Ketika Sri, seorang wanita Solo, menerima kabar bahwa ia akan ditempatkan di Sebatik, ia mengangguk saja tanpa tahu kehidupan seperti apa yang menunggunya di sana. Tidak ada kemewahan khas kota besar seperti pusat perbelanjaan atau bioskop, tapi satu yang pasti, ia sama sekali tak menyesal dengan keputusan tersebut. Sebaliknya, Sri begitu menikmati hidup terpencil di tapal batas. Ia adalah seorang pegawai bank BRI cabang Sebatik, sebelum dipindah tugaskan ia merupakan pegawai BRI cabang Tarakan. Perkenalanku dengannya cukup tak terduga.

Ceritanya bermula dari terminal penumpang Sei Nyamuk. Setelah tiga jam berlayar dari pelabuhan Tengkayu di Tarakan, merapat juga speedboat yang kutumpangi di pulau Sebatik. Para penumpang turun memikul barang bawaan masing-masing. Aku yang belum tahu hendak ke mana, memutuskan untuk mencari seseorang yang kuanggap dapat dipercaya dalam mendapatkan informasi. Pilihanku jatuh pada perempuan berjilbab hitam yang tengah menggendong ransel besar di punggung, padanya aku bertanya soal di mana bisa mencari penyewaan motor.

Perempuan yang belakangan kutahu bernama Bulan itu kemudian balik menanyaiku macam-macam. Berasal dari mana, mau ke mana, ada keperluan apa, dan serentet pertanyaan lain yang jamak ditanyakan pada para pelancong. Usai menjawab interogasi singkatnya, Bulan mengamatiku dari atas sampai ke bawah sambil mengangguk-angguk. Bukannya memberi jawab soal penyewaan motor, matanya malah menerawang seolah memikirkan sesuatu. Entah apa yang dipikirkannya saat itu.

“Begini saja, aku punya teman di sini, kebetulan aku juga sedang main,” katanya memecah keheningan. “Gimana kalau kita keliling Sebatiknya bareng? Temanku punya motor dua, nanti bisa kamu pakai satu.”

Jawaban itu menggembirakan, hatiku bersorak. Cepat kuanggukkan kepala tanda setuju.

“Tidur di mana? Sudah dapat penginapan? Kalau belum nanti kamu tidur di kontrakan temanku saja, ada ruang tamu, kamu bisa tidur di sana.” Beruntung pangkat dua. Dalam perjalanan aku memang sering mendapatkan perlakuan baik dari orang yang tak dikenal, namun yang kuterima kali ini berlebihan. Bagai mendapat durian jatuh sebelum musim.

Teman yang diceritakan Bulan sebelumnya adalah Sri, mereka rekan sekantor saat masih bekerja di bank BRI cabang Tarakan. Bersama mereka berdua aku mengelilingi Sebatik selama tiga hari. Demikian perjalananku dimulai.
Sebatik adalah pulau yang teronggok di timur laut Kalimantan, secara administratif ia berada di provinsi Kalimantan Utara. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, Sebatik adalah ketidaktahuan, temanku bahkan lebih fasih menyebutkan seluk beluk jalan Singapura dibanding menunjuk Sebatik di atas peta. Meski Begitu, Sebatik tetap menarik bagiku, alasan dari ketertarikan tersebut adalah garis batas.

Pulau yang memiliki luas 433,84 km² tersebut dihuni oleh dua negara. 187,23 km² merupakan wilayah Negara Bagian Sabah, Malaysia, sedangkan bagian selatan seluas 246,61 km² masuk ke wilayah Indonesia di Kabupaten Nunukan. Batasnya adalah sebuah garis lurus yang membentang dari timur ke barat sepanjang 25 kilometer. Garis tersebut ditarik secara semena-mena tanpa mengikuti kontur, tak peduli apakah di alam nyata terdapat jalanan berkelok atau sungai yang mengular.

Ironisnya, tak sesentipun dari garis tersebut yang diciptakan oleh Indonesia maupun Malaysia. Adalah Belanda dan Inggris yang mematoknya dalam konvensi London tahun 1891. Kita, rumpun melayu yang masih sama-sama terjajah hanya bisa mengamini perjanjian tersebut tanpa tahu apa-apa. Hari ini, ratusan tahun telah berlalu, tapi demarkasi itu abadi memisahkan Indonesia dengan Malaysia, negara republik dengan negara monarki konstitusional.
Kesan pertamaku pada Sebatik cukup sederhana. Ia adalah pulau yang tiada bersolek, tipikal pulau-pulau lain yang tak pernah masuk dalam katalog pariwisata Indonesia. Alasan orang mengunjungi Sebatik bisa ditebak, jika bukan perjalanan dinas, maka ingin menyelundup masuk ke Malaysia. Itu sebabnya, saat turun dari speedboat, banyak calo meneriakkan kata “Tawau” pada para penumpang. Tawau adalah nama kota yang terdapat di utara Sebatik, sasaran favorit bagi para imigran ilegal.

