“Abang nak ngapain ke Temajuk?” tanya Bang Dayat, sopir oto yang membawaku dari Pontianak ke dusun Merbau, Kecamatan Paloh. Sesering melakukan perjalanan, sesering itu pula pertanyaan serupa telah kudengar. Pertanyaan seperti itu sebenarnya adalah pertanyaan yang serius, namun karena begitu kerap diulang, maka ia lambat laun kehilangan arti dan berakhir menjadi penghias percakapan belaka.

“Ndak ada bang, main-main jak,” jawabku menirukan logat Melayu Pontianak.

Ia mengangkat alis tanda tak puas, baginya mungkin sebuah alasan haruslah masuk akal, dan main-main bukanlah jawaban yang dapat ditelan begitu saja. “Sendirian?”

“Sendirian.”

“Ah, ndak percaya aku bang, udah pernah ke sana sebelumnya? Ada keluarga? Ada kenalan di sana?”

Aku tersenyum dan menggeleng, berharap dapat menjawab tiga pertanyaannya sekaligus dalam satu gerakan. Jangankan bersetuju, kini malah gantian kepalanya yang menggeleng, bukan sekali, tapi berkali-kali. Baru kali ini rupanya ia bertemu dengan orang yang sudi-sudinya datang ke tempat yang jarang dibidik wisatawan lain. “Abang gila? Ke Temajuk sendirian?” Dalam 32 jam terakhir ia adalah orang ke lima yang menyebutku gila.
Kuakui keputusan mengunjungi Temajuk memang muncul begitu saja tanpa rencana. Kemarin lusa aku masih duduk tenang-tenang di kursi kantor, kini ketenangan itu tanggal, berganti hoyak mobil yang sedang melaju kencang. Tanpa satu pun kenalan, kurelakan diriku tersesat di belantara Kalimantan, pulau yang dulunya ditakuti para penulis barat karena didiami oleh suku-suku yang memeluk erat tradisi menganyau; ritual purba mengorbankan nyawa manusia. Entahlah, mungkin Bang Dayat benar adanya, atau mungkin ia hanya terlalu melebih-lebihkan.

Temajuk adalah sebuah desa yang terhampar di ujung paling atas Kalimantan Barat, ia merupakan tanjung terluar tempat bertenggernya ekor pulau Borneo. Dari sanalah kemudian sebuah garis ditarik, garis perbatasan yang menyayat Kalimantan menjadi dua negara, Teluk Melano yang merupakan bagian dari Malaysia di sebelah kanan, Temajuk di sebelah kiri. Aku datang ke sana justru karena nyaris tak pernah mendengar berita apa pun tentangnya.

Bagiku Temajuk begitu misterius, ia begitu dekat sekaligus begitu jauh. Barangkali seperti seorang tetangga yang rumahnya bersebelahan, namun tak pernah saling menyapa. Keinginan untuk bertamu ke patok-patok perbatasan negeri itulah yang lantas menyeretku datang ke Temajuk. Aku ingin menyaksikan rupa garis yang bisa dengan mudahnya memisahkan orang serumpun menjadi dua entitas tersebut.
Perjalanan ke Temajuk tidak bisa disebut mudah. Untuk sampai di sana, aku harus melewati jarak yang terentang sejauh 200 kilometer dari Pontianak ke kota Mempawah, Singkawang, Pemangkat, dan Sambas. Bus lain biasanya berhenti di Sambas, sementara oto yang kutumpangi sekarang adalah kendaraan satu-satunya yang tetap melanjutkan perjalanan sampai ke Liku dan berhenti di dusun Merbau, dusun terakhir yang dihampiri sinyal telekomunikasi. Selepas Merbau tak ada lagi kendaraan umum, sama sekali. Aku masih harus menyeberangi sungai Sumpit, sampai di Dusun Ciremai, lalu menghadapi jalan tanah yang membentang sepanjang 50 kilometer.

Memikirkan hal itu membuatku tak bisa tidur semalaman. Bagaimana jika tidak mendapat tumpangan? Apakah aku harus berjalan kaki puluhan kilo? Bagaimana jika nanti ketinggalan pesawat pulang karena tidak bisa mengejar waktu? Bermacam-macam kekhawatiran tumbuh, ada kengerian sekaligus kerinduan bergemuruh di dalam dadaku. Kerinduan berjalan dengan hasil yang tak terduga, hanya berjalan, tanpa target dan keterikatan.
Tengah hari, kami baru saja melewati kota Singkawang. Kami di sini maksudku adalah diriku sendiri, Bang Dayat, dan dua penumpang lain yang duduk di bangku belakang. “Apa tidak rugi Bang?” tanyaku sambil menghitung-hitung pemasukan agen transportasi yang cuma diisi oleh tiga orang ini.

“Kalau dihitung sekali narik ya rugi Bang, tapi kalau dihitung pulang pergi, Insya Allah masih nutup.” Itulah sebabnya meski berpenumpang hanya seorang, Bang Dayat akan tetap berangkat ke Paloh. Jika tidak, penumpang yang sudah menunggu di sana tidak akan bisa ditarik ke Pontianak keesokan harinya. Jadilah ia bolak balik Pontianak-Paloh saban pagi. Tidak ada hari libur bagi sopir berperawakan tambun itu, kalender hidupnya penuh dengan tinta hitam.

