Langit sedang mengamuk kala itu, menumpahkan badai yang sangat. Di tengah lautan terlihat sebuah kapal besar yang sibuk digoyang kemarahan samudera. Debur ombak menghantam segala yang melintas di atasnya. Layar-layar lebar dari kain terbaik mulai compang camping dihempas angin kencang. Begitu riuh, begitu menakutkan. Malin Kundang, sang kapten kapal bersimpuh menahan gentar, pucat pasi menghiasi muka. Dilihatnya sang ibunda jauh di tepian dermaga, menangis mengelap air mata yang dia tabung setiap hari.
Sakit hati dan kebencian berebut tempat di dada ibu. Setelah sekian lama merantau, sang putra semata wayang Malin Kundang, begitu enggan mengakui. Harta telah membuat malin lupa, merubahnya menjadi makhluk yang durhaka pada orang tua. “Tuhan, jikalau dia memang benar anakku, maka kutuklah dia menjadi batu.” Barangkali luka itu sudah terlalu, hingga sebuah sumpah berpantang surut terlanjur terucap.
Sementara itu di atas kapal; jemari malin mulai kaku, kakinya mengeras serupa batu. “Ibu, maafkan aku” Malin berteriak, serak sudah tenggorokannya melolong maaf, namun suaranya pecah ditelan angin lalu. Malin bersujud, mempertemukan dahi dengan kayu haluan. Dia mulai menimbun dendam pada masa lalu, menyesali dungunya perilaku. Terlambat, ratapan tak lagi punya nilai. Segala tiang kapal, tong-tong besar, tali rajutan, telah mengeras. Kapal semakin berat, karam di depan mata. Dalam keadaan bersujud, malin sempurna ikut membatu.
Laut yang tak sudi memuntahkannya ke tepian, membuatnya abadi sebagai bukti dan menjadi buah pelajaran. Kini di lepas pantai Air Manis patung Malin Kundang bersujud selamanya.
Kisah ini diceritakan padaku sejak kecil, menjadi dongeng pengantar tidur. Dituturkan secara turun temurun hingga akhirnya diamini, diimani dan diyakini oleh masyarakat Sumatera Barat. Aku tahu cerita ini hanyalah legenda yang dibuat para nenek moyang untuk mengajarkan penerusnya agar tidak durhaka. Manusia menurutku sungguh mudah dibuat terkesima dengan hal-hal diluar logika berpikir, untuk itu dibuatlah cerita tak masuk akal agar berbekas dan mudah diingat.
Aku sempat berkunjung ke pantai ini, disebelah timur terdapat jajaran gunung yang menjadi batas pemandangan. Jika menoleh ke arah barat, hamparan laut terbentang luas menyekat pergerakan. Ditengahnya berserak pantai yang tergelar landai. Pasirya memang tidak putih, tidak pula hitam. Pasir pantai Air Manis berwarna kuning kecoklatan bak nira tandan bunga jantan pohon Enau. Ditempatku pemanis ini bernama gula sagu, barangkali kamu mengenalnya dengan sebutan gula aren, atau gula merah, atau gula jawa. Entah benar atau tidak, mungkin karena itu di nama pantainya terselip kata manis.
Patung Malin dibuat kemudian, dipahat sedemikan rupa menyerupai manusia, menyerupai tali, tong besar dan geladak kapal. Aduhai cocok sudah tempat ini menjadi lokasi wisata, tinggal sebarkan cerita, maka ramai lah pantai ini dikunjungi oleh wisatawan dari berbagai pelosok negeri.
Sekarang banyak orang berdatangan ingin melihat si durhaka. Ada yang paham sejarah, ada yang ikut-ikut memberi sumpah serapah. Sebuah batu menjadi primadona wisata. Aku penasaran dengan isi kepala masing-masing pendatang. Kira-kira apa yang tebersit di benak mereka pertama kali melihat malin kundang yang sedang bersujud? Tak ada yang tahu.
Namun bagiku, sebuah kisah dan sejarah akan berputar layaknya bianglala. Berulang dan terus berulang. Mungkin batu akan segera dilapuk waktu, namun selama manusia masih bisa bersuara dan punya telinga, cerita tak akan hilang dari dunia. Untuk itulah nenek moyangku lebih memilih mendendangkan kisah daripada memahat batu.
dulu saya bertanya “kenapa ada orang tua yang tega mengutuk anaknya sendiri?”
mama bilang “karena orang zaman dulu memang seperti itu” hahaha
tulisan bg ngga bagus.
haha, brati pertanyaan lanjutannya “apa benar sayang ibu tak cuma sekedar penggalah?”
walau hidup di zaman dulu emang kasih sayang pudar bersama waktu? 😀
kereen 🙂
hehehe, makasiiii uda mampir lagi yah 🙂
semoga tetap berkenan membaca tulisannya..
“Patung Malin dibuat kemudian, dipahat sedemikan rupa menyerupai manusia, menyerupai tali, tong besar dan geladak kapal.”
Eh? Saya pikir selain batu si Malin Kundang, yang lainnya batuan buatan. Ternyata batu si Malin Kundang itu juga palsu toh Bang? Masak sih?
iyah, situs malin kundang sudah dipugar pemerintah sejak tahun 1985
sebelum itu hanya onggokan batu yang tak mirip apa-apa
2008, karena lokasi wisata makin ramai, rakyat setempat kembali merenovasi
diantaranya menambahkan kepala pada batu, agar lebih mirip manusia yang bersujud
Saya kira, patung malin kundang itu sudah ada lebih dulu dari pada ceritanya. Ada patung kemudian baru diceritakan, ternyata ada cerita kemudian baru dipatungkan ya…
Tapi mau itu nyata atau tidak, durhaka pada orangtua (apapun alasannya) tetap hal yang jauh dari kata baik 🙂
btw, mas ini suka baca tulisan Darwis Tereliye kah?
Batu memang sudah ada sebelumnya, namun tidak memiliki kemiripan dengan apapun, kemudian legenda dilekatkan dan batu mulai diperbaiki 🙂
Benar, apapun alasannya, durhaka adalah perbuatan yang salah
namun, apapun alasannya, mengutuh buah hati juga bukanlah perbuatan yang bijaksana
hhmmm… Darwis Tere Liye?
Buku Tere Liye yang kubaca cuma Negeri Para Bedebah
selain itu gak tertarik, hehe 😀
Hai abang, apa kabar? Saya baru pulang ke malang nih 😀
Malin Kundang mengingatkan saya pada kisah tenggelamnya Kan’an yang durhaka kepada ayahandanya, Nabi Nuh 🙂
haha, pulang dari mana nih? uda kelar ubek-ubek timur indonesia?
ayo ngopi, bagi2 cerita
Pulang dr berkelana hahaha, belum seluruhnya lah kalau timur, baru paruh belum kepala dan tubuh kaki hehe… Ayok2 kapan ngopi lagi 😀
siaaapp, tapi jangan ngopi dalam waktu dekat yak, abisnya bakal menang lomba terios, jadi harus ke sulawesi dulu 20 hari
hahahaha
ceile ngotot menang 😀
Ah iyaa, andda harus ke sulawesi 🙂 haha
Kata-katanya membuatku selalu mengingat bang 😀
mengingat apa ni guh? 😀