Jarang ada yang jauh-jauh datang ke Sebatik hanya untuk pelesir. Itu sebabnya dua tentara di pos penjagaan Aji Kuning begitu penasaran dengan alasan kedatanganku. Putra dan Yogi, dua pemuda asal Jawa itu berkali-kali memastikan bahwa tujuan akhirku memang Sebatik dan bukan menyeberang ke Malaysia. Dari merekalah kemudian kuketahui bahwa di Sebatik terdapat 19 patok perbatasan, 2 terletak di lepas pantai, 17 sisanya merupakan patok perbatasan darat.
Lalu bagaimana bentuk patok perbatasan yang begitu dijaga oleh para tentara itu? Di lapangan, patok tersebut hanya berupa beton cor berwarna putih yang ditanam ke dalam tanah, bagian ujungnya tertulis P3, menandakan patok nomor 3. Tak lupa, dipancangkan pula bendera merah putih sebagai identitas kenegaraan. Begitu saja, tidak kurang dan tidak lebih. Aku mengunjungi 6 patok lain dan kondisinya hampir serupa. Patok 4 bahkan cuma terbuat dari balok kayu. Benderanya kusam, putihnya sudah coklat, merahnya kalis. Tidak ada kawat berduri, tidak ada pagar pembatas, semua orang bebas berkeliaran di sekitar patok. Batas negara itu tidak terasa sama sekali, melangkah ke utara aku berada di Malaysia, mundur selangkah aku kembali ke Indonesia.

Patok nomor dua adalah yang paling susah kutemui. Aku sampai mengeluarkan peta berkali-kali untuk memastikan kordinat, melenceng sedikit sinyalku berubah menjadi provider milik Malaysia. Baru setelah sejam berkeliling keluar masuk kebun sawit kutemukan juga patok itu dengan posisi bendera rebah ke tanah. Kuakui bahwa aku bukanlah orang yang terlalu nasionalis, namun melihat pemandangan seperti itu hatiku mendadak ngilu.
Selain patok perbatasan, bukti lain kehadiran negara adalah Tugu Perbatasan Garuda Perkasa. Tugu berbentuk bola dunia, lengkap dengan garuda yang sedang menggigit bendera merah putih bertengger di atasnya. Disematkan pula slogan janggal berbau amis darah “NKRI Harga mati” sebagai himbauan untuk menjaga keutuhan dan persatuan bangsa. Apakah cukup?

Kenyataannya, narasi nasionalisme lebur jika menyangkut urusan perut. Di Sebatik sendiri masih banyak yang menggunakan mata uang ringgit. Bahan baku makanan lebih murah dibeli ke Malaysia. Gas yang kutemui bukanlah elpiji keluaran Pertamina, melainkan gas milik Petronas. Jika ada yang sakit, orang-orang lebih memilih berobat ke Tawau karena belum ada rumah sakit yang beroperasi. Warga perbatasan seolah tak pernah mencicipi rasanya bernegara. Kecuali, ya kecuali tugu-tugu diam.
Sebatik membutuhkan lebih banyak dari itu. Ia membutuhkan infrastruktur, ia membutuhkan tenaga medis, ia membutuhkan tenaga pengajar, ia membutuhkan kehadiran negara lebih dari sekadar tugu dan tentara. Jika mereka terbiasa dengan hilangnya fungsi negara, bukan salah Sebatik jika suatu saat ia berpaling ke negara tetangga.

17 thoughts on “Menyelundup ke Sebatik”

  1. Kalau kurang perhatian, bisa jadi Sebatik pindah ke lain hati, ah seperti perempuan saja ,,,
    Untung ada bangga yg lewat, bendera di patok 2, bisa berdiri tegak lagi 😆

    1. Bisa jadi, banyak kasus yang kaya gitu, ujung-ujungnya dicaplok negara lain
      lagian tiang benderanya cuma dari kayu gitu aja, mbok ya dibuatin lebih permanen kek
      heran deh, duit negara pada kemanaaa

  2. Bagiku sama seperti polesan wisata di Belitung seperti yang Mas Yofangga tulis. Patok-patok itu bisa jadi sebatas gimik, jika negara hanya sekadar memberi tetenger. Padahal negara harus lebih dari itu. Keharusannya untuk hadir masih belum terwujud sepenuhnya.

    Oh, ya, apakah ini bagian dari (ya siapa tahu) rencanamu berkelana perbatasan-perbatasan yang ada di Indonesia, Mas? 😀

    1. kabarnya kudengar terakhir patok-patok batas itu bakal diperbaikin sih
      kabarnya, belum tentu terealisasi

      Pengennya sih qy, kalau ada rezeki mau ngunjungin satu-satu 🙂

Leave a Reply