Seluruh bulu remang yang tumbuh di tengkuk, di lengan, juga di betis kakiku berdiri mendengar lantunan nada dari alat musik petik yang dimainkan oleh papa Jeremias. Sejuk, denting suara sasando itu sejuk sekali, seperti gemericik air di hulu kali.sasandoEmpat puluh lima menit sebelum kejadian itu, aku masih mengendarai motor sambil mengumpat-umpat sebab siang di dataran Kupang adalah siang yang benar-benar siang. Jika tidak silap hitung, mataharinya memang benar hanya sebiji, tapi panasnya bersarang di setiap jengkal pulau Timor. Keringatku yang sebesar butir jagung enak saja mengalir seakan-akan tiada hendak sudah. Bergelas-gelas air tandas, tapi sia-sia belaka, dahaga ini membutuhkan kesejukan lain.

Tuhan ternyata mendengar doaku. Setelah melewati jalanan lempang, sebuah baliho bertuliskan ‘Pengrajin Sasando’ berdiri. Aku berkelok memasuki halaman bengkel sasando itu dan memarkir motor. Seorang lelaki tua keluar, papa Jeremias namanya. Ia mengenakan senyuman saat menyambutku, maka kukenakan pula senyuman saat menjabat tangannya. Apa yang lebih melegakan dari harapan yang jadi nyata?
jeremiasKini aku tengah berhadap-hadapan dengan Papa Jeremias, pemain sasando tertua di Indonesia jika bukan di dunia, seorang maestro jika bukan virtuoso. Sesudah percakapan pembuka yang diniatkan sepotong dua tetapi menjadi sedikit lebih lama, papa Jeremias akhirnya berganti pakaian. Dia merasa perlu memantaskan tamu dengan mengenakan kemeja putih polos berlengan panjang, sarung tenun berwarna gelap yang menjuntai hingga menutupi setengah betis, sehelai selendang yang disampirkan di bahu, dan sebagai pelengkap, tidak lupa ti’i lingga, penutup kepala dari daun lontar yang mengingatkanku pada topi sombrero Meksiko.

Papa lalu duduk bersandar di atas kursi plastik berwarna merah sambil menopangkan punggung dan memangku sasando. Tanpa diminta, kelima jari kirinya mulai memetik dawai yang jika diresapi baik-baik menghasilkan bunyi melodi, sementara jari kanan memainkan musik pengiring. Tak pernah kudengar dia keliru nada atau salah memetik senar. Dia mengenal setiap ruas sasando seperti mengenal sendi jarinya sendiri. Seluruh bulu remang yang tumbuh di tengkuk, di lengan, juga di betis kakiku mulai berdiri. Sejuk, sejuk sekali, seperti gemericik air di hulu kali.
papa-jeremiasButuh lima menit saja dan aku segera hilang kesadaran, maksudku bukan benar-benar hilang karena tertidur, melainkan larut dalam buaian nada-nada magis. Petikan sasando itu, sebagaimana layaknya campuran lima galon arak sekaligus, sungguh-sungguh memabukkan. Aku memejamkan mata dan nada itu semakin dalam mengisap seperti masuk lubang hitam. Percayalah, aku bisa saja melupakan banyak kejadian penting dalam hidupku, tapi tidak untuk yang satu itu. Iramanya menghantui, mendekam di kepala, di ulu hati, mengalir pula di pembuluh darah. Baiklah, aku tahu, yang terakhir mungkin agak berlebihan dan mengada-ada, tapi begitulah, getaran sasando itu tak mau beranjak.

Sasando yang berarti getaran dalam bahasa Rote itu terbuat dari tabung bambu yang direntangkan senar membujur dari atas ke bawah. Sebagai rumah dengung, selembar anyaman daun lontar kemudian ditangkupkan, ditekuk setengah lingkaran hingga nyaris meyerupai sebuah kipas. Jika pernah melihat gambar depan mata uang 5000 emisi tahun 1992, maka persis demikianlah adanya. Sebagaimana asal sasando, papa Jeremias juga sebenarnya berasal dari Rote, namun sejak tahun 1985, dia pindah dan menetap di Oebelo, sebuah desa di kecamatan Kupang Tengah, tempat tinggalnya sekarang.
sasando-rote sasando-kupangmini-sasandoKonon, sasando sudah dimainkan masyarakat Rote sejak abad ke tujuh. Alat musik itu hadir dalam berbagai upacara adat, baik kelahiran atau kematian sekalipun. Baik sebagai pengiring tarian penerima tamu, atau penyambut prajurit pulang perang. Baik sebagai penggembira pernikahan, atau penghibur keluarga yang berduka. Sasando adalah alat musik yang universal, dia turut pada gembala sebagaimana patuh pada genggaman kerabat raja.

Papa Jeremias mengenal sasando sedari kecil. Papa dari papa Jeremias bernama Aogus, menurut kabar yang kudengar, ia juga seorang pemain sasando. Anak-anak papa juga bermain sasando, yang tertua sampai yang termuda. Berto pah dan Djitron pah adalah yang paling dikenal sebab pernah mengikuti ajang pencarian bakat di salah satu televisi swasta. Pada tahun 1996, bersama Djitron jugalah papa Jeremias mencipatakan sasando baru, sasando bersuara nyaring yang bisa disambungkan dengan pengeras suara, mereka menyebutnya sasando elektrik.
anak-jeremias anak-jeremias-pahPapa menutup pembicaraan panjang lebar itu dengan membuang pandangan ke luar jendela. Ada hening panjang yang mengikutinya seperti sedang melamunkan sesuatu. Menurut papa, seberapapun merdu dan indahnya denting sasando, selalu ada nada-nada sendu yang sebenarnya ikut dibawa tapi luput kita dengarkan. Nada itu seperti lubang di aspal yang selalu ingin kita hindari. Nada itu adalah pudarnya budaya jika kita ingin berbicara sedikit lebih rumit. Sebuah isu yang belum tuntas dan tak akan pernah tuntas, kurasa.
jeremias-dan-sasando Terlepas banyaknya panggung musik, di dalam maupun di luar negeri, yang telah didatangi papa dan anak-anaknya untuk menyebar-luaskan sasando, dibalik semua riuh dan gegap gempita itu, ada persoalan-persoalan lain yang pelik untuk diurai. Selera anak muda Kupang adalah salah satunya. Papa mengeluh bahwa mereka lebih suka mendengarkan musik yang menghentak-hentak dan merasa gagah setelahnya, sementara sasando kini hidup dengan nafas yang makin terengah-engah. Gaung sasando semakin redup, tak lagi terdengar sekeras dulu.

Prihatin, tentu saja, tapi harapan tetap harus dijaga. Suatu saat, papa berharap sasando dapat beredar luas di masyarakat dan dapat dimainkan semudah memainkan gitar ataupun biola. Jalan yang panjang, tapi bukan tidak mungkin.
jeremias-a-pahPost Scriptum: Papa jeremias lahir tepat pada tanggal 20 Oktober, tujuh puluh tujuh tahun silam. Tulisan ini adalah sebentuk apresiasi atas kegigihan beliau menjaga dan merawat keberlangsungan sasando hingga sekarang. Selamat Ulang tahun papa. Teruslah menginspirasi.

36 thoughts on “Nada-Nada Sendu Sasando”

  1. Baca penuturanmu tentang Papa Jeremiah ini seolah mengingatkanku kalau sudah setahun berlalu belum juga bayar hutang nulis tentang beliau hahaha. Beneran merinding pas dengar langsung petikan sasandonya, sayang dulu nggak cukup memori kamera untuk merekam aktivitasnya. Kode… kode… 😀
    Teruskan semangat menulismu, kak! 😉

  2. Penasaran dengan bagaimana indahnya bunyi sasando yang begitu menyeluruh itu Mas, hehe. Bahkan saya seumur hidup sepertinya belum pernah melihatnya secara langsung. Semoga ada kesempatan untuk ke sana dan berjumpa Papa Jeremias.
    Dari tulisan ini, saya menyimpulkan bahwa sasando adalah alat musik yang hidup, bernapas, dan berdetak sebagaimana layaknya seorang manusia. Hm, namun mudah-mudahan sasando tidak seperti manusia yang tidak abadi, hehe.

    1. jika ada kesempatan, sempatkan mampir ke sana, Gara
      lokasinya ga susah kok
      kalo dari kupang tinggal ikutin jalan utama aja ke arah timur, sekitar 45 menit perjalanan ntar juga sampe
      ga nyesel jauh2 ke kupang buat dengerin sasando, trust me, it is worth

  3. Saya pernah lihat acara pencarian bakat, seorang remaja dengan sasandonya terpilih sebagai salah satu finalis. Sayang dia tak juara. Padahal saya sempat berharap dia menjadi salah satu musisi tanah air yang membawa sasando tetap dikenal generasinya.

  4. Sasando ini memang unik sekali. Dulu pernah jadi hiasan di ruang tamu rumah Bapak saya. Oleh2 dari Kupang. Pernah dengar soal Papa Jeremias ini, tapi lebih detail infonya disini. Thanks for sharing

  5. Lepas dari cerita Sasando yang menarik.. Aku suka tulisan reportase yang “berbicara” kayak gini.. Gak kepanjangan, gak terlalu pendek, tapi bikin kita masuk ke dalam cerita..

  6. Dimana-mana, regerenasi, kekayaan intelektual tradisional sedang mengap-megap. Mereka tak bisa membendung Selera jaman yang berubah. Mudah-mudahan, setelah generasi yg berubah ini mapan, mereka akan kembali ke Sasando. Dan Papa Jeremias nant bisa tenang walau sdh tak berada di dunia ini lagi

    1. Iya mbak, pergeseran budaya emang ga bisa dihindari sih
      harapannya ya, kalopun sampe berubah, paling enggak jangan lupa sama kekayaan lokal

  7. waaa.. terhormat sekali bertemu beliau…. sasandonya juga mulus2… huhuhuhu….. jadi inget temen saya di Situbondo yang sudah berkelana ke Eropa karena suka bikin alat musik sendiri yang konsepnya alat musik Indonesia….

  8. Bagus ya tatanan kalimatnya. Bena baru ini berkunjunh ke sini. Wehehehe. Jadi masih menikmati tatanan kalimat per kalimat yang ditulis sama kamu kak. ♥♥♥♥♥

  9. Terima kasih untuk ceritanya, mas. Aku menikmati setiap pilihan katamu. Turut senang alat musik tradisional seperti sasando rupanya masih hidup, bahkan berinovasi dengan sasando elektrik. Jangan sampai sasando hanya tinggal kenangan dalam lembaran uang…

  10. Sasando ni seperti warisan ya, turun temurun ke tiap generasi jadi wajib belajar memainkannya. Dulu pertama kali tahu sasando dari acara pencarian bakat di TV, alunannya bisa bikin orang terbuai. #hasek

    1. Sama Kak, aku juga dulu awalnya tahu dari acara pencarian bakat
      eh, tahu pertama dari duit 5000 sih, dengernya baru lewat ajang pencarian bakat 😀

  11. Pergi ke kupang tanpa mendengar sasando memang terasa kurang lengkap, rasanya seperti berjalan diterik mentari tapi tidak keluar keringat. aneh gitu.

    saya berutung pas ke kupang secara tidak sengaja ada yang main sasando di hotel

  12. Wah, ini alat musik yang ada di uang 5 ribuan jaman dulu yah.. Jadi penasaran bagaimana suara alat musik sasando.. Sayangnya kalah populer ya sasando dibanding Angklung.. Padahal Indonesia banyak punya alat musik tradisional yg khas..

    Regards,
    Dee – heydeerahma.com

    1. iya mbak, masih kalah populer dibanding angklung, padahal suaranya gak kalah bagus
      soalnya belum banyak yang mempublikasikan, lagipula orang yang bisa memainkannya pun terbatas
      mudah-mudahan saja kesenian ini bisa bertahan

Leave a Reply