Aku bukanlah seorang pejalan bijak bestari pun berpengetahuan tinggi. Bukan pula seorang yang memiliki dedikasi teramat tinggi terhadap kemajuan pariwisata yang makin lama makin berkubang industri. Aku cuma seorang perantau jauh dari ranah kelahiran, yang mencoba mencari rumah disetiap persinggahan.

Serupa rumah, akupun selalu berharap bahwa tanah yang kutapaki dan langit yang meneduhi senantiasa damai dan jauh dari hiruk pikuk kebengisan maupun keporak porandaan. Namun apa lacur, di dunia yang tak sempurna ini, tak ada yang teramat sepakat dengan kemauan diri sendiri. Kerusakan adalah sebuah keseharian yang dibenarkan. Pada akhirnya, apa guna bersajak dan berbahasa dengan elok ketika negeri ini kontras dengan indah?
anak koinKemirisan dimulai ketika aku sempat mengunjungi Lampung hingga pelosok. Satu setengah bulan berada di jalan membuat ragam kehidupan tak lekang hilang dari ingatan. Di pelabuhan Merak dan Bakauheni, aku menyaksikan bocah kecil melompat dari ferry, beradu pacu hanya untuk kumpulkan receh yang  dilempar penumpang ketagihan. Di umur yang masih sedimikian hijau para anak koin harus berjuang demi sekepal nasi dan air sekendi.

Perjalanan dilanjutkan ke Kalianda hingga Rajabasa. Tak luput ibukota, Metro lalu Sukadana. Belakangan aku baru menyadari bahwa bahasa yang kerap terdengar di telinga bukanlah bahasa Lampung, melainkan dialek Indonesia yang lancar dan kental. Identitas bahasa yang buram ini lahir pada tahun 1905, saat pulau Jawa makin penuh dan sesak, pemerintah Hindia Belanda melakukan pemindahan masyarakat yang berada di Kedu (Jawa Tengah) ke tanah Lampung yang terkenal dengan lada hitamnya ini. Pemindahan yang bertujuan untuk penyamarataan penduduk inilah awal mula segala pencampuran masyarakat Lampung.
rusak lampungSeiring waktu, akulturasi budaya terjadi dengan sendirinya. Identitas kebudayaan Lampung mulai terancam. Keengganan menggunakan bahasa daerah oleh mayoritas penutur membuat Identitas kebudayaan mundur perlahan. Sebuah polemik yang tak berkesudahan sejak zaman Sutan Takdir Alisjahbana. Siapakah hari ini yang berani berbicara tentang Ketergerusan budaya? Mereka kian malas membicarakan remeh temeh bahasa yang rumit. Sebagian lain enggan berfikir, sebagian lain enggan menyuarakan.

Aku juga sempat melewati Bandarjaya dan Menggala, dimana getah karet menjadi nafas penyambung kehidupan. Menembus Seputih Banyak dan Rumbia, perkebunan tebu berpuluh kilo mengisi seluas mata memandang. Mengunjungi Tulangbawang, Rawajitu, dan Tanah Merah aku melihat lahan yang semakin ranggas karena dicengkram akar sawit tak berkesudahan. Hal ini mengingatkanku pada kasus kerusuhan dan pembantaian yang terjadi di Mesuji. Sebuah konflik yang berawal dari perebutan tanah kaum.
tanah merah long road jembatanSungguh heran ketika daerah yang subur dan kaya ini tak bisa merdeka di tanah sendiri. Pertikaian masyarakat justru terjadi karena sengketa lahan. Bukti bahwa memang jiwa manusia telah diisi oleh perang dan kebengisan. Alasannya sederhana, kekuasaan dan keinginan untuk memperoleh otoritas terhadap manusia yang lain. Ketika satu pihak diserang, pihak lain berhak merasa membalas, relasi ini akan terus terjadi sampai manusia terakhir yang paling kuat, yang paling berkuasa hidup dan bertahan. Memang kebodohan, adalah sebuah lingkaran yang tak putus dipahami.

Suasana mencekam kelat masih terasa saat melintasi Lampung utara. Menuju Kotabumi hingga Ogan lima otakku dihantui rasa takut tak berhenti, orang bilang disini hilang kepala sudah biasa, terlebih jika melewati Pagar Dewa. Dilanjutkan Baradatu, Blambangan Umpu, dan Pakuanratu hatiku mulai tenang. Merinding baru berubah menjadi gigil saat memasuki Pringsewu di Tanggamus. Dinginnya Liwa dan mistisnya danau ranau membuat lupa segala kengerian pesona Lampung. Sebagai penutup perjalanan, Kiluan di selatan bersedia menggenapinya.
lost lampungMemang Lampung adalah tanah yang ajaib, dengan segala fenomena sosial yang bisa dicermati jika melihat lebih seksama, namun sayangnya masyarakat kita masih buta meski mempunyai mata.

26 thoughts on “Mengunjungi Lampung Hingga Pelosok”

    1. Lampung sai, sang bumi ruwai jurai, hakekat bhineka tunggal ika sebenarnya
      harusnya ragam budaya yang ada di lampung membuat kita lebih kaya
      bukankah berbeda itu perlu?
      tapi kenapa harus ada perselisihan karenanya?
      semoga masyarakat masih selalu ingat falsafah piil pesenggiri

    1. salam kenal juga mbak
      benar, indonesia punya sejuta budaya yang entah kenapa juga menjadi sejuta alasan untuk bersengketa
      saatnya kita dewasa dan berdamai
      🙂
      terimakasih sudah mampir

    1. siaaappp, pasti gak bakal pernah kapok, sebelum lebaran ini juga rencananya mau mampir lampung lagi
      cuma sehari-dua hari sebelum langsung ke padang 🙂

  1. Tulisan dari sudut pandang yang tak biasa. Menyentuh. Semoga menjadi renungan buat semua dan tak melupakan kekayaan lain yang ada di tanah Sang Bumi Ruai jurai. Budaya, kearifan lokal dan perjalanan sejarahnya.

  2. Terima kasih uyk kunjungan ke lampung. Lain waktu mampir ke pulau tangkil.. dan free diving disana. Indah dan bangga menjadi indonesia.

    Jalan panjang untuk ditempuh. Bumi pertiwi menanti. Salam jalan2.

Leave a Reply