Dulu. Dulu sekali, saat masih belum mengenal sekolah, senja bagiku adalah waktu yang paling menyiksa. Terlebih ketika berserah-terimanya azan dan ikamah magrib. Aku akan sekuat tenaga diseret ke kamar mandi, ditelanjangi, dimandikan paksa, dipakaikan baju longgar, dan tiada peduli tangisku meraung, bedak itu, yang sampai sekarang masih kuingat baunya itu, akan ditaburi ke mukaku tanpa mengenal ampun. Butir-butir seputih salju beterbangan, sebagian luruh, sebagian lagi menempel pada sisa air mata. Lalu wajahku belang-belang, kuning gading dan putih, dan coklat tua jika ditambah dengan mengeraknya lelehan ingus. Sungguh aku merasa lebih seperti boneka daripada manusia.

Lantas, sebagai usaha untuk menghibur, ibu secara cepat akan mendudukkanku di ruang tengah. Televisi dihidupkan dan kami sekeluarga bersepakat menonton acara ‘Dunia Dalam Berita‘. Itulah saat di mana tabiatku yang macam gasing bisa tenang kembali. Di depan tabung bergambar itu aku bagai terkurung kebisuan dengan mulut yang terkatup rapat. Bukan perkara isinya yang membuatku diam, tak satupun topik perbincangannya masuk ke dalam kepalaku, melainkan sebuah peta dunia yang terpampang besar, tepat di belakang si pembaca berita. Hanya peta itu, lain tidak.

Suatu kali sepulang bermain gundu, usai melewati penyiksaan magrib, aku kembali hening di depan televisi. Pantatku seperti dipancangkan pada lantai hingga betah duduk berlama-lama memandang bentuk peta dunia yang abstak. Entah karena menyadari ketertarikanku atau sekadar ingin pamer pengetahuan, sepupuku yang kebetulan ikut menonton, bangkit dari tempatnya. Ia berjalan menuju televisi, lalu seperti seorang guru yang tengah mengajar para murid, tangannya menunjuk ke sebuah daratan kecil di layar kaca sambil berkata “kita tinggal di sini.” Aku mengangguk-angguk takjub, sejak saat itulah aku selalu menganggap pulau berbentuk huruf ‘K’ yang ditunjuk oleh sepupuku itu sebagai rumah.
Nyatanya aku keliru besar, setidaknya sampai bertahun-tahun kemudian. Saat memasuki Sekolah Dasar dan dikenalkan pada geografi, baru kusadari bahwa “di sini” yang dimaksud oleh sepupuku kala itu adalah Indonesia. Negeri kepulauan terbesar di dunia, yang katanya terentang dari Sabang sampai Merauke. Sedang Sulawesi, daratan yang berada persis di ujung jarinya, hanyalah salah satu dari ribuan pulau yang terserak di sepanjang negeri. Rumahku sebenar-benarnya, tersuruk di pulau berbeda, pula dipisah lautan.

Pengetahuan itu ternyata tidak menghancurkan semestaku, jangankan runtuh, terguncang pun tidak. Alih-alih kecewa, sumbu penasaranku makin menyala bagai disulut bara. Aku justru semakin ingin mengunjungi Sulawesi. Akankah ia ramah dengan penduduk yang selalu tersenyum? Bagaimana bahasanya, alamnya, budayanya, dan tuhan yang dipujanya? Sering  aku membaca buku agar bisa mengenal pulau itu sedikit demi sedikit. Satu sisi, Sulawesi telah menggerakkan semangatku dengan sekuat tenaga. Aku pun di sisi lain, setia memelihara keinginan dan mencari banyak cara agar kelak bisa ke sana.

Pernah aku bergabung dalam ekspedisi panjat tebing Bambapuang dan program identifikasi terumbu karang Takabonerate yang diadakan oleh organisasi pencinta alam kampusku dulu. Sebagai persiapan, kami ditempa latihan panjat sekali dua hari, ditambah latihan berenang sekali dalam seminggu. Namun kerja keras itu akhirnya kandas karena banyak dari temanku menyerah angkat tangan. Hingga pada satu titik ekspedisi harus dibatalkan karena tidak cukup banyak orang yang bertahan. Percobaan pertama gagal begitu saja.
Belum patah arang, aku kemudian menyisihkan sebagian uang jajan hingga bisa membeli tiket langsung dari Surabaya ke Makassar pada tahun 2014. Tapi lagi-lagi hidup belum bermurah hati. Tanggal keberangkatan yang sudah kupesan ternyata tepat dengan seminar hasil skripsi. Kurelakan tiket itu hangus, mengubah tanggal keberangkatan memerlukan biaya dan uang yang kusiapkan tidak mencukupi untuk menutupi biaya tersebut. Betapa gegas usahaku itu kandas, bahkan jauh sebelum sempat kusiapkan diri untuk kecewa.

Lain waktu, pernah pula aku mengikuti sebuah lomba menulis yang berhadiah kelana Sulawesi selama 13 hari, dari ujung utara sampai ujung selatan. Tulisan yang menurutku payah itu ternyata mampu membuatku bertolak ke Jakarta sebab berhasil masuk dalam 50 besar. Aku berangkat dengan hati penuh, diwawancara, sebelum akhirnya diminta untuk menerima kekalahan sebab pemenang haruslah seorang yang masyhur dengan pengikut media sosial sampai ribuan orang. Aku yang saat itu hanya memiliki pengikut tak lebih dari 300 orang pun harus rela menelan ludah.

Menyerah? Tentu saja belum. Keinginan yang sudah seumpama layang-layang tegak tinggi tali itu membuatku kembali membeli tiket penerbangan Jakarta tujuan Makassar. Namun sama dengan kasus sebelumnya, ketika hari keberangkatan semakin dekat, aku secara mendadak diterbangkan ke Amerika dalam waktu yang cukup lama untuk menghadiri sebuah konferensi internasional. Setidaknya aku sudah berkali-kali gagal, jadi saat usahaku ternyata masih menemui jalan buntu, hatiku kebal sudah.

Sekarang adalah upaya ke lima. Dan berhasil.
Di luar masih panas, langit terang benderang tengah hari. Dari gawai dapat kuketahui suhu kota Makassar tembus di angka 30 derajad celcius. Aku duduk dalam sebuah kedai kopi dekat benteng Fort Rotterdam, mendinginkan diri. Kedai ini tidak terlalu besar, barangkali akan penuh jika dikunjungi oleh 20 orang saja. Namun suasananya tenang dan nyaman, cocok untuk duduk sendirian sambil ditemani secangkir kopi.

Aku termenung, mengenang kembali usaha-usaha yang dulu pernah kuperjuangkan. Masih kurasakan perihnya tangan saban berlatih memanjat tebing, gigil ketika berenang di tengah hujan, seminar skripsi yang disertai lamunan perjalanan, kecewa saat mengakui kekalahan lomba, serta kepasrahan total saat menghitung detik-detik keberangkatan pesawat, tanpa aku berada di dalamnya. Aku mengingat lagi buku-buku yang pernah dibaca, daftar perjalanan yang pernah dibuat, dan mimpi-mimpi yang sempat tertunda lama.

Bagaimanapun, pohon yang sudah kutanam lama kini berbuah. Berawal dari tayangan ‘Dunia Dalam Berita’, peta yang menyedot perhatian, rangkaian kesalahpahaman, hingga jumlah hari yang digantung untuk bisa sampai ke pulau ini. Meski lebih dari dua puluh tahun telah berlalu, tapi rasa-rasanya kesan itu masih dapat kuingat secara jelas dan rinci, seolah-olah membanjiriku bagai sumbat yang penahannya dilepaskan. Hutangku tertebus sudah, kini aku siap menjelajahi tanah asing, yang di dalam kepalaku sebenarnya tidaklah begitu asing.

18 thoughts on “Hutang Lama yang Tertebus”

  1. Menggugah! Keberhasilan yang biasanya dilewatin untuk diceritain (atau bahkan ga dianggap sebagai keberhasilan) karena cuma fokus sama apa yang dilihat di tempat tujuan. Selamat, Bang!

    …errr soal pemenang dan jumlah followers itu kok…. Ah sudahlah 🙂

    1. hehe, iya bang
      kebetulan perjalanan yang ini yang paling lama persiapannya dan paling sering gagal
      jadi membekas sekali

      hhmm.. soal lomba itu ya?
      ah sudahlah, jangan membuka luka lama
      hahaha 😀

  2. Dunia Dalam Berita…. aku jadi ingat saat-saat itu jadi tayangan “berharga” walaupun usiaku saat itu belum ngerti-ngerti banget sama apa yang diberitakan.

    Tentang lomba itu, hehe, selama ini selalu denger ceritanya dari pihak lain. Melalui tulisan ini, baru deh ibaratnya aku denger langsung dari mas Yofangga. Hehehe.

    1. Aku juga ga ngerti om, cuma tau itu acara kok ya rajin banget ditonton 😀
      hhhmm.. pernah denger kasus lombanya juga om? hehe
      postingan ini sih nyerempet curhat kali ya 😛

  3. Tinggal tunggu saja tanggal mainnya.
    Tapi tinggal ‘menunggu’ ya sambil berdarah-darah. Harus itu. Kalau gak gitu gak seru. Iyain aja mas ya wkwkwkw

Leave a Reply