Sekali lagi, aku merasa begitu berutang budi pada sebuah perjalanan karena ia memberiku ruang untuk berkontemplasi. Entah bagimu, tapi bagiku berjalan adalah sebuah usaha pencarian, baik itu tentang hidup, maupun tentang Tuhan. Aku pernah sujud di Masjid sebagaimana pernah berdoa di Gereja. Aku pernah sembahyang di Pura sebagaimana pernah membakar dupa di Vihara. Meskipun hal itu tidak membuatku lebih baik dari sebagian orang, tapi setidaknya aku menjadi sadar bahwa Tuhan sebenarnya hadir di setiap rumah ibadah. Tidak terkecuali saat berkunjung ke Kwan Sing Bio di Tuban.
Kebanyakan orang mungkin akan keliru menyebut Kwan Sing Bio hanya sebagai Kelenteng, padahal ia juga adalah sebuah Vihara. Bisa dimaklumi, sebab segala hal yang berhubungan dengan Tionghoa memang begitu kabur di mata masyarakat Indonesia.
Di Republik Rakyat Tiongkok sana, setiap orang akan beribadah sesuai dengan tempat peribadatan agama masing-masing. Pemeluk Konfusianisme akan melakukan ritual di kuil konfucius, sedangkan Taoisme akan sembahyang di kuil Tao. Namun di nusantara, karena rasa tidak enak hati akan menggunakan tanah terlalu banyak, etnis rantauan Tionghoa membangun sebuah tempat ibadah yang bisa mewadahi semua aliran kepercayaan dari Tiongkok, maka berdirilah Kelenteng.
Pada masa orde baru, Soeharto melarang segala bentuk aktivitas yang berbau kebudayaan Tionghoa di Indonesia. Untuk menghindari permasalahan politis, etnis Tionghoa diharuskan dan dipaksa memeluk salah satu agama yang diakui pemerintah. Mayoritas dari mereka menjadi pemeluk Buddha. Kelenteng pun hilang, berganti menjadi Vihara, di beberapa daerah namanya berbaur menjadi Tempat Ibadah Tridharma. Sebuah rumah bagi pemeluk Konfusianisme, Taoisme dan Buddhisme sekaligus. Isih enak jamanku tho?
Begitulah Kwan Sing Bio terbentuk. Bangunan gagah itu telah menjadi saksi bagaimana Tionghoa bertahan meskipun menjadi etnis yang paling rentan dalam sejarah nusantara. Beruntung saat KH. Abdurrahman Wahid menjadi presiden, ia menetapkan Konghucu sebagai salah satu agama resmi untuk berbagai aliran kepercayaan tradisional masyarakat Tionghoa. Meskipun begitu, diskriminasi tidak hilang begitu saja, rasisme masih bersarang di benak manusia-manusia bebal Indonesia, dan hal ini kerap lebih sulit untuk ditangani.
Sebut saja kejadian beberapa hari lalu sebagai contoh. Sebenarnya aku sudah bosan peduli, tapi perkara itu terlalu menggelitik dan terlalu geli untuk ditahan. Mulanya berawal dari tuduhan yang dilayangkan oleh sebagian muslim Indonesia pada Basuki Tjahaja Purnama perihal penistaan agama. Jalanan Jakarta ramai oleh pendemo berpakaian putih-putih yang sudi berpanas-panasan. Linimasa media sosial seolah tak mau tinggal, penuh dengan orang-orang yang berdebat tiada hendak selesai. Seperti pendemo, mereka juga berpanas-panasan. Jika saja Ahok, panggilan akrab Basuki Tjahaja Purnama, tidak lahir sebagai Tionghoa, maka tentu akan lain ceritanya.
Percayalah, aku tidak sedang membela siapa-siapa dan urung melakukannya. Aku pun merasa tidak memiliki kapasitas apa-apa untuk menyigi persoalan ini, banyak sudah pakar lain berspekulasi hanya untuk kemudian menjadi sia-sia. Sebagian orang di negeri ini, jika tidak ingin disebut semuanya, merasa lebih tahu dan lebih pandai dari siapapun. Pada akhirnya, percuma menjelaskan. Sekeras apapun usahamu, mereka yang dibutakan kebencian tidak akan peduli.
Terserah di posisi mana kakimu perpijak atau dari sudut mana matamu memandang, suka tidak suka, aksi kemarin hanyalah sebuah euforia kebebasan berpendapat belaka. Karena kita hidup di negara yang menganut sistem demokrasi, maka tidak ada yang salah dengan demonstrasi, suaramu dilindungi hukum, aksimu dijamin undang-undang. Hanya saja, secara jujur aku lebih senang melihatnya sebagai sebuah petasan yang ingin meledakkan kemarahan. Sebab ketika melakukannya, ada upaya menyerukan tindak kejahatan atau menyebarkan kebencian.
