Kita sampai di Ranu Pani sekitar jam setengah tiga sore. Langit biru menangkupi daratan luas, disana terpampang sebusur pelangi penuh. Seratus delapan puluh derajat, setengah lingkaran sempurna, berujung dan berpangkal di batas cakrawala. Selepas berehat sejenak, kita memakai sedikit waktu untuk bercanda dengan warga. Meresapi sedikit arif yang tak lagi tercium di daerah kota. Kegirangan anak kecil yang sederhana, tawa renyah lepas dan polos dari mereka seakan ikhlas walau hidup berat penuh penat.
Dari jauh terlihat bayang-bayang gunung raksasa terbang melayang di biru langit merangkul seluruh desa. Segitiga biru tipis, dengan kepulan asap membumbung namun terlihat beku, mistis, misterius. Itulah Mahameru, dialah sang pemusnah sekaligus pemelihara kehidupan, sang penghancur sekaligus penjamin kesuburan, sang penghukum sekaligus pemberi harapan, sang bencana sekaligus anugerah.
Paradoks Semeru membuatku ingat dengan mitos Hindu tentang hadiah kecil dari tanah India. Pulau jawa konon dulunya mengambang di samudera luas, terombang ambing tak tentu arah, bagaikan kapal diamuk ombak, berkelana dari laut ke laut, berpindah-pindah. Dewa Syiwa memerintahkan para dewa untuk memaku pulau jawa, tertancap dan tak lagi bergoncang. Maka dipindahkanlah setitik gunung Himalaya dari India sana. Digendong oleh dewa Wisnu yang menjelma menjadi kura-kura raksasa. Dibelit oleh dewa Brahma yang menjelma naga. Ditancapkan di tanah jawa, menjadi paku bumi, menjadi titik tertinggi di Jawadwipa. Membuatnya tak lagi bergerak. Tenang dan stabil.
Setelah makan, rehat sejenak dan mengurus administrasi, kita bersiap memulai perjalanan. Jam tangan menunjukkan waktu pukul empat sore. Landengan Dowo, Pos satu, Pos dua, Watu Rejeng, Pos tiga, Pos empat dan Ranu Kumbolo yang normalnya memakan waktu empat sampai lima jam kita kebut dalam waktu dua setengah jam. Sesampainya di Kumbolo petang sudah datang, langit gelap bermandikan bintang menyelimuti barisan bukit-bukit yang mengelilingi segala penjuru, bulan purnama menggantung tepat persis ditengah danau. Sinaran blitz dari ratusan kamera pendaki berpacu, berusaha mengabadikan momen tersebut.
Ranu Kumbolo belakangan ini tak pernah sepi. Para pendaki menggelar tenda (atau bahkan hanya matras dan sleeping bag) serampangan begitu saja. Di atas tanah, di pinggir danau, disiram terik sinar matahari kala siang, ditikam suhu dingin ekstrim waktu malam. Berwarna warni, suasana tak ubahnya seperti pasar malam riuh penuh manusia. Api unggun disana, main kartu disini, berteriak disana, tidur mendengkur disini. Ketenangan menjadi hal yang sangat ekslusif, hiruk pikuk telah membeli itu semua, gunung tak lagi menjadi tempat yang sepi.
Setelah memasak makan malam, obrolan santai terselenggara. Beberapa pertanyaan dilontarkan, apa yang mereka cari di sini. Nostalgia? canda tawa? euforia? pembuktian diri? penakhlukan titik tertinggi?
Salah satu kawan menjawab polos, yang kucari adalah sepi. Merasakan hilang dari peradaban, sejenak kabur dari hiruk pikuk perkotaan. Bukankah hanya dengan sendiri kita dapat lebih mengenal diri sendiri. Dan bukankah dengan kesendirian kita baru bisa menghargai apa itu kebersamaan. Namun apa yang didapat jika gunung sekarang tak ubahnya wahana?
Semakin malam bulan bulat meninggi perlahan. Berwarna pucat, menerangi setiap jengkal Kumbolo. Angin gunung yang biasanya bertiup dari puncak ke lembah tak berani melawan. “Tak terlalu dingin” aku berbisik perlahan. Saatnya untuk rebahan dan terpejam, bersiap besok, kita akan melanjutkan perjalanan.
