kamera, mengganti-ganti lensa, lalu melangkah ke arahku, tenang, seperti angin dinihari. Aku bersiap menyambutnya sambil tersenyum, tapi saat jarak kami hanya tinggal sepelemparan batu, ia menghentikan langkah. Kulihat raut sedih memancar dari mukanya, persis muka seorang peziarah, barangkali heran melihat rupaku yang telah seperti pemakaman.
Dulu, dulu sekali. Tempat ini pernah menjadi tempat yang digemari berpasang-pasang kekasih untuk memamerkan betapa mesranya masing-masing dengan pasangannya, yang kadang baru mengetahui belakangan jika sebenarnya mereka telah diselingkuhi belaka, yang kemudian patah hati, yang kemudian menemukan hati lain, yang kemudian ke sini lagi, lalu kembali memamerkan betapa mesranya mereka dengan pasangan baru. Semua terjadi di sini, di pantai ini.
Dulu, dulu sekali. Tempat ini pernah menjadi saksi berkumpulnya puluhan keluarga, yang baru berbulan madu, yang agak lama berumah tangga, maupun yang bosan menikah. Mereka membawa anak-anak dan istri, kadang mereka membawa sisa pertengkaran atau membawa harap bisa lupa hutang pekerjaan. Di sini, di pantai ini, mereka berbahagia, mengambil jeda sejenak sebelum akhirnya pulang untuk kembali ke pertengkaran-pertengkaran lain, untuk mengutuk kehidupan, sekali lagi.
Dulu, dulu sekali. Aku pernah berpikir bahwa hanya manusia yang dapat lahir, tumbuh, menua, lalu mati. Namun kesimpulanku rupanya terlalu cepat, terlalu segera. Pantai ini pun ternyata demikian. Terkenal, lalu ditinggalkan, tapi bukankah dengan begitu kita jadi tahu bahwa sempurna itu tidak ada.
Aku kemudian merasa bahwa para pejalan adalah makhluk yang bermasalah. Mereka hadir dengan jabat tangan yang sebentar, mengambil beberapa gambar, dibagikan ke media sosial, mengaku jatuh hati, dan mengajak orang-orang ke tempat yang sama untuk melakukan sebuah eskapisme buru-buru. Bagaimana bisa seorang asing dari kota-kota jauh, yang tak tahu menahu apa-apa, merasa dekat dan menjadi bagian dari sebuah tempat jika tidak benar-benar tinggal dan mengenal?
Kini, jika pergi ke pantai ini kau hanya akan menemui rumah-rumah kosong dan pepohonan sungsang dengan daun yang sesekali gugur. Berjalan lebih jauh, maka kau akan menemukan tanah-tanah retak dengan air sawah yang mengering. Lebih dalam lagi, kau akan menemukan masyarakat dengan celana lapang karena perut kecil kurang makan. Namun, bukankah kalian tak memiliki cukup waktu untuk remeh-temeh tersebut?
Kini, seluncuran itu tidak lagi bernama papan seluncur. Sebab telah enggan orang tergelincir di atasnya, sebab telah karat besi penopangnya dimakan usia, juga sebab telah lepas sekrup-sekrup pada tambatnya, meninggalkan seluncuran doyong ke kiri. Waktu seolah terperangkap padanya begitu lama tanpa ada yang berusaha memperbaiki, tanpa ada yang berusaha membuatnya berfungsi kembali.
Kini, dua batang kayu, yang di antaranya dibentangkan jaring seperti rumah laba-laba, yang dipancang sembarang pada latar pantai datar, telah hilang guna. Dulu banyak orang bermain dengannya, dibagi jumlah sama rata di kiri dan kanan jaring, saling melempar bola, saling menangkap bola. Sekarang lengang. Batang kayu itu ditinggalkan, jaring itu ditinggalkan, pantai itu juga ditinggalkan.
Matahari mulai naik ke atas, lelaki yang kutunggu dan temannya bersiap pindah tempat. Akulah laut itu, akulah pantai Tablolong itu, dan engkaulah pejalan itu.
Kok jadi sedih ya baca cerita pantai Tablolong ini. Jadi penasaran, kenapa pantai ini ditinggalkan.
Oiya, kayaknya kenal dengan dua orang yang kayak orang hilang itu 😆
hwahaha, dua orang ilang itu ga jelas emang mbak
jauh-jauh ke kupang malah nyasar ke pantai sepi 😀
pantainya cakep kak. kayak tulisannya. aduhai terbawa suasana yang teriring tiap kalimat 🙁
aduuuh, duh
tulisannya kok dibilang cakep, arial biasa kok
bukan times new roman 😀
foto2 nya keren2 yaa,, langsung ada watermarknya tapi ya, heheee
regards,
http://mydaypack.com/
iya lah, khan identitas
lagian masnya juga ninggalin footer khan waktu komen?
ya sama aja sih kaya gitu
Anjay ._. narasi pengantar cerita dari foto-foto yang aduhai itu kok sedih ya :’
Tapi anyway, pantai Tablolong gilaaaak indahnya mas :’ sumpah deh :’
hehehe, soalnya kalau ngomong pasir putih laut biru, uda banyak yang nulis mas
kalau ngomong pemandangannya kaya di surga, lah aku belum pernah ke surga 😛
jadi ya nulis yang aku rasain aja 😀
aishh.. kerennya bahasanya!!
sy waktu ke tablolong cuma ngejar matahari terbenam yang ternyata udh terbenam duluan saat menginjakkan kaki disini.
Kapan2 balik lg lah kesana..
iya mbak, kalau pengen buru sunset emang bagus di sini
pantainya langsung hadap barat, jadi bisa puas liet matahari 😀
wajib mbak, wajib balik lagi, hehe
puitis banget. kereen 😉😉😉
lanjutkan ! salam kenal
happy blogging
salam kenal juga mas
selamat datang 🙂
Waktu dinas di Kupang saya pernah ke pantai ini
sepi memang, dari kabar yang saya dengar dari teman yang asli sana, katanya sepinya pantai ini semenjak buaya muara mulai menyerang wisatawan di pantai ini. Tidak hanya di Tablolong aja, di sekitar garis pantai Kupang selalu ada himbauan untuk berhati – hati dengan makhluk ganas ini. Di Pelabuhan Tenau tempat saya kerja ketika itu pun ditemukan dua ekor buaya yang lagi bermain2 di sekitar area jetty
iya mas, benar
ada beberapa kasus soal buaya muara yang saya dengar
tapi rata-rata di kawasan utara pulau Timor, seperti di pelabuhan atau pantai Lasiana
kalau di Tablolong saya belum pernah denger 😀
Pantainya biru banget sama air nya juga tenang, cocok buat lari2 manja pinggir pantai sambil jorokin mantan ke laut #eh
buseet dah,
(JOROKIN MANTAN)
please mas, laut bukan tempat sampah
buanglah mantan pada tempatnya 😀
“membunuhnya dengan sebilah kunci, sekali putar, ya sekali putar saja motor itu berhasil dibuat mati”
Kepikir gitu untuk menungkan kata mematikan mesin aja jadi sebuah kalimat yg bikin gw tergeleng2
Pantainnya keren yaaaa bersih tp sayang banyak di tinghalkan
hwahaha, kak cum mampir juga 😀
sebenernya sih biar kalimatnya agak panjangan dikit kak
makanya ditulis kaya gitu 😛
Ini kalo ada foto senjanya dasyhat banget mas. Biru aja kece
hehehe, ga sempat ngerasain senja di sini mas
cuma bentaran doang
Saya sempat ke sini di hari pertama nyampai Kupang. Sebenarnya saya berhasil dibuat terkesima. Jujur, terkesima dengan kesunyiannya, fasilitas-fasilitasnya yang rusak malah jadi fotogenik hahaha. Cukup bersih saat ke sana kemarin, cuma memang terkesan dianaktirikan…
tuh khaan, bener khaan, sepi khaan
iya sih, bersih, tapi sepi
dasar manusia, rame salah, sepi salah, hehehe 😀
Berasa seperti pantai milik sendiri ya mas Yofa?! Tulisannya selalu bagus dan bikin baper. Hehehe
waduh, bukan, ini pantai udah ada yang punya
bukan milik sendiri
masuknya aja bayar, parkirnya apalagi 😀
cuma gara-gara udah ada warung