Saat kuliah, menulis tiga sampai empat tulisan dalam sebulan bukanlah hal yang terlalu sulit bagiku. Aku bahkan bisa menabung tulisan untuk satu bulan setelahnya jika sedang bersemangat. 3 Tahun belakangan, aku hiatus menulis. Tak ada karya sama sekali, nihil, kosong, nol besar. Aku mandul dan terlalu malas. Akhir tahun 2022 kemarin, produktivitas seperti dulu kembali kurindukan. Tahun ini, aku berharap bisa menyalakan lagi semangat serupa.

Tapi bukan hidup namanya jika tidak menamparmu dengan kenyataan. Harapan yang terlalu menggebu-gebu itu langsung pupus di bulan pertama. Tak ada tulisan yang bisa kurampungkan di bulan Januari dan hanya dua tulisan di bulan Februari. Barulah kemudian kusadari bahwa keinginan dan kenyataan memang merupakan dua musuh yang tak saling bekerja sama.

Saat kuliah dulu, tak ada lain yang kupikirkan selain lulus dan mempertahankan kewarasan, waktuku pun berlebih-lebih. Sementara saat bekerja, beban hidup bertambah berkali-kali lipat. Isi kepalaku terbagi-bagi antara banyak kepentingan dan kebutuhan. Rutinitas kantor membuat dua puluh empat jam sehari itu kurang sekali. Energiku makin menipis, bahkan untuk menamatkan satu buku saja terasa berat, apalagi menulis.

Dan untuk kegagalan mengunggah tulisan tersebut, layaknya tersangka yang meringkuk di pengadilan, aku mengumpulkan banyak apologi. Misal, tak ada bahan yang bisa kutulis karena beberapa bulan terakhir tak berjalan ke mana-mana. Sebuah alasan yang mudah sekali dipatahkan, mengingat hutang tulisan di perjalanan-perjalanan terdahulu masih teronggok di folder draft tanpa sekalipun diselesaikan. Sebenarnya ini hanya perkara kemalasanku sendiri dan ketidakmampuan membagi waktu.

Apologi lain adalah, mungkin aku terlalu lelah dengan tulisan bertema perjalanan, seperti menghadapi writing block. Kegagalanku menemukan sudut pandang baru dalam menceritakan perjalanan kadang membuatku malas menulis. Sebetulnya kata-kata berserakan, tapi aku menetapkan standar yang terlalu tinggi pada diri sendiri. Jika tidak benar-benar layak (menurutku), maka tidak akan pernah kumuat dalam blog ini. Menggelikan, itulah akhirnya yang membuat langkahku jalan di tempat, enggan ke mana-mana.

Barangkali aku harus merendahkan standar, atau barangkali aku harus mencoba sesuatu yang baru. Menulis hal-hal kecil yang mengganggu di kepala, sesuatu yang ringan-ringan saja. Atau perihal yang lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari, seperti suasana kereta saat penuh sesak atau kemacetan kota Jakarta. Mungkin, dengan demikian gairah menulisku dapat kembali.

Sebetulnya tidak ada tuntutan untuk blog ini terus diisi. Hanya saja aku berpikir, menulis itu seperti mengasah pisau. Harus tetap dilampas dan dipaksakan, atau kemampuan itu akan tumpul dengan sendirinya. Lagipula blog ini adalah salah satu ruang hidupku. Di sini, seharusnya aku bebas bercerita dan berkeluh kesah tanpa memikirkan kehendak siapapun. Aku tak perlu meminta waktu orang lain untuk menanggapi, jika ada yang tertarik silakan, jika tidak pun tak mengapa.

Maka untuk sementara, jangan heran jika beberapa kali ke depan kalian akan menemukan tulisan yang arbitrer, bertema acak, sporadis. Kupikir aku akan rehat sejenak menuliskan cerita perjalanan. Tentu saja dengan harapan bisa menulis lebih banyak.

Siapa tahu nanti kalian akan bertemu cerita tentang senyum seseorang saat mendapat pesan dari kekasihnya di atas kereta, atau kegetiran wajah-wajah buruh di ibukota selepas penat bekerja, tentang mereka yang masih bertahan bukan karena betah, melainkan butuh, atau mungkin hal-hal karib seperti kisah teman kantorku yang gemar menyumbat pendengarannya dengan pelantang telinga. Aku akan mencoba untuk merekam hal yang selama ini terlihat namun didiamkan.

Dengan begitu, aku mungkin bisa belajar memperhatikan sekelilingku lebih detail, melihat lebih seksama. Lebih penting lagi, sebagai bentuk pengingat mengapa aku menulis.

7 thoughts on “Sebuah Pengingat Mengapa Aku Menulis”

  1. Sejak nemu blog ini,tak pernah absen buat baca. Entah buat sekadar hiburan untuk ikut larut dalam narasi, atau cari referensi pengkalimatan yang enak.

    Semangat terus mas! Menanti dengan senang hati tulisan-tulisanmu selanjutnya 🙂

    1. Makasih banyak udah nyempetin baca Ry
      Sayang banget kalau ga dirawat
      dulu bangunnya susah-susah 😀

      Anyway, kamu domisili mana sik sekarang?
      Bandung apa Jakarta?
      Kapan2 yuklah cus ngopi-ngopi

Leave a Reply