Ada Cinta di Tanjakan
Keesokan pagi, aku bangun mendahului matahari, bersiap untuk memulai hari. Setelah selesai sarapan, waktunya untuk bebas. Di depanku terlihat tanjakan yang dinamakan cinta. Yah, benar, tanjakan cinta. Entah kenapa bernama demikian. Setahuku ketika Norman Edwin dan Herman O Lantang bertandang, sebutan itu belum terdengar. Aku pun juga tak terlalu tertarik dengan mitos yang satu ini. Tak boleh berhenti dan melihat ke belakang, cintamu akan dijaga Semeru, begitu kisahnya. Filosofiku sederhana, demikianlah hidup. Kita harus terus berjalan ke depan, jangan berhenti, walau hanya untuk menoleh. Jika masih dibayangi masa lalu, hiduplah dengan kepala terpelintir ke belakang.
Sampai di puncak tanjakan, angin menderu. Akibat semalaman terperangkap tak bisa bergerak, pada siang hari angin lembah berusaha berontak menuju puncak daratan. Dari Kumbolo ke semua punggungan. Alami terjadi, ketika suhu di lembah semakin merendah, bulir udara mengalir ke setiap puncak yang panas terbakar matahari. Fenomena inilah yang mengusir awan dan uap air sehingga siang di Kumbolo tak lagi lembab.
Kita berjalan ke arah Oro Oro Ombo, seperti namanya, tempat ini merupakan hamparan padang rumput yang luas. Ladang lavender juga siap menciptakan karpet ungu jika kita datang pada saat musim hujan. Namun sekarang semua warna menguning, bunga mati karna matahari terlalu bermurah hati. Debu bergumpal disetiap langkah menapak. Kaki terus berjalan ke Cemoro Kandang, tempat terakhir yang dikunjungi sebelum berbalik pulang. Tak ada yang istimewa, terik membuat kulit semakin terbakar sementara suhu tetap dingin, enggan berkawan
Tak lama kita disini, hanya beberapa jenak. Pada akhirnya, kepada pulang lah semua perjalanan akan kembali.
Keren sob, catpernya. Semeru memang indah 🙂
makasi uda mampir sejenak mas
semoga berkenan di rumah sederhana ini 🙂
Ini dia kan salah satu komentar saya di blog ini, #klarifikasi haha
eh iyo, hahaha
😀
eh, wes bengi, turuuu…
Bahasa yg digunakan indah sekali, terima kasih sudah berbagi . 🙂
makasih juga udah mampir mbak dina 🙂
berbagilah selagi bisa, semoga bisa jadi manfaat bagi yang baca
hehe
salut dah
hehehe
salut kenapa bang?
keren foto – fotonyaa >,< terutama yang mau sunrise tapi masih banyak bintangnya itu loh 😀
aaaahhhh mas fahmi bisa ajaa
hehe
kaya g tau aja kekuatan super dari potosop
:p
Terimakasih sudah berbagi pengalaman tentang Semeru…
sama-sama, terimakasih juga sudah mampir 🙂
Terimakasih sudah mengajak jalan-jalan ke Ranu Kumbolo meski hanya lewat kata & gambar yg bercerita.
semoga cukup mewakili
🙂
foto refleksi tenda2 di ranu kumbolonya keren,tapi rame bgt ya :O..
Dulu pas masih kuliah saya sering naik gunung,tp merasa kemampuan masih belum cukup utk naik semeru, hingga lulus kuliah malah belum sempat naik. Dulu semeru benar2 dianggap agung sama para pendaki, tp sekarang baru pertama kali naik gunung saja sudah langsung ke semeru. Entah mau ngomong apa :|. Saya masih pengen naik semeru tp melihat ramenya kok jd menipis ya keinginan itu.
Hehe malah curhat. Salam
selamat datang mas dalijo, feels like home 🙂
makin rame nih anak itb yg mampir, hehe
hehe, bener bgt, sekarang semeru sudah kehilangan nama besar, semua bisa menjamah
semoga tak cepat penyakit iku melebar ke cartenz pyramid, jayawijaya masih menyimpan mimpi saya
entah akan seperti ini juga atau tidak
entahlah..
(malah ikutan curhat :P)
fotonya keren-keren gan.
insyallah tahun depan kalau ada rezeki ane mau berangkat ke semeru gan.
doain ya 🙂
makasih gan 🙂
amiiinn, semoga tercapai
semoga sukses, persiapannya dimatengin dari sekarang
semangaattt….!!
foto hasil jepretannya indah nian bang 😀
foto yang baik adalah yang jujur
sedang punya saya masih masuk photoshop untuk penajam gambar 🙂
saya masih terus belajar
fotox bwt q mkin kpingin mbolang mas,,,,,,,,,
haha, langsung mbolang aja mas 😀
ngomong mah gampang yak.. ngelakuinnya susah, hehe
Fotonya keren gan, jadi pengen kesini juga untuk menyendiri.hehe
tempatnya udah keren dari sananya mas
bagus kok, belum rame, belum banyak yang dateng kesini juga 🙂