Bang Dayat tidak seperti sopir lain yang banyak kutemui, kata-katanya teratur dan tenang. Ia lahir dan besar di Pontianak. Sebelumnya ia bekerja sebagai tukang cuci truk, saat berusia genap empat belas ia memutuskan untuk menjadi sopir oto. Tahun ini Bang Dayat berumur tiga puluh delapan, itu berarti ia sudah berada di jalanan lebih dari separuh hidup. Pantas gerakannya lincah. Kakinya lihai menginjak gas bersamaan dengan pedal kopling untuk selanjutnya seirama memindahkan persneling mengatur kecepatan. Mudah saja baginya menyalip mobil-mobil lain tanpa kesulitan.

Sampai saat ini, semua jalan yang kami lalui telah teraspal dengan mulus. Selama perjalanan jarang sekali terdengar decit rem, sebaliknya hanya deru mesin yang terus digas. Oto berlari kencang tak ubahnya menjangan lepas dari kandang. Berganti-gantian pula tembang Imagine John Lennon sampai Right Here Waiting-nya Richard Marx mengalun dari pemutar musik, tempo lagu yang lambat itu terasa kontras sekali dengan laju oto.

Pukul dua sore kami sudah sampai di Sambas. Petualangan baru akan dimulai dari sini. Keluar dari kota, Bang Dayat memperlambat laju kendaraan. Aspal mulai berkurang, berganti makadam, lalu jalan tanah, hingga terputus sama sekali ditentang sungai Sekura. Bang Dayat kemudian memarkir kendaraannya di Dermaga Tanjung Harapan. “kita nunggu kapal dulu,” ucapnya. Di hadapanku, membentang sungai keruh penuh buaya. Tidak terdapat jembatan, masyarakat menolak dengan alasan yang serupa saat dulu jembatan Suramadu hendak dibangun; mematikan sumber penghasilan tukang kapal. Mau tidak mau penyeberangan dilakukan dengan ferry sampai Dermaga Teluk Kalong di seberang sana. Jika menaiki motor dan enggan menunggu, bisa menggunakan perahu-perahu kecil yang dioperasikan oleh masyarakat sekitar.

Sampai di seberang, oto kami kembali mengarungi aspal yang rusak karena terlalu banyak dilewati oleh truk pengangkut sawit. “Padahal belum dua tahun diaspal,” keluh Bang Dayat. Kualitas pekerjaan yang buruk dan beban berlebihan membuat jalan ini tutup usia lebih cepat dari yang diharapkan. Penderitaan jalan berlubang itu berlanjut sampai ke Liku, tempat dua penumpang yang sedari tadi terkapar di belakang menyudahi perjalanan. Kami akhirnya sampai di Merbau saat matahari telah menua. Bang Dayat menepi di sebuah rumah yang di depannya tertulis keterangan bahwa tempat ini merupakan tempat berakhirnya trayek oto Pontianak-Paloh. Demi membaca hal itu, aku pun keluar, disambut oleh pertanyaan retorik Bang Dayat, “Habis ini bagaimana?”

Hari mulai gelap, masih ada satu sungai lagi dan 50 kilometer lagi. Apakah usahaku untuk sampai ke padang-padang perbatasan negeri juga akan berhenti sampai di sini?

20 thoughts on “Menuju Perbatasan”

  1. Akhirnyaaaa. Mas Yo ngeblog lagi.. Ah rindu kata-kata bermajasmu, Mas. 😀
    Gila, panjang ya perjuangan untuk ke sana.
    Berarti lebih banyak yg naik dari Liku ke Pontianak ya? Atau bagaimana ya kok bisa “nutup” kekurangannya?

    1. akhirnya yaaaa, setelah sekian lama 😀
      iya nih, draft uda numpuk berbulan-bulan

      iya, biasanya lebih banyak yang naik dari Paloh ke Pontianak
      khan Pontianak kota besar, jadi banyak perantauan ke sana

  2. Waw senang akhirnya si Mas nyampe.juga ke kampung saya, Pontianak 😀 selamat menikmati kota yang apa adanya ini mas haha

    1. hwahahaha
      butuh perjuangan bang, masih belum ada angkutan umum soalnya
      aduuuh, apalah aku ini ngomong perjuangan di depanmu bang
      keliling sumateramu lebih gila 😀

  3. bacain tulis-tulisan nya mas yo, berasa kita ada disana. berasa lgsung pengen keluar dari ruangan kantor, matiin kompuer, booking tiket, packing, langsung go buat travelling (pengennya sih gitu) tapi realita tidak se indah ekspektasi.. 😀

    1. hwahahaha
      aku pun juga sering ngerasa rindu pengen langsung jalan kalau baca-baca blog orang lain soal tempat baru
      tapi seperti yg km bilang, realita tak seindah ekspektasi 😀

  4. Temajuk sekarang kian berbenah, walaupun sinyal masih naik turun warga sudah bisa melakukan panggilan video ke keluarga mereka di luar temajuk. Penginapan semakin menjamur seiring meningkatnya angka pengunjung ke sana. Jalan juga sudah mulai diperbaiki. (Update 8 agustus 2018).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *