Mengarahkan pandangan saat melakukan perjalanan adalah sebuah pilihan. Aku berhak memilih untuk melihat segala hal baik dan meniadakan yang lainnya. Untuk apa mahal-mahal membeli tiket, lalu bepergian ke laut dan gunung gemunung, menghabiskan uang yang dikumpulkan dengan memeras keringat jika kemudian hanya melihat perihal-perihal tengik yang kepalang sering hadir di keseharian?pasar-kapanJika pada akhirnya aku tersesat dalam pasar tradisional ini, itu bukan pilihanku sendiri. Sekali lagi bukan, aku tak begitu tertarik memperhatikan pasar yang sepi, yang penjualnya bisa dihitung jari, yang kedainya tak berpenghuni, yang bahkan nama pasarnya saja tidak tertulis di peta negeri. Apa yang puitis dari pedagang sirih, kapur, dan pinang? Apa yang indah dari lelaki tua dengan baskom plastik di atas kepala? Apa yang melegakan jika kau berkunjung kesini, lalu mendapati tomat hanya seplastik, cabai hanya segenggam, dan sayur hanya seikat?
tomat cabai sirih pinangBelum jika harus merasakan atmosfer yang begitu lambat, begitu tak bergairah. Anjing yang kulihat di depan penjaja tuak itu seolah bersepakat denganku, jangankan untuk berlari-larian, untuk bangun saja ia enggan. Barangkali jika ingin terlihat sedikit bijaksana, aku akan meraih kamera, memilih sudut yang tepat, mengambil beberapa gambar, memasukkan ke photoshop, edit kontras dan pencahayaan, menambahkan kata-kata menggugah, voila, maka jadilah sebuah potret dan tulisan haru tentang seorang penjual tuak yang renta, yang hanya ditemani seekor anjing, tanpa anak dan istri, yang bertahan hidup dari bekerja seharian, pagi sampai malam.
penjual-pinangSelain melihat, begitu pula dengan mendengar, itu juga adalah sebuah pilihan. Sebagaimana mata, telingaku adalah perajuk yang manja. Ia tak mendengar selain suara angin atau kicau burung-burung. Telingaku enggan menerima bunyi selain debur ombak dan gemericik air sungai. Jika pada akhirnya aku terjebak dalam dialog bersama salah satu penjual yang bahkan tak mau menyebutkan namanya ini, itu adalah keterpaksaan. Panggil mama saja, bah, sejak kapan ayahku menikahinya sampai-sampai aku harus memanggilnya mama? Sekali lagi, aku tidak tertarik.

Belum jika harus berpura-pura simpati pada kisah hidupnya. Ayolah, aku bukan perenung dengan hati yang selalu meragu. Cerita kemiskinan jamak kudengar, jangan sampai kisahmu merusak liburanku. Ada baiknya narasi itu dijadikan puisi saja, ditulis dalam buku tipis, dan dijual dengan harga mahal. Setelah itu adakan acara-acara bedah buku, atau semacam musikalisasi puisi. Jika ingin suasana lebih hidup, bolehlah diiringi musik akustik oleh band indie yang namanya seringkali susah untuk diingat. Bukankah kita lebih senang mendengar hal yang demikian, daripada diceritakan langsung oleh pelakunya?
penjual-tembakau mama-penjualSelain melihat dan mendengar, begitu pula dengan menuliskannya. Jika kemudian aku memutuskan untuk mengunggahnya di halaman ini, itu bukan kehendakku sendiri. Ini adalah blog perjalanan, yang akan berbicara tentang surga dan nirwana. Yang akan berisi lokasi-lokasi wisata dan informasi bagaimana cara mengunjunginya. Aku tak mau bertaruh nama untuk sekadar menuliskan masa depan pasar tradisional di Indonesia. Aku tak mau berspekulasi, juga tak berniat untuk menganalisis. Jadi biarkan saja cerita itu kekal di awang-awang.

Tapi bukankah sebuah tempat menjadi lebih berwarna dengan hadirnya manusia di dalamnya? Betapa masyarakatlah yang membuat keindahan sebuah tempat menjadi seakan-akan tak ada habisnya? Itu cerita lama, sadarlah kawan, wisata adalah industri. Pembaca tak akan tertarik jika kau selalu menyigi betapa di balik megah dan indahnya destinasi selalu hadir orang-orang yang bergelut dengan kehidupan. Cerita demikian sudah terlalu wajar dan usang dan basi.
penjual-tuakAku bukan pejalan gagah nan arif dan merakyat. Aku bukan seorang rabi yang senang mengamati dan menjadi penyambung lidah kaum akar rumput. Aku adalah anak kota yang hidup bergelimang teknologi, peduli apa pada pasar yang sepi? Di tempatku sana jual beli tak lagi harus dengan tatap muka. Tinggal ambil gawai kesayangan, telusuri forum dan toko daring, pencet-pencet sebentar, transfer, lalu transaksi selesai, barang siap dikirim ke alamat tujuan. Tak perlu susah-susah ke pasar.

Tapi, terlepas dari itu semua, sebagaimana sebuah pilihan, selain hal-hal yang kusebutkan di atas, mungkin kita bisa saja berlaku sebaliknya.

12 thoughts on “Cerita Dari Pasar Kapan Yang Murung Tak Berkesudahan”

  1. Aku kalau main2 ke suatu daerah, seneng mampir ke pasar tradisionalnya. Walaupun tidak selalu berbelanja, tapi sering berkeliling pasar “hanya” untuk sekedar melihat orang-orang bertransaksi dan mendengar mereka berbincang.

    Btw, menyigi itu apa dek?

  2. Kalau pasar tradisional harga biasanya lebih murah, dagangannya lebih seger karna baru ambil dari kebun sendirì. Iya sih biasanya dagangannya sedikit, uang yang didapat habis dibelanjain hari itu juga, buat kebutuhan besok. Biasanya pembeli dan penjual sudah saling kenaĺ. Hehe gitulah kira kira pasar tradisional yang pernah saya singgahi.

    1. Benar, keuntungan belanja di pasar tradisional salah satunya adalah bisa bertatap muka yang mengeratkan hubungan antar si penjual dan pembeli. Hierarki ini kadang berkembang, tak jarang juga membuat kita jadi merasa lebih dekat

  3. ini niatnya gak pengen nulis tentang pasar?
    tapi kok malah jadi tulisan yg sangat deskriptif ya hehehe, pun mau tidak mau malah feelnya dpt bgt
    itu dari aku sndiri ya, gatau kalo yg lain XD

  4. Pirang pirang abad gak mampir blogmu haha.

    Btw gawai itu gadget ya? Sangar tenan bahasamu. “Transfer” ada bahasa Indonesia asline gak ya? Kalau bakalan bakalan keren deh haha.

    Good job kak Yof!

    1. Trus, tumben mampir maneh mas ndop, padahal khan gak oleh opo opo dek blog ku 😀
      hehehe
      iyo, dari dulu lebih biasa pakai kata gawai timbang gadget
      transfer udah jadi bahasa indonesia kali mas ndop, ada di KBBI kok
      kalau diubah ya paling jadi ‘kirim’

Leave a Reply