Teruntuk kekasih kecilku dimasa depan..

Aku datang lagi padamu untuk menggenapi janji. Memang Tuhan hanya tahu cara mencipta cinta dimana-mana tanpa meminjamkan ruang untuk berjumpa. Tapi tak mengapa, aku keras hati. Maafkan jika beberapa jenak kebelakang aku terlalu sibuk dengan diri sendiri, mengurusi remeh temeh yang tak kunjung usai.

Beberapa bulan ini tempatku sedang dirundung sendu. Langit tampak bingung dengan perangai sendiri, entah cerah atau mendung memeluk diri. Kadang hujan yang tajam tak henti menusuk jalanan semaunya, mengirimkan dingin kesegala arah yang kukenal. Matahari enggan menjemur tanah yang basah dicuci seharian. Bahkan pelangi pun cuma muncul dengan enam warna, satu warna sakit sehabis direndam deras. Jika sudah seperti itu, setiap kali memandang mendung dari jendela aku hanya bisa berdoa agar kau tak pernah lupa membawa payung.

Beruntunglah kita, siang ini tampak cerah dan teduh, mari berjalan-jalan barang sebentar sebelum hujan kembali turun. Kali ini ingin kuajak engkau mengintip tanah kelahiranku, ranah Minangkabau. Kita mulai dari Pariangan di lereng gunung Marapi, Tanah Datar. Dari sinilah nenek moyangku berasal, beranak pinak, menyebar, hingga akhirnya bertebaran keseluruh penjuru dunia.
Nagari tertua cikal bakal kerajaan besar Pagaruyuang, nagari dimana rangkiang rumah gadang masih tahan walau dimakan zaman.
parianganPariangan adalah desa yang elok bak khayangan. Mereka bilang disini adalah salah satu dari lima desa tercantik di dunia, benar tidaknya silahkan saksikan sendiri. Aku tak berani menegaskan, pun beraklamasi terlalu dini. Kebenaran tidak berada dalam diriku ataupun dirimu, namun dalam ruang diantara kita berdua, jika saling bersepakat.

Dari sini, mari bergeser sedikit ke Bukittinggi, tepat dibawah Jam Gadang yang berdiri gagah menjadi landmark kota. Ah, pilihan yang tepat bukan? Dalam ramainya pejalan lalu lalang, kita sibuk dengan sendiri. Aku membelikanmu gula-gula kapas merah muda, memang tak semanis bibirmu, tak semerah pipimu, namun yang kutahu senyummu merekah karenanya. Kita jatuh cinta dibawah langit biru yang tak tersentuh.
jam gadangBukittinggi adalah salah satu kota dengan deretan sejarah yang panjang. Negeri nan sejuk ini pernah menjadi pusat pemerintahan Sumatera Tengah, gabungan dari empat provinsi yang kita kenal sekarang dengan nama Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau dan Jambi. Membanggakan? jangan kaget dulu, Bukittinggi juga pernah menjadi ibukota dari pulau Sumatra, bahkan ibukota negara pada saat Yogyakarta jatuh ke tangan kompeni. Mereka menyebutnya dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia. Tak heran jika sisa kemegahan masih terlihat dimana-mana.

Bukit nan tinggi, sangat cocok dengan namanya. Diapit oleh gunung Singgalang dan Marapi membuat lembah berserak dimana-mana. Dari sini kita dapat melihat eloknya hijau Ngarai Sianok dengan sungai Batang Masang yang mengular tak selesai dibawahnya. Andai tak diburu waktu, ingin kuhabiskan hari disini, namun detik tak mau berhenti barang sekejap. Lembah harau telah menanti.
ngarai sianokTerletak di Payakumbuh, Lima puluh Koto, lembah satu ini membentang bak raksasa, mengecilkan ego manusia. Dikelilingi oleh batuan granit yang menjulang sampai ke batas awan, ditemani empat air terjun bertelaga, diselimuti hamparan hijau padi yang masih enggan menguning. Kuyakinkan dirimu siap berdecak tak henti. Biarkan kita kembali menjadi kecil, bermain di petak sawah dan meniti jalan di pematang, tertawa puas dan menggemakan riang ke udara. Jangan pedulikan matahari yang makin benderang dan hangat karena cemburu, mengamati kita yang gembira.
lembah harauAku takkan hirau walau gilir waktu mulai tercabut, asal genggam tangan kita tetap berlanjut. Mari ikuti angin dengan sejuta arah entah, kuharap bisa sampai di tepian danau Singkarak atau Maninjau, dua danau terbesar di Sumatera Barat. Keheningan tersebar di permukaan airnya yang kaca, sepadan untuk mengganti riuhnya kota besar. Sekali lagi, aku ingin waktu berhenti dalam nafasku, namun matahari tetap condong ke barat menapaki lengkung langit. Biarlah barang sebentar kita duduk diam tanpa kata, merelakan sore menyapa pelan.
danau singkarakKekasih, jangan berpuas dahulu jika belum ke pesisir menikmati pantai yang tergelar landai. Kita sedang berada dibatas jingga yang mereka sebut sebagai senja. Aku berbaju merah darah, engkau kuning pekat, izinkan langit mengaduk warna kita hingga jadi orange dan menciptakan petang yang sendu. Perjalanan kita genapkan di pulau Sikuai, hanya setengah mil sebelah barat kota Padang. Bermain ombak atau hanya sekedar membuat istana pasir dipenghujung hari.
sikuaisunset sikuaiSemakin larut, malam punya indah sendiri dengan lagu gubahannya. Lelap masih tak mau berserah pada tidur. Kulihat bibirmu mulai bergumam, bernyanyi sesukanya dengan suara yang jernih. Nadanya tak kumengerti, namun kucoba untuk menebak liriknya satu persatu. Kita tersipu pada cerlang bintang dan lengkung bulan sabit. Kulihat ada galaksi baru dimatamu

Ketika sampai dekat hulu cerita, datanglah jarak. Memisahkan kita ke dalam ruang. Kekasih, cerita kita begitu rumit, namun aku tetap bahagia karena pernah menjadi bagian dari penerimaanmu. Usahlah membeli kanvas, agas bebas kita melukis kenang di sembarang tempat, di gunung, di lembah, di pantai, di sini, disisimu. Aku selalu dan akan selalu rakus melukismu, kuyakin kaupun tak kenyang2 menjadi gambar.

Sampai jumpa
Barangkali kita bertemu, mungkin pada suatu besok atau sebentar lagi?

Calon kekasihmu..

All photos was taken from www.google.com

34 thoughts on “Surat Cinta Untuk Negeri : Minangkabau”

  1. Wuaaaa, sumpah jadi kangen kampuang halaman sendiri
    Bukittinggi dan Maninjau sudah setahun gak pulang :((
    Btw, Sumatera Barat dimananya bro?

    salam kenal

    1. haha, saya bukittinggi, tapi besar di padang 😀
      he eh, bener ni
      saya nulis ini juga buat ngobatin kangen kampung halaman
      salam kenal yak, makasi uda mampir

  2. Alam Minangkabau nan elok..negeri asalku..semoga selalu terpelihara keelokannya..sehingga selalu menghasilkan generasi bangsa yg cerdas..

Leave a Reply