“Sudah biasa naik kapal, jadi tak masalah,” jawabku menyombongkan diri. Aku sama sekali tidak berbohong. Sejak dulu, telah bermacam-macam kapal kunaiki, mulai dari perahu kecil nelayan selebar dua hasta, sampai kapal besar dengan ukuran lambung bisa berdepa-depa. Mulai dari yang bercadik dua, sampai yang bermesin ganda.
“Ya sudah, nanti kumpul di sana. Jam tiga.” Ucap sang kapitan sambil mengarahkan telunjuk pada sebuah saung kecil. Aku menganggukkan kepala dengan cepat.
Begitulah ajakan melaut itu kuterima tanpa dipikir masak-masak. Lagipula waktu luangku berlebih-lebih. Tidak ada salahnya mencoba, anggap saja sedang menakar diri sendiri. Ikut menjaring ikan bersama orang yang baru dikenal setengah jam lalu dan pulang esok pagi bukanlah keputusan terburuk yang pernah kuambil dalam hidup, setidaknya sampai saat itu.
Pukul tiga sore, seperti janjinya, sang kapitan sudah menunggu. Bersamanya, ada sembilan nelayan yang langsung mengawasi penampilanku dari atas sampai bawah ketika mereka kusalami satu-satu. Seolah tidak cukup, masih diperlukan juga untuk mengulangi pandangan menyelidik itu, kali ini dari bawah ke atas. Setelah puas, tanpa berpikir apakah akan menyinggung perasaanku atau tidak, mereka tertawa-tawa kecil sambil saling berbicara bahasa Madura. Sial betul, aku pun demi kesopanan, walau tahu telah menjadi bahan lawakan, akhirnya ikut tertawa juga.
“Mana kapal yang bakal kita naiki, paman?” Tanyaku mencairkan suasana.
Salah satu dari mereka menunjuk ke tengah laut dengan dagunya.
Sial pangkat dua. Kukira kakiku cuma perlu melenggang selangkah saja sebab kapal biasanya merapat ke dermaga. Namun keliru, kapal itu berada di tengah laut, benar-benar di tengah laut. Kukatakan demikian karena kau harus membuka baju, membuka celana, memasukkan semuanya ke dalam plastik, termasuk gawai dan kamera, lalu membopongnya tinggi-tinggi di atas kepala sambil berjalan telanjang dua ratus meter ke tengah laut.
Perjalanan dua ratus meter tersebut tidak akan terlalu menjadi masalah jika saja air yang setinggi leher itu tidak ditemani oleh ombak yang terus saja betah menabrak-nabrak. Belum jika pasir yang dipijak terlalu lembut sehingga kaki bisa terbenam berkali-kali. Kolor basah, selangkangan lengket, dan tangan yang pegal barangkali adalah pembuka cerita yang tak terlalu manis. Namun begitulah. Belum apa-apa hatiku sudah mulai mengutuk betapa sikap ingin tahu kadangkala memang harus dipendam saja.
Selama menyeberang, kakiku sempat minta pensiun, ia lelah. Tapi mana bisa kembali jika sudah sejauh ini, saat jarak antara depan dan belakang sama-sama tidak dekat. Setelah dibujuk oleh kepala yang bersikeras, kaki peragu itu akhirnya mengalah dan bersedia melanjutkan. Aku sampai di atas kapal lima belas menit lebih lambat dari nelayan terakhir. Pukul tiga lebih empat puluh lima kapal berangkat. Angin sore bertiup-tiup, pada pesisir aku berpamitan, lalu pada laut kuserahkan nasib sepenuh-penuhnya.
Di atas kapal, para nelayan saling menyeduh percakapan tentang mereka yang lebih sering tidur di geladak daripada ranjang rumah sendiri. Tentang nomor togel kemarin, tentang harga jual ikan, tentang janji membelikan sepatu baru untuk anak mereka yang bahkan tidak bersekolah, juga tentang kenapa rokokku mild sedangkan mereka kretek. Topiknya betul-betul sederhana, tidak ada diskusi politik dan sebagainya, tidak ada yang merasa lebih tahu dari yang lainnya. Mereka mengajarkan bahwa hidup sebenarnya tidaklah rumit rumit amat.
Selayaknya masyarakat kepulauan, hampir semua orang Gili Ketapang hidup dari laut. Mereka telah menjadi nelayan sedari kecil, diajarkan turun temurun dari kakek, lalu ke ayah, lalu ke mereka sendiri. Hal itu berbeda dengan Stephanus, salah seorang nelayan yang ikut di kapal sang kapitan. Belakangan kutahu bahwa ia adalah pedagang dari Papua yang berpindah-pindah dari Maluku, Nusa Tenggara, hingga akhirnya menetap di Gili Ketapang. Sama sepertiku, ia juga lebih banyak diam. Barulah ketika digoda teman-temannya ia mulai melontarkan bualan bernas bernafas Papua.
Selain Stephanus, ada juga paman lain yang sejak tadi mencoba berbicara padaku, tapi percuma. Ia tak menguasai bahasa selain bahasa Madura dan aku tak paham sama sekali bahasanya. Satu hal yang kupahami hanyalah ia yang telah keliru menganggapku wartawan sebab itu yang berkali-kali ia coba katakan sambil menunjuk kamera yang tergantung di leherku. Setelah dua jam yang sia-sia, lelaki itu akhirnya berhenti mencoba.
Seharian kami masih berlayar menjauhi pesisir utara Probolinggo dengan kecepatan sedang. Saat itu baru kusadari bahwa menjaring adalah pengalaman yang sebenarnya menyenangkan tapi membosankan. Menyenangkan karena tidak semua orang memiliki pengalaman serupa dan itu cukup untuk dibawa berlagak kepada teman-teman. Membosankan karena tak ada hal lain yang bisa dilihat selain laut dan laut. Tidak seperti di kota, tidak ada manusia yang berlari lari atau rimbun kendaraan saling mendahului, hanya biru dan biru.
Di kapal pun aku tak bisa berbuat banyak. Pernah sekali kucoba berdiri saat kapal sedang melaju kencang dan berakhir dengan badan yang terpelanting seperti gasing hilang keseimbangan. Semua orang tertawa melihat tingkahku, muka gigih yang kupasang dari tadi luntur begitu saja. Aku begitu tidak cakap, jangankan menjadi awak kapal, jadi penumpang saja aku begitu merepotkan.
Malam akhirnya datang. Langit sedang baik, padanya terhampar bintang-bintang paling terang yang pernah kulihat. Aku tidur-tiduran di atas anjungan bersama sang kapitan sambil menengadahkan pandangan menunjuk-nunjuk angkasa, romantis sekali. Jika saja dia perempuan, maka tak tahulah apa yang akan terjadi.
“Di laut begini, kau tahu cara nelayan menentukan arah?” tanya sang kapten.
Aku menyeringai sambil menggelengkan kepala. Ilmu baru, pikirku.
“Kau ingin tahu?”
Seringaiku makin lebar. Leher yang tadi jadi sumbu geleng kini mengangguk-angguk.
“Sekarang semua kapal sudah punya kompas dan gps”
Bagus, padahal hatiku telah berdebar-debar ingin mendengar cerita tentang cara kuno warisan leluhur membaca rasi bintang, tapi yang kudapat malah kompas dan gps. Sungguh, selera humornya buruk sekali.
“Canggih benar, paman.” Jawabku sekenanya.
Entah karena melihat perubahan mukaku, atau barangkali karena merasa bersalah telah membuat penumpangnya kecewa, dengan berat hati kapten itu sudi juga mengajariku beberapa rasi penunjuk arah. Itupun setelah kubujuk berkali-kali.
“Lihat,” ucapnya sambil menujuk empat pelita di arah selatan. “Itu rasi Selatan, kadang orang bilang rasi Pari, kadang rasi Layang-layang.”
Aku mengangguk-angguk.
“Jika kau tarik garis lurus dari bintang paling atas sampai bintang paling bawah, maka ujung dari garis itu sudah pasti menunjuk selatan, makanya disebut bintang selatan.”
Menggantungkan arah pada rasi bisa sangat menyulitkan, terlebih jika langit sedang kelam. Maka ketika kompas dan gps mulai umum digunakan, para nelayan senang bukan main. Aku menyimak kuliah itu sungguh-sungguh sebab kuyakin hal demikian tidak akan pernah kudapat di ruang kelas yang hanya melulu bicara soal arsitektur (kelak bertahun-tahun setelah kejadian itu, di dalam skripsi sengaja kuselipkan pembahasan tentang pengaruh kosmologi terhadap pola ruang pemukiman, dan tak ada satupun dosenku yang mengerti)
Menjelang tengah malam, kapal diserongkan ke kiri memasuki perairan Pasuruan. Berlayar ternyata bukan hanya menguras tenaga, tapi juga menuntut kami untuk bisa memanjangkan kesabaran. Menjaring berarti mencari, tidak jarang mungkin hanya berputar-putar di satu tempat. Ikan bukanlah terumbu yang diam begitu saja, mereka berpindah-pindah dan kami harus paham ke mana kira-kira tujuan mereka selanjutnya. Psikologi ikan, intelek sekali. Keahlian seperti itu tidak datang begitu saja dalam satu malam, melainkan akumulasi dari pengalaman belasan tahun hidup di laut.
Setelah naik turun beberapa kali, salah satu nelayan yang berperan melacak ikan kembali meniti tiang bambu di tengah lambung kapal. Begitu cekatannya memanjat hingga tak sampai lima menit ia sudah berdiri lagi di puncak. Di sana, tugasnya menatap laut hitam tanpa teropong sambil sesekali tabah dihantam angin laut. Waktu berlalu, berlalu, dan berlalu.
“Depan persis, hajar.” Teriaknya setelah setengah jam bertengger di atas tiang.
Suasana langsung gaduh, setiap nelayan seperti tahu tugas masing-masing tanpa menunggu perintah. Empat orang sigap menyiapkan jaring, satu orang menghidupkan mesin cadangan, kapal langsung membelah laut dengan kecepatan penuh. Nakhoda masih pada posisi semula, mengatur laju kemudi berdasakan arahan si penjaga tiang. Ombak dan kapal bersepakat di bawah kendalinya, ujung haluan dibuat lentik menari-nari namun tegas memecah gelombang. Dari jauh terlihat laut yang berkilau keperakan sebab ribuan Lemuru berenang di permukaan. Aku merinding.
Inilah puncak dari pencarian, kapal mengejar rombongan itu sambil terus menurunkan jaring membentuk lintasan seperti bulan sabit. Setelah terpasang semua, mesin dimatikan. Kapal yang diam mau tidak mau jadi mainan riak-riak samudera. Saat ombak tinggi, lambungnya terangkat. Saat ombak surut, kapal berturut. Kapal beranjak senada kehendak ombak. Begitu seterusnya sampai kemudian rasanya sebuah palu tiba-tiba saja menghantam cangkang kepalaku. Penglihatanku bergoyang-goyang. Tidak mudah menyeimbangkan badan saat kapal berhenti di tengah laut.
Di atas geladak, lima orang sudah menarik jaring dengan aba-aba hitungan. Satu, dua, tiga, tarik. Satu, dua, tiga, tarik. Aku yang awalnya diminta ikut menarik jaring berakhir dengan tidak melakukan apa-apa. Kapal miring ke kiri sampai setengah siku, mudah saja tiba-tiba ombak membalikkan kapal dan menjadikan kami hantu dalam waktu kurang dari lima menit. Nyaliku ciut, mukaku pucat, mual menyerang, akibatnya dua kali isi perutku keluar tanpa disuruh. Aku muntah dan aku menyerah, bagiku menerima dan mengakui kekalahan adalah tindakan paling ksatria yang bisa dilakukan manusia.
Sang kapitan rupanya menyadari kejadian itu dan menyuruhku beristirahat. Sekilas kulihat senyum puas mengembang dari mukanya, kapan lagi melihat anak kota yang tak berdaya seperti ini. Ia menikmati betul mengejekku. Aku akhirnya menurut saja tanpa banyak melakukan pembelaan, selain tidak kuat, juga karena tak ingin melihat senyum itu lebih lama lagi.
Aku terbangun sekitar pukul tiga dengan muka pucat dan terlihat sangat dungu. Bagaimana tidak, dua belas jam dihantam gelombang bukanlah hal yang menyenangkan. Setelah dikabarkan oleh seorang nelayan yang kebetulan naik ke anjungan bahwa mereka sedang menjaring di tempat ke dua, kuputuskan untuk tidur kembali. Masih ada satu tempat lagi sebelum pulang, masih ada seperempat malam. Di saat-saat seperti itu entah kenapa waktu rasanya begitu lambat bergerak.
Pukul enam pagi kami pulang ditemani rona langit kuning emas. Aku tak pernah begitu bahagia melihat lampu-lampu daratan yang mengambang bagai kunang-kunang. Ikan yang terjaring sudah dimasukkan ke dalam palka, untuk kemudian dipindah ke dalam keranjang dan dijual di pasar pelelangan. Aku pulang membawa kesialan-kesialan yang manis, yang mustahil dilupakan. Bukankah selalu begitu tabiat kenangan?
“Pukul enam pagi kami pulang ditemani rona langit kuning emas. Aku tak pernah begitu bahagia melihat lampu-lampu daratan yang mengambang bagai kunang-kunang” <<< ini juga yang kurasakan begitu melihat lampu2 di daratan setelah 2 jam lebih di pesawat yang mengalami turbulensi. Legaaaa 😆
Omong2, contoh pengaruh kosmologi terhadap pola ruang pemukiman yang dibahas dalam skripsimu gimana?
hhhmmm, kudu tak ulang di sini lagi mbak?
salah satu pengaruhnya adalah hilangnya pengetahuan masyarakat terhadap rasi bintang Pleiades
hilangnya pengetahuan ini karena sistem penanggalan sudah berpindah ke kalender
perpindahan sistem ini menghilangkan beberapa ritual adat yang berhubungan dengan tanam dan panen padi
hilangnya ritual berarti hilangnya kesakralan aktivitas
hilangnya kesakralan aktivitas berarti hilangnya kesakralan produk yang dihasilkan
dalam hal ini padi yang dipanen
padi akhirnya boleh dijual
padi dijual berarti tempat penyimpanan jadi tak banyak, yang menyebabkan hilangnya lumbung padi
nah tuh.
Waktu itu cuma bisa dengerin abang cerita dimalam dia pernah ikut kapal nelayan nyari ikan malam malam. Nelayan hebat yg melaut tanpa kompas. Cuma dengan sedikit doa doa sebelum pergi dan ilmu turun temurun tentang laut dan bintang, kapal yg dinaiki tak tersesat sama sekali, selamat pulang pergi. Waktu itu cuma bisa iri.
Eh, sekarang baca tulisan ini, jadi tambah iri…
jangan iri, setiap orang punya pengalaman masing-masing kok
belum tentu juga jika kita ikut merasakan pengalaman orang itu akan semanis kelihatannya
aku jadi pengen baca skripsinya mas yofangga :))
bagaimana sebuah karya ilmiah ditulis menyerupai karya sastra. hahahaha
UB kan? tak berangkati ah :p
waah, ditunggu
mampir ke brawijaya, belok ke gedung jurusan arsitektur
masuk perpustakaannya
cari skripsi yang judulnya ‘pengaruh pergeseran makna budaya terhadap pola ruang permukiman Dusun Segenter’
buka halaman 91
ada paragraf kejutan buat semua orang yang sengaja membaca 🙂
(((kelak bertahun-tahun setelah kejadian itu, di dalam skripsi sengaja kuselipkan pembahasan tentang pengaruh kosmologi terhadap pola ruang pemukiman, dan tak ada satupun dosenku yang mengerti)))
Sukaaak!!!!!! Kampret banget ini ceritanya!!! Duh Mas Inde, qterpuqaw! Ajarin saya menulis seperti ini huft : (
aduuuh mas, aku belum sebagus itu nulisnya
banyak yang lebih baik 🙂
mari sama-sama belajar aja
makasih udah mampir lagi 😛
Diksi yang berani. Mengejawantahkan ide menggunakan nurani. Menghasilkan cerita langlang buana penuh arti, lebih dari sekadar narasi. Mudah dipahami, menghibur di lain sisi. Kukagumi tulisan seperti ini. Kutunggu sebuah buku, bukan skripsi yang pasti, dari penyanjung kosmologi suatu hari nanti.
Salam dari Mak Par. XD
hwahahaha
ngomong apa sih toms 😀
aahh, sini kirim sambelnya mak par ke bekasi
Kita di lahirkan dengan kekurangan dan kelebihan masing2 yaaa, yang biasa menulis memotret dan berpetualan, belum tentu sanggup menjadi nelayan
iya kak cum, aku nyerah mah kalau disuruh jadi nelayan
angkat tangan, lambai-lambai 😀
Membaca tulisan in aku seperti terjebak dalam sebuah cerita film yang menakjubkan … petualangan yang menyenangkan.
Sungguh tulisan yang keren… aku iri! udah itu aja.
makasihhh, makasih 🙂
waktu ikut di kapal itu juga rasanya udah kaya di film-film kapal yang bentar lagi tenggelam, serem parah
untung dibawa tidur 😀
Baca petualangan para pelaut ini jadi inget main Assassin Creed IV: Black Flag. Betapa hebatnya para pelaut, pengalaman yang di dapat mereka sangatlah berharga. Semakin lama seorang pelaut di laut, semakin emas hatinya. Hehe
waaduuuh, ga pernah main assassin creed
taunya malah pirates of caribbean 😀
berasa jadi jack sparrow
Memang ku akui, ketika dalam kondisi seperti tersebut, waktu memang terasa begitu lambat.
Dulu, ketika kelas 5 SD aku pernah nekat ikut bapak melaut. Ku pikir senang saja naik kapal malam hari, tapi realita berbeda. Persis seperti cerita diatas. Hahaha. Terimakasih Kak Yof, sudah menceritakan dan mengingatkan ku kembali. 🙂
kak Arie asli mana kak?
aku juga dulu tinggal di tepi pesisir, tapi ga pernah nyobain naik kapal 🙁
orang berenang di laut aja udah dimarah-marahin emak 😀
Wih, ini rupanya cerita jadi Popeye! Mirip-miirp saya ya, karena penasaran dan ingin coba nantang diri untuk coba hal baru, alhasil….lebih banyak duduk dan tiduran dengan ekspresi kaya orang baru sadar dari kesurupan :)) Sebetulnya otak bilang saya harus kapok, tapi kok hati masih ingin.. Hahaha.
Ngomong-ngomong, ikannya banyak amat, Mas!
iya kak, akhirnya ditulis juga, hahaha
aslinya malu sih, sok-sok kuat, ealah kok di tengah laut muntah-muntah 😀
iya, soalnya menjaring, ikannya trus dikirim ke pabrik sarden