“Kasihan, umur bapak sudah enam puluh Bang,” ujar Eno. “Padahal sudah dilarang kerja, tapi bapak ga betah di rumah kalau ga ada kegiatan,” sambungnya lagi. Eno dan bapaknya adalah kernet truk barang yang kutumpangi semalam. Hari ini, selepas mengelilingi Temajuk, aku bersua kembali dengan mereka dan ditawari untuk ikut serta pulang ke Sambas. Demikian ceritanya mengapa kini aku sekali lagi terhoyak-hoyak dalam truk berwarna kuning ringan ini.

Berbeda dengan kemarin, hari ini tidak ada beras, tidak pula ada pupuk, minyak tanah, ban mobil, ataupun kipas angin. Gantinya, bertumpuk kayu-kayu gelondongan hendak dijual ke kota. Begitulah, saat akan ke Temajuk, Eno dan bapaknya membawa barang-barang pesanan berupa kebutuhan hidup. Jika kembali, mereka membawa hasil bumi yang rasa-rasanya kini makin sulit ditemui di perkotaan.
Selama berjalan, beberapa kali truk berhenti untuk mengangkut kayu titipan dari penduduk demi dijual atau dibawakan ke bengkel penggergajian. Tengah hari, bapak beranak itu masih saja menaikkan batang kayu sebesar lengan di bawah denyar matahari, tak tampak lelah barang sedikit. Tolong jangan tanyakan kondisiku, sebentar saja membantu, peluh sudah banjir membasahi baju. Pekerjaan macam apa ini, racauku memaki diri sendiri yang tampak begitu lemah. Jauh benar jika disandingkan dengan bapaknya temanku itu, keriput memang sudah hinggap di hampir seluruh mukanya, tapi stamina lelaki itu prima tak kira-kira.

“Ya, beginilah Bang, kerja kita orang kampung. Sebenarnya tidak berat Bang, hanya menaikkan dan menurunkan barang dagangan,” Eno berseloroh. Tidak berat? tidak berat dari mana?

Sambil tetap menaikkan kayu, pemuda yang tahun ini berusia dua puluh lima itu mengaku pernah bolak-balik menjadi pekerja ilegal di Serawak. Sebelumnya ia juga pernah mengadu nasib ke Kuala Lumpur sebagai buruh pabrik. Tapi rupanya kerinduan pada kampung halaman lebih kuat, ia memilih berhenti. Eno kembali ke Sambas dan membantu bapaknya menjadi kernet. Ia bagai mengaminkan frasa ‘lebih baik hujan batu di negeri sendiri ketimbang hujan emas di negeri orang’.
Aku takjub mendengar kisah hidupnya, saat umur segitu aku masih harus bergelut dengan kuliah dan kertas ujian, ia sudah berkelindan di jalanan. Kini setahun sudah Eno menjadi kernet truk barang Sambas-Temajuk. Ia mendapat lima ratus ribu rupiah sekali jalan, jika dikali dengan lima belas kali bolak-balik, itu artinya dalam sebulan ia bisa menyimpan uang sebesar tujuh juta lima ratus ribu rupiah. Detik itu juga aku langsung mengasihani diri sendiri. Pendapatannya jauh lebih besar dari gaji yang kuterima setiap bulannya. Hujan batu kata siapa?

Setelah penuh dengan ragam kayu balau dan karet, truk kembali melaju dengan kecepatan rendah dan penuh kehati-hatian melewati beberapa kubangan. Jika gegabah, banyak celah yang bisa menyebabkan petaka. Salah satunya di satu titik yang medannya sulit berlebih-lebih. Waktu itu tak ada tanah keras untuk dipijak. Jalan penuh tanah liat akhirnya diterjang begitu saja, ban truk bagian belakang kami kandas.
Sang sopir berusaha mengocok kopling sambil terus memainkan gas. Mesin menderu, tapi ban berputar-putar saja pada tempatnya, urung berjalan. Truk akhirnya lolos setelah dipaksa beberapa kali. Usaha yang nyatanya tak bertahan lama, sebab hanya beberapa ratus meter saja, asap putih sudah menyembul keluar dari knalpot. Truk bergetar sebentar sebelum akhirnya mati total. Mesin truk tewas tanpa aba-aba.

Terpaksa aku dan Eno turun dari bak belakang, ini sudah biasa dialami oleh orang yang sehari-hari bepergian menggunakan truk, jelasnya. Jangan sekali-sekali mengaku orang jalanan, bila tak mahir memperbaiki tunggangan yang rusak. Truk ini sudah ibarat kaki sendiri bagi sang sopir, ia tahu ke mana harus menuju setelah mengeluarkan perkakas dari bawah jok depan.
Sementara sang sopir sibuk memperbaiki mesin, aku dan Eno menunggu. “Lihat ke sana Bang,” ucapnya sambil menunjuk ke sebuah titik di kejauhan. Ujung dari telunjuknya adalah tanah lapang yang ditumbuhi oleh ilalang dan bunga Geranium. Tanjung Bendera namanya, terletak 40km di sebelah utara Paloh. Sepintas lalu, Tanjung Bendera memang tampak sepi-sepi saja, barangkali hanya terlihat sebagai pesisir tenang tanpa suatu apa yang menarik. Tapi jangan salah, padang ilalang itu justru merupakan salah satu saksi kelam dan berdarahnya sejarah Indonesia.

Jauh menengok ke belakang, Tanjung Bendera di masa silam konon merupakan tempat pelarian Pasukan Gerilya Rakyat Serawak (PGRS), sebuah gerakan perlawanan yang tidak setuju dengan pembentukan Federasi Malaysia di bawah pengaruh Inggris. Para pemberontak yang berideologi komunis itu menyeberang jauh ke Indonesia sejak awal tahun 1982, dan terus menjadikan Temajuk sebagai tempat latihan rahasia bersama-sama dengan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (PARAKU).
Sebagaimana dikisahkan oleh buku Between Frontiers: Nation and Identity in Southeast Asian Borderland yang ditulis oleh Noboru Ishikawa, perlawanan PGRS berakhir pada tahun 1988. Setelah enam tahun bergerilya, sarang para kombatan itu berhasil ditumpas habis oleh tentara karena menolak untuk melucuti senjata. Sejak itulah daerah ini kemudian disebut dengan Temajuk, akronim dari ‘tempat masuknya jalur komunis’. Kini Tanjung Bendera beralih menjadi lokasi wisata, tak banyak yang tahu bahwa sekian jengkal di bawah tanahnya terdapat kuburan massal tiada bernisan.

Setengah jam saja diperbaiki, truk yang kutumpangi bernafas kembali. Melenggok di jalan seperti ini benar-benar mengkhawatirkan. Perjalanan ke kota Sambas yang harusnya bisa ditempuh dalam waktu tiga jam bila jalan mulus, di sini harus dikalikan dua. Tapi kemudian kusadari kondisi sekarang masih jauh lebih baik. Sebelum-sebelumnya jalan ini tak tertempuh sedikitpun. Bertahun lalu, orang harus menaiki perahu, melewati sungai, dan menyisiri pantai barat Kalimantan untuk bisa ke Temajuk.
“Berhenti,” tiba-tiba terdengar seruan dari arah belakang, diikuti oleh raungan klakson berkali-kali. Saat menolehkan kepala, kulihat seorang tentara tengah melaju dengan tangan kiri melambai ke awang-awang, tanda untuk menepi. Aku mulai gugup, tentu saja aku mesti gugup, apa lagi ini? Sebaliknya, Eno diam saja, sekilas kudengar celetukan pendek, “Paling juga minta uang.”

Setelah truk berhenti, pak tentara lekas mendekat ke pintu sopir. Masih dari atas motornya, ia menunjuk-nunjuk bagian belakang truk, lalu tanpa diminta langsung merepet soal larangan membawa kayu dari kawasan Temajuk. Bahwa hutan-hutan di sini dilindungi, dan bahwa apa yang sedang kami lakukan adalah tindakan melanggar hukum. Setelah selesai mengumbar dakwaan, truk kami dimintanya putar arah dan melapor ke pos jaga, isi truk hendak disita.

Jangan kira sang sopir takut tentara, sama sekali tidak. Ia yang tak mempan diancam itu menggeleng, meskipun dengan hati-hati juga ia menerangkan bahwa kayu yang sedang dibawa adalah barang titipan, sebuah amanah. Jika ingin mencari perkara, maka carilah pada si pemilik kayu, bukan dia yang hanya berlaku sebagai kurir. Lagipula kayu ini ditebang dari kebun sendiri, bukan dari hutan yang sebelumnya dituduhkan. Jelas ini adalah sebuah tudingan yang mengada-ada.
Perdebatan lalu terjