Pagi datang. Kedinginan, kaki kebas, dan punggung sakit adalah hal pertama yang kurasakan setelah semalaman tidur hanya beralaskan papan di bagian belakang truk barang.

Kemarin, saat semangatku sudah mulai surut sebab mengira akan terdampar semalaman di Paloh, sebuah truk barang tiba-tiba melintas dari arah selatan. Melihat hadapnya, kuperkirakan truk itu hendak menuju pelabuhan. Setelah pelabuhan hanya akan terbentang satu jalan saja, kalau bukan ke Temajuk maka setidaknya mendekati Temajuk. Hari sudah mulai gelap, ini jelas taruhan terbaik yang layak diambil. Jika tidak, aku harus menunggu sampai esok pagi, itu pun belum tentu mendapat angkutan. Tak pikir panjang, lekas kuhampiri truk yang sedang berjalan lambat tersebut.

“Pak, boleh numpang sampai depan?” Tanyaku pada sopir yang langsung menarik rem tangan begitu melihatku berlari.

“Adik nak ke mana?”

“Ke Temajuk Pak.”

“Sama siapa?” lagi-lagi pertanyanyaan serupa yang telah berulang-ulang kudendangkan jawabannya.

“Sendiri saja, Pak.” Sesaat, terlihat ia sedang menimang-nimang keputusan. Boleh saja ia menolak karena curiga, siapa pula yang hendak menyisihkan waktu pelesir ke Temajuk, sendirian pula. Tapi ternyata gayung bersambut, truk itu memang akan melawat ke perbatasan mengantarkan barang-barang pesanan. Meski lebih dekat dengan Malaysia, masyarakat Temajuk lebih memilih untuk berbelanja ke Kota Sambas yang berjarak enam jam perjalanan. Selain karena murah, mereka tak perlu repot-repot berbelanja sendiri. Cukup mencatatkan barang-barang kebutuhan pada sang sopir, lalu memberi imbalan sebesar 10% dari total nilai belanjaan, barang yang dipesan akan sampai di rumah selambat-lambatnya lusa. Persis seperti belanja daring tanpa perlu akses internet.

Sang sopir kemudian mengangguk, aku diperbolehkan ikut dengan syarat membantu mereka menurunkan beberapa barang di tengah jalan. Barang-barang itu berupa beras, ban mobil, pupuk, kipas angin, gas, kerupuk, hingga minyak tanah. Kepalaku balas mengangguk sambil langsung melompatat mantap ke kursi depan, duduk persis di sebelah sang sopir yang tak sempat kutanyakan namanya itu. Truk kemudian beranjak terus ke utara, sampai di pelabuhan lagi, mengantre lagi, lalu menyeberangi sungai lagi dengan ferry tua. Selepas sungai Sumpit, aku kembali dihadapkan pada jalanan khas pedalaman Kalimantan. Rimba raya, tanah merah, dan lumpur setinggi betis. Jika hujan datang, tanah berubah menjadi kubangan kerbau, tergenang dan mustahil dilewati. Lima jam truk pontang-panting bergelut dengan jalan yang sebenarnya tak layak tempuh sepanjang 50 kilometer. Jika dikonversikan ke dalam gempa, guncangan ini barangkali sudah cukup untuk meluluhlantakkan sebuah kota. Beruntung, setidaknya aku hanyalah seorang pendatang yang mengalaminya sesekali saja. Bagi si sopir, lindu ini adalah makanan sehari-hari.

Belakangan kuketahui bahwa lelaki pendiam yang duduk di sebelahku itu turun-temurun berasal dari keluarga sopir. Bapaknya seorang sopir bus, saudara-saudaranya juga sopir, sampai kakeknya yang sudah almarhum, menghidupi keluarga dari hasil menggembalakan oto. Ada kebanggaan terpancar dari matanya. Betapa tidak, bila ia absen sehari saja, tentu kebutuhan hidup orang-orang Temajuk tidak akan berjalan lancar.

Selain sopir, ada dua orang kernet yang duduk di bak belakang. Semalaman aku ikut membantu mereka menurunkan barang pesanan. Pupuk diturunkan di tengah kebun, daging ayam di rumah makan, bensin di bengkel yang akan menjualnya sebagai eceran, kerupuk, air minum, dan makanan ringan di kedai-kedai kecil pinggir jalan. Untuk pesanan pribadi, dijemput langsung oleh si pemesan di tempat yang sudah dijanjikan. Sampai tengah malam truk itu masih belum selesai menurunkan barang. Aku yang begitu letih, akhirnya tertidur di bagian belakang truk.
Pagi ini truk sudah terparkir gagah di tengah lapangan. Aku sampai di Temajuk dengan badan pegal tak kira-kira, tapi perjalanan tetap harus dilanjutkan.

Setelah sarapan dan berterima kasih pada sang sopir atas tumpangan semalam, aku mengelilingi Temajuk berjalan kaki. Sungguh di luar dugaan, di sini kutemukan sebuah kehidupan yang jauh berbeda dari apa yang kubayangkan. Sebelumnya aku menganggap Temajuk pastilah serupa dengan daerah perbatasan lain, terpencil dan terlantar. Nyatanya aku hanya benar separuh. Temajuk memang terpencil, tapi ia tidaklah seudik dan sesepi harapanku. Sebaliknya, ia melaju pesat.

Sejak tersiarnya kabar pencaplokan oleh Malaysia menjelang akhir tahun 2011, Temajuk langsung menjadi pusat perhatian, tidak hanya oleh kabupaten, melainkan juga provinsi, hingga pemerintah pusat. Untuk itu ia dijaga ketat oleh tentara, sebentar saja berselang, penduduk dari desa tetangga pun didatangkan. Berduyun-duyun orang dari Sambas, Natuna, sampai Riau daratan bermigrasi ke Temajuk untuk ikut menjaga wilayah perbatasan. Akibatnya desa ini semakin tahun semakin ramai dan mudah dalam penjagaan. Kini penginapan dan rumah makan berserakan. Kios-kios kayu bertengger di sepanjang jalan menjual apa saja, mulai dari kebutuhan hidup sehari-hari sampai kebutuhan sekunder sekalipun. Jalan teraspal, listrik tersambung dari satu rumah ke rumah lainnya. Pagi dimulai dengan gegap gempita, anak-anak berbaju pramuka berlarian hendak berangkat sekolah. Sudah ada lima sekolah negeri yang terdapat di Temajuk, dua di antaranya Sekolah Dasar, satu Sekolah Menengah Pertama, dan satu Sekolah Menengah Atas.

Karena sebagian besar penduduknya merupakan pendatang dari Sambas, maka masyarakat Temajuk berbicara menggunakan dialek Melayu Kendayan. Konon, suku Sambas pada mulanya adalah bagian dari rumpun Dayak Kalimantan. Mereka beragama Hindu Kaharingan, berbahasa Dayak Kanayatn, dan hidup dalam nilai-nilai yang dianut oleh suku Dayak Melayik. Hingga kemudian pengaruh Islam berkembang di pesisir barat Kalimantan, orang Sambas mulai meninggalkan kepercayaan lama dan mengalami perubahan identitas. Mereka lebih memilih untuk menyebut diri dengan Melayu atau Senganan (suku Dayak yang telah mengalami islamisasi) meskipun hak kepemilikan atas hutan dan tanah masih mempertahankan adat Insanak tua mereka. Hal yang membuat Temajuk masih menjadi Temajuk adalah struktur jalannya yang masih sederhana, hanya ada satu ruas jalan utama yang melingkar dan akan kembali lagi ke titik semula. Tidak ada percabangan yang tidak perlu hingga rasa-rasanya mustahil untuk tersesat. Kuawali perjalanan dari balai desa, terus ke utara melewati pesisir pantai, berbelok ke timur saat menemui kuala sungai, bertandang ke kantor pos imigrasi yang kosong melompong, memutar ke selatan yang dipadati perkebunan, hingga kembali lagi ke balai desa saat menghadapkan muka ke arah barat. Tiga jam saja seluruh desa sudah habis kulewati.

Lalu bagaimana bentuk patok perbatasan yang penuh dengan sengketa itu? Di atas peta, garis perbatasan antar negara bisa begitu tegas. Tapi di lapangan, bentuknya tak lebih dari sekadar belantara jenggala dan beberapa tugu yang berdiri dalam kesunyian. Salah satunya adalah tugu garuda raksasa. Dibuat sedemikian gagah sebagai penegas bahwa Temajuk belumlah dilupakan dan masih merupakan bagian dari Republik Indonesia. Berdiri persis di depan garuda, terdapat pula patung Soekarno yang menghadapkan wajah ke arah timur dengan tangan kanan tegas menunjuk garis perbatasan. Tapi justru tugu-tugu diam itulah yang menentukan siapa kawan dan siapa lawan. Tugu itu yang menggaris nasib penduduk, menjadi batas negeri, dan memisahkan orang serumpun. Tugu itulah yang menjadi alasan bagi para tentara dan pejuang-pejuang tanah air untuk rela baku hantam tanpa pernah tahu bagaimana asal mula garis itu tercipta.

Adalah sebuah konvensi London yang menciptakan garis tersebut. Kala Belanda dan Britania Raya masih menduduki wilayah Indonesia, mereka merasa perlu untuk menetapkan batas-batas kekuasaan. Maka ditandatangani sebuah dokumen perjanjian pada tahun 1891, menyepakati bahwa armada Inggris diizinkan untuk membangun koloni di sebelah utara Selat Malaka dan Selat Singapura, sementara Belanda mendapatkan jatahnya di sebelah selatan. Kalimantan yang waktu itu belum jelas, didefinisikan dengan cara menarik garis seperti mengiris potongan kue. Indonesia yang daif tentu saja tidak dilibatkan dalam perundingan, kita hanya bisa melihat dan pasrah menerima takdir begitu saja. Barulah 82 tahun kemudian irisan itu diamini oleh Indonesia dan Malaysia pada sebuah nota kesepahaman pembagian negara lewat survei bersama. Kedua negara menyetujui garis batas sepanjang 2.019 km, bermula dari Tanjung Batu di Temajuk, hingga Teluk Sebatik di Kalimantan Utara sana. Tapi lagi-lagi penetapan garis demarkasi itu tak pernah melibatkan masyarakat adat yang lebih mengetahui kondisi wilayah. Tak heran jika kemudian banyak patok perbatasan yang tiba-tiba saja bergeser dari posisi semula.

Usai berkeliling, kusempatkan singgah di sebuah lapau yang menjual minuman. Sambil bersadai sejenak melepas penat, terbit pula rasa penasaranku untuk bertanya pada penjualnya, “di sini menerima ringgit bu?”

“Kalau mau belanja pakai ringgit, di Malaysia sana. Di sini kami cuma terima rupiah.” Jawab ibu itu berapi-api, barangkali ia keliru menganggapku turis negara tetangga. Sontak aku tersenyum. Bahkan di desa yang terletak di ujung negeri ini, di saat kemewahan menjadi barang langka, nasionalisme masih dijunjung setegak-tegaknya. Lalu bagaimana kabar ibukota?

26 thoughts on “Nasionalisme di Ujung Negeri”

  1. Ku gagal fokus ke senjanya kak, ya ampun indah banget.. Makasih ya setidaknya udah diajak jalan2 lewat tulisan dan foto.. Semoga generasi penerus tetap menjaga nasionalisme seperti ibu2 penjaga kedai itu

    1. iya kak, senjanya keren sih waktu itu
      jarang-jarang nikmatin senja di sungai
      khan biasanya sunset di pinggir pantai ya 😀

      semoga nasionalisme ga cuma ada di perbatasan ya kak 🙂

  2. Jawaban ibu itu bikin getar mas.
    Kadang kita ingin hidup jauh di tempat perbatasan seperti itu, sehingga kita bisa benar-benar memaknai arti sebuah negara, kerukunan, dan cinta tanah air.

  3. Perbatasan, di peta terlihat begitu jelas dg garis-garis mencolok. Tp pada kenyataannya ia tak kasat mata. Meski begitu ia bagai tembok tebal yg memisahkan takdir bahkan saudara serumpun.
    Kadang berpikir, dulu waktu kecil garis-garid di peta itu saya pikir berupa pagar dg kawat berduri. Tak seorang pun boleh melintas tanpa ijin.
    Kehidupan di perbatasan memang sangat menarik. Saya tetiba ingat Garis Batasnya Agustinus Wibowo 😀

    1. naaaahh, bener banget
      hehehe
      saya pun demikian, waktu ke sana jadi inget cerita-cerita agustinus di perbatasan papua
      di kalimantan masih tergolong mudah akses transportasinya

  4. Aku merinding lho baca ini. Hmm. Gimana ya rasanya jalan jalan di perbatasan gini. Pengen rasanya mengalami sendiri.

    Semoga pemerintah pusat tak hanya “sayang” ketika sudah terjadi sengketa di perbatasan. 🙂

Leave a Reply