Mungkin benar bahwa manusia kadang adalah makhluk yang munafik dalam beberapa hal. Kita mengagungkan bhineka tunggal ika tapi melarang perbedaan. Kita boleh menghina agama lain tapi ribut jika dihina. Kita bangga melakukan islamisasi, tapi melarang orang berpindah agama jadi Nasrani. Kita senang menghibahkan lahan untuk pembangunan masjid, tapi berang jika tanah sebelah rumah dibangun Kelenteng atau Gereja. Kita benar dan mereka salah hanya karena menang jumlah, hanyak karena hidup sebagai mayoritas. Kita sering tidak adil dalam hidup dan beragama. Demikianlah adanya, ya, demikianlah adanya.
Kau boleh saja berujar bahwa demo kemarin merupakan aksi damai, bahwa kekerasan yang terjadi selepas magrib adalah provokasi dan ulah oknum kelompok lain. Barangkali sepele bagimu, barangkali sepulang aksi kemarin senyummu sekarang tidak putus-putus sebab merasa telah purna membela agama. Mungkin saat ini kamu tengah duduk nyaman di rumah masing-masing sambil bercerita pada kerabat soal jihad yang usai, soal ritus suci yang akan dihadiahi surga. Namun di balik itu, ada etnis dan keluarga-keluarga yang meratapi harta benda, yang tokonya dijarah, yang tak berani keluar rumah sebab trauma dengan aksi massa, yang membatalkan perjanjian, yang masih bersembunyi dan meringkuk dalam ketakutan.
Sial, aku meracau terlampau jauh hingga menulis hal yang bukan-bukan. Mari kembali ke Kwan Sing Bio.
Masuk gerbang utama aku disambut oleh altar persembahyangan. Di depannya telah sedia hiolo dengan puluhan dupa terbakar. Ada wangi kayu Gaharu kurasakan menguar di udara, asap putih pelan-pelan menyusup di antara tiang-tiang berwarna merah. Suasana begitu tenang, hening jika boleh dikatakan demikian. Berada dalam altar ini seperti berada di rumah tanpa suara.
Kemudian dua orang datang, mereka adalah pasangan yang bersiap-siap hendak sembahyang. Aku termenung di tempatku berdiri, menikmati momen-momen sakral itu sambil terus mengikuti gerakan mereka lewat sudut mata. Saat mereka mengambil dupa, saat mereka membakarnya, saat mereka berputar menghadap laut, dan saat mereka memejamkan mata, berdoa. Tubuhku memang celaka, tanpa disuruh, ia pun ikut memejamkan mata, berdoa. Bahkan saat ritual itu selesai dengan menancapkan dupa ke dalam hiolo, bibirku ikut melengkung serupa bibir mereka, tersenyum. Ada rasa damai dan puas.
Lepas dari altar, kuputuskan berputar-putar sebentar. Di sudut sebelah kanan altar sembahyang berdiri sebuah kantor pengurus, lalu ada tempat meramal nasib untuk kemudian berturut-turut tempat belajar bahasa mandarin, tempat berlatih barongsai, juga tempat menjual perlengkapan sembahyang. Satu hal yang kusadari belakangan mengenai tempat ini adalah luas areanya yang berlebihan. Sungguh, semua serba lapang dan besar betul. Jika berjalan ke belakang, maka akan ada aula yang bisa menampung ribuan pengunjung, ribuan. Aula itu digunakan jika ada pertunjukan besar dan pengunjung ingin menginap. Tidur dan beristirahat semua cuma-cuma.
Di sebelah Aula terdapat dapur yang biasa memberikan makanan bagi siapa saja. Konon, bulan Ramadhan tahun lalu Kwan Sing Bio bahkan membagi-bagikan takjil gratis pada umat muslim yang berpuasa. Apakah toleransi antar agama hanya bisa hidup jauh dari kota-kota besar? Entahlah.
Berhadap-hadapan dengan dapur dan aula, terbentang taman yang luas, dua patung naga hijau, sebuah danau buatan, dan jembatan kecil yang melintas di atasnya. Di ujung jembatan berdiri sebuah pagoda dan panggung pertunjukan. Senada dengan bangunan lain, pagoda ini pun berwarna serupa, jika tidak merah terang, maka merah gelap. Merah memang warna keberuntungan bagi etnis Tionghoa, tak heran nuansa merah begitu kental dan seringkali hadir menghiasi Imlek maupun acara-acara keagamaan.
Dan tinggi matahari kemudian mengingatkanku bahwa setelah ini aku masih harus melanjutkan perjalanan. Pulang dari Kwan Sing Bio kepalaku penuh dengan pikiran-pikiran soal toleransi. Barangkali benar jika agama dan negara harus dipisahkan sejauh-jauhnya. Barangkali benar jika agama seharusnya tetap berada di ruang privat, karena jika sudah dibagi dalam ruang publik, maka semua akan menilai dengan standar yang berbeda, garis akhirnya? tentu saja perpecahan.
Bagi saya yang menganut agama minoritas, tulisan ini kontemplatif sekali. Mungkin gara-gara saya tak pernah berada lama di lingkungan yang penganut agama yang sama dengan apa yang saya anut adalah mayoritas, saya terlalu terbiasa dengan sikap toleran dari sisi saya dan sama sekali tidak pernah menuntut toleransi yang sama dari sisi sebelah sana. Namun bagian tulisan ini, meskipun judulnya racauan, sedikit banyak membuka mata bahwa toleransi itu nggak bisa satu arah saja. Terima kasih!
Benar Gara, toleransi haruslah berjalan dua arah.
tak peduli suatu agama mayoritas atau minoritas di suatu daerah,
jika bisa sama-sama saling menghargai, kukira itu cukup.
Namun sayangnya negara kita krisis akan hal ini.
Jadi ingat tulisan,
“Tidak ada yang benar yang ada hanya saling membenarkan, tidak ada yang salah yang ada hanya saling menyalahkan”.
Apa itu juga berlaku untuk aksi damai kemarin? dan untuk opini ditulisan ini?
iya, selama kita masih berada di bawah matahari, tidak ada yang benar mutlak dan salah mutlak
hanya membenarkan, dan menyalahkan
Adem kali bacanya mas Yofangga..
saya pernah tinggal di Papua sebagai minoritas, dan paham betul bahwa adakalanya mengalah itu perlu, bukan karena kita salah atau benar, tapi agar kita bisa tetap berjalan bersama berdampingan menjalani hidup.
waaah, ada mbak endah 🙂
selamat datang lagi mbak, hehe *salimdulu
benar, sepakat mbak
ada kalanya mengalah untuk hasil yang lebih baik
lagian juga ngalah tidak selalu berarti kalah khan?
Jiahh.. pake salim..
*langsung berasa tua*
Gara-gara paragraf pertama, jadi pengin melakukan perjalanan lagi… *balada habis buka leptop sepupu dan nemu folder HERITAGE TUBAN dan aku gak pernah nemu semua bangunan yang ada di dalam folder, padahal lokasinya di Tuban kota!*
Btw, aku bau tahu kalau Kwan Sing Bio itu sebenarnya vihara #KemanaAjaaaaaa
mbak dian orang tuban bukan sih?
Gara2 dek Angga Yofangga, jadi mempertanyakan status ke-Tuban-an-ku nih Tsany 🙇
bukan, ini bukan salahku kakanda..
Mbak Dian itu Tuban kawe, kamu Lamongan coret 😀
Aku sebenernya nggak kaget sih mbak
udah nyangka mbak dian ga pernah peduli sama orang dan lingkungan sekitar
hweehehe 😀
aku juga baru tahu sih mbak, ya gara-gara baca tulisan ini 😛
katanya, deket klenteng kwan sing bio ini ada makanan enak lho.
kayaknya ada yang mau nraktir makan nih, hehehe
kapan?
Saya baru tahu lho kalau terminologi kelenteng itu maksudnya seperti itu. Termasuk bagaimana sejarah terbentuknya, dan mengapa sampai ada itu di Indonesia. Saya justru tertarik ingin mengetahui detailnya: seperti apa rumah ibadah khusus Konfusianisme, Taoisme, selain Buddha yang sedikit banyak saya pernah lihat sebelumnya.
Terimakasih sudah berbagi ilmunya mas 🙂
Saya juga sempat nanya-nanya ke temen Tionghoa lain soal ini, tapi beberapa bahkan ada yang belum tahu
sejarah ini terputus di orang tua mereka, mas
jadi narasumbernya ya harus naik lagi ke atas
Senang dengan komennya
Terima kasih sudah berkunjung mas 🙂
Sepaham. Buat saya, persamaan urusan agama dan urusan ranjang adalah keduanya masuk dalam ranah yang sangat pribadi. Terima kasih untuk alm Gus Dur yang sudah mencoba untuk membukakan mata manusia-manusia Indonesia biar mau melihat perbedaan.
Saya kesal dengan energi bangsa yang terbuang karena urusan ini. Mudah tersulut, sulit memaafkan. Ada norma agama yang diyakini, tapi ada norma hukum yang dilupakan. Semoga tidak ada ibu melahirkan atau pasien serangan jantung yang harus memutar rute karena ada penutupan jalan 4 November lalu.
aaah, terima kasih mas
“Semoga tidak ada ibu melahirkan atau pasien serangan jantung yang harus memutar rute karena ada penutupan jalan 4 November lalu.”
aku luput soal sudut pandang itu,
benar sekali, ada banyak sudut pandang lain yang kudunya diperhatikan saat membahas demo kemarin
sayangnya negara kita masih berputar-putar di isu agama
*sad