Seorang anak dengan muka kusam dan badan bau peluh berlari menuju sebuah rumah di pojokan sawah. Dia terlihat buru-buru seolah sedang dikejar sesuatu.
Tanpa sempat melepas seragam putih dan celana merah pendek, anak tersebut sudah keluar lagi dengan tangan menjinjing sepeda. Berlagak seperti montir ternama, dia memasang mimik serius dan mulai berjongkok memeriksa keadaan. Matanya tajam memastikan tak ada kerusakan apa-apa. Tak lupa dia menyelipkan selembar daun kering di sela roda belakang. Gesekan ban dengan daun akan membuat bunyi-bunyian ketika sepeda dikayuh, persis seperti motor balap di televisi. Makin kering daunnya makin bagus.
Setelah dirasa cukup sempurna, senyumnya menyimpul. “Ayo kita berangkat, Belalang Tempur.” Dia berbisik seolah sepeda yang tingginya hanya selutut orang dewasa tersebut bisa mendengar dan berbicara. Diputarnya topi bertuliskan “Tut Wuri Handayani” yang sedari tadi melekat di kepala, seratus delapan puluh derajat ke belakang.
“Heeeii, ganti baju dulu, baru boleh main keluar.” Sontak terdengar suara lantang dari dalam rumah, mungkin berasal dari ibunya yang kesal dengan perangai anaknya. Si bocah terkekeh seolah hafal dengan tabiat ibu, waktunya mengganti pakaian dan melanjutkan misi rahasia. Hanya lima menit, dia sudah keluar lagi dengan baju loreng hitam biru bertuliskan “Vieri” di punggung. “Maaa, aku main bola dulu,” dia pamitan sembari mengayuh sepeda ke arah lapangan bola tempat biasa menghabiskan sore.
Di lapangan sudah berkumpul empat orang bocah lain duduk di sadel sepeda mereka masing-masing. Sehari sebelumnya mereka memang sudah bersepakat untuk kumpul di lapangan dengan pakaian bola lengkap. Misi mereka hari ini adalah berhasil ke pantai tanpa ketahuan. Memang sudah beberapa kali mereka dimarahi orang tua karena nekat main ke pantai. Selain harus melewati jalan raya, juga karena pantai dekat rumah mereka berombak deras. Bukan tempat yang aman untuk berenang bocah berusia ingusan. Namun anak-anak ini lahir di pesisir, laut mengalir di darah mereka. Semakin dilarang, semakin menjadi-jadi.
Adalah ide si bocah untuk sengaja berlama-lama di depan rumah sambil memeriksa sepeda. Memberi dan mengulur waktu sampai si ibu sadar dan menyuruhnya ganti baju. Selanjutnya mereka akan berkumpul di lapangan dengan pakaian bola lengkap. Tidak ada yang aneh dan mencurigakan, dengan begitu para orang tua akan beranggapan mereka bermain bola. Kali ini mereka tidak akan tertangkap basah. Sebuah ide yang sangat jenius.
Sambil berteriak girang, lima orang pengembara ini mengarahkan sepedanya ke arah barat dan mengayuhnya sekencang mungkin. Hari itu cerah, matahari menggantung di sepertiga langit. Bocah kecil itu adalah aku, diriku enam belas tahun yang lalu.
Lamunanku menguap, saat ini aku tengah duduk dipesisir pantai Batu Kalang. Sebuah pantai yang terletak di Nagari Ampang Pulai, Kabupaten Pesisir Selatan. Dibawah langit yang bermata teduh, sinar matahari mengecup pepohonan dan membuatnya berwarna-warni. Angin bertiup malu-malu membuatku ingat kenangan masa kecil. Kuakui sampai saat inipun aku masih menyukai pantai dan laut seperti aku senang mengucapkannya berkali-kali, bedanya sekarang aku tak perlu lagi berbohong untuk menikmati lidah ombak.
Pantai disini tenang, ombaknya tak banyak riak. Tak ada keriuhan yang berlebih, hanya angin yang memberi suara di tengah hamparan laut. Di kejauhan terlihat ratusan kapal ikan muram kesepian. Aku bangkit berdiri, membersihkan remah-remah pasir, mengedarkan pandangan dan mulai berlari-lari kecil. Di pantai nan sepi ini aku serupa raja kecil, tak satupun kulihat para wisatawan. Batu Kalang bagai sebuah destinasi yang terlupakan. Meneruskan langkah sampai sudut pantai, berserak batu bulat lonjong bak telur Kasuari, begitu rupa seperti patung yang telah dirampungkan pahat.
Aku berhenti, tubuhku basah bermandi peluh. Jantungku terdengar berdetak lebih keras dari suara ombak. Ada perasaan yang tak nyaman sampai tiba-tiba terdengar “Sudah kubilang jangan mandi di pantai, ombaknya besar, sekali sapu habis sudah sisa nyawamu!!” Suara ibu menggelegar.
“Siapa bilang aku ke pantai, ini habis main bola sama teman-teman.” Ucapku lirih.
“Jangan bohong, rambutmu keras bagai ijuk. Sudah, mandi sana!!” Rupanya ibu lebih tahu, aku lupa memperhitungkan alasan yang satu itu. Rencanaku gagal.
Aku dulu juga sering begitu :3
haha, ketahuan sering bohongin orang tua nih 😀
Hi Yofangga, selalu senang baca tulisan tentang perjalanan ke masa kecil. Masa-masa rambut berbau matahari itu. Ini tak terkecuali. Soreku di sini jadi sedikit melankolis.
🙂 ikut senang jika kalian senang
eh, bukunya udah kelar ku baca
kuakui penuh inspirasi, hehe
minggu depan aku mau ke jakarta, jika ada waktu mungkin bisa bersua 🙂
Dari kcil da dkt dg alam,,,, khidupan yg menyenangkan,,,,,
😀
iyaah, rumahku bersanding dengan sawah, tak jauh dari laut
aku merasa beruntung lebih dekat dengan alam ketimbang gadget
kasian anak kecil sekarang 😛
Iya,,, ksihan, pdhl main lumpur sawah, atau berggelantungan d pohon itu lbh menyenanngkan,tp org tua skrg mlh memanjakan ank2 mrk dg gadget canggih, dan menjauhkan ank2 mrk dr alam,,, الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ q tak lhr d zaman ini,,, hehehehehe 😀
daun kering di roda sepeda haha
bisa juga tuh pake gelas aqua 😀
bener, kalo enggak ada daun kering ya pake gelas aqua, haha 😀
Aku suka banget tulisan ini, mas! Tulisan-tulisanmu selalu menyajikan sesuatu yang berbeda dari sebuah destinasi atau perjalanan. Permainan katanya pun kaya. Seperti membaca penggalan novel 🙂
Aku dulu juga suka main-main dengan botol aqua bekas yang diselipkan di roda sepeda BMX-ku yang berwarna silver itu.
haha, aku malah takut orang-orang gak seneng sama tulisan yang ini
alurnya aneh, belum akrab dibaca
hehe 😀
terimakasih sudah senang nug