Usai sepuluh jam dihoyak jalanan, akhirnya aku bisa duduk tenang sambil menyesap kopi di sebuah kedai kecil kawasan pasar induk Sungai Penuh. Matahari belum tinggi, gerimis jatuh dan dingin. Asap tembakau yang kuembuskan ke udara, beradu putih dengan kabut pagi.
Kakiku masih kebas. Perjalanan dari Jambi ke Sungai Penuh seakan tak mengenal kata lurus, semuanya berkelok seperti ular. Aku yang duduk di kursi paling belakang meringkuk dengan kaki tertekuk, kantuk pun enggan datang. Semalaman tidurku hanya serupa tidur ayam, sebentar bangun, sebentar hilang sadar. Pukul enam pagi mobil merapat di pasar Tanjung Bajure, Sungai Penuh. Aku turun dan langsung mencari sebuah kedai.
Sungai penuh adalah desa kecil di tepian danau Kerinci. Ia memeram keelokan yang tak semua orang bisa menolak. William Marsden, sang pengelana Inggris bahkan sampai rela jauh-jauh berjalan kaki selama tiga hari dari pantai Muko-muko di Bengkulu. Dalam catatannya ia menggambarkan daerah di kaki Korinchi ini sebagai daerah nan jelita. Airnya jernih, udaranya sejuk. Masyarakatnya Ramah memperlakukan pendatang dan tinggal di rumah sepanjang 230 kaki yang terangkat dari tanah. Perempuan-perempuan mudanya mengenakan cincin dari tembaga, rambutnya berhias untaian kerang, meski begitu pisau belati setia menyelip di pinggang. Diibaratkan Marsden, seperti kerbau yang diam tapi bisa menjelma menjadi harimau yang ganas.
Apa yang dibilang Marsden benar adanya. Meski lewat ratusan tahun, Sungai Penuh masih tetap bagaikan desa dalam hikayat. Tanahnya senantiasa dibalut kabut, sawah bak dihamparkan, di sekelilingnya bukit-bukit berbaris serupa raksasa tengah bergandengan tangan. Sebenarnya, Sungai Penuh memiliki banyak amunisi untuk menjala turis: perkebunan teh Kayu Aro, gunung Kerinci, air terjun, dan danau berbalut kabut, namun baru segelintir yang sudi mampir. Sungai Penuh minim publikasi.
“Dari mana, Dik?” Tanya ibu pemilik kedai memecah lamunanku.
“Dari Padang, Buk.” Jawabku.
“Oalah, di sini banyak orang Padang. Rata-rata yang jualan ya orang Padang,” dia kemudian menjelaskan bahwa sebagian besar pedagang di pasar ini merupakan perantauan dari Minang. Orang Sungai Penuh sendiri terlalu malu untuk berdagang, mereka lebih memilih berkebun di Kayu Aro atau jadi petani kayu manis. Jambi memang merupakan penghasil kayu manis terbesar di Indonesia dan tersohor akan kualitasnya sejak lama. Berkat kayu manis, Sungai Penuh ikut memiliki jejak dalam peta perdagangan rempah nusantara, ia seperti Banda yang memproduksi pala, Ternate yang menghasilkan cengkih, atau Barus yang memiliki kemenyan dan kamper.
“Ibu juga Orang Padang?” Tanyaku padanya.
“Indak, awak asli Kersik Tuo, dakek kaki gunuang Kerinci.” Jawabnya, ia berbahasa Minang selancar orang Minang asli. Secara Geografis, Sungai penuh berada di titik pertemuan tiga provinsi, Jambi, Sumatera Barat, dan Bengkulu. Posisinya cukup strategis sehingga banyak pendatang yang mencoba peruntungan di daerah ini, khususnya dari Sumatera Barat. Itu sebabnya, meski masih masuk dalam provinsi Jambi, telingaku bagai berada di kampung halaman sendiri. Bagaimana tidak, setiap percakaan yang kudengar berbahasa Minang, bahasa ibuku.
Kopi tandas, aku lalu merangsek ke pinggiran pasar mencari tukang ojek. Bang Denni namanya, saat kuceritakan hendak keliling Sungai Penuh, ia langsung memperlihatkan tunggangan kebanggaannya. Honda GL Pro yang kuyakin umurnya lebih tua dari umurku sendiri. Selama perjalanan rantainya berderak-derak, dengung mesinnya membuat risau. “Kalau abang datang ke sini lagi, kontak saya saja, nanti saya kasih nomor telepon. Saya biasa antar orang jalan-jalan di sini,” Bang Denni berusaha membela motornya dengan cara menenangkan penumpang. Aku mengangguk saja dari belakang, meski kutahu gerakan itu takkan terlihat olehnya.
Tujuan kami adalah Danau Kerinci. Bersaing dengan bising knalpot, Bang Denni terus mengoceh tentang keelokan kampung yang didiaminya selama ini. “Sungai Penuh aman bagi pendatang, Bang. Tidak ada kriminal. Tapi,”
“Tapi apa Bang?” Timpalku cepat, segala kalimat yang berada dibelakang kata ‘tapi’ setahuku tak pernah berguna.
“Tapi yang jadi masalah adalah tawuran antar kampung.” Aku mengangkat alis. Bagaimana pula aman bagi pendatang kalau misal tawuran antar kampung masih banyak terjadi? Bang Denni kembali bertutur seperti brosur, ia menjelaskan bahwa masyarakat Sungai Penuh mudah tersulut emosi. Mereka bisa saja bertengkar karena hal sepele, misal ngebut di jalanan kampung sebelah. Buntut dari pertengkaran itu bisa berakhir tragis seperti perkelahian atau pembakaran rumah. Aku kemudian diperlihatkan bekas-bekas rumah yang dibakar karena perang lokal tersebut.
Setengah jam, sampailah aku di tepian danau Kerinci. Danau dengan luas sekitar 5000 meter persegi ini setenang daerah tempatnya berada. Tak banyak aktivitas dapat kulihat, benar-benar tasik yang dirundung sunyi. Dulu sekali, danau ini pernah menjadi saksi bagaimana masyarakat Sungai Penuh pernah berjuang melawan Belanda dan kalah. Van der Tholen menuliskannya dalam sebuah jurnal tentang penaklukan yang penuh darah: De expeditie naar Korintji in 1902-1903: Imperialisme of ethische politick. Enam orang tentara Belanda meninggal, sedangkan tiga ratus laki-laki, perempuan, maupun anak-anak Sungai Penuh menemui ajal. Snouck Hurgronje, antropolog yang menjadi konsultan Belanda menyebutnya sebagai salah satu pembantaian yang kejam.
Sejak saat itu bermacam-macam mimpi buruk dialami oleh masyarakat. Mereka dipaksa membuat kanal-kanal kecil dari danau Kerinci untuk dialirkan ke perkebunan maupun persawahan lokal. Kini kanal itu masih bertahan, sawah-sawah masih dialiri irigasi, tapi kenangan tentang tragedi itu masih lekang di ingatan, kecuali oleh pemerintah. Bagaimana tidak, setiap tahun pemerintah mengadakan festival yang tidak berorientaasi pada sejarah. Ribuan turis diundang, konser diadakan, tari-tarian disuguhkan penuh suka cita. Mereka lupa, bahwa air danau Kerinci, tempat mereka berpesta, dulunya, pernah merah oleh darah.
Aku masih diam di tepian danau Kerinci, membayangkan bagaimana jika daerah ini ramai dikunjungi wisatawan. Aaah, pasti sudah tak setenang ini lagi, setidaknya danau Kerinci pasti lebih semarak, oleh sampah.
Abis tu langsung naik gn.kerinci bg
waktu itu ga sempet naik Kerinci
Ah, Kerinci … kerinduan dan cinta… jadi nostalgia waktu tinggal di Kerinci
nyaman buat ditinggali 🙂 adem, kulinernya lezat, agak mirip masakan minang sih..cuman nasinya nggak “badarai” dan gak terlalu banyak minyak …
“perang” antar kampung di kerinci emang nyata sih …
btw, selalu dapat referensi sejarahnya dari mana bang? baca buku?
Ampuuun, yang punya Jambi mampir ke tulisan ini 😀
Iya mas, paling banyak sih referensi dari Marsden, sejarah Sumatra
lain-lain paling dari artikel sejarah
Sungai penuh emang enak dibuat tinggal ya mas, tenang sama udaranya sejuk
betul bang 🙂 makasih tulisan dan foto2nya yah 🙂
Baca blog travel di masa-masa pandemi kayak gini beneran bikin makin kangen menjelajah Indonesia, deh. Huhu :”)
Anyway suka banget sama tone fotonya. Adeemm~
nebar racun jalan-jalan pas masa pandemi, biar ntar kalau dah kelar langsung kalap jalan-jalan lagi 😀
thank youuu 🙂
btw fotonya bagus bagus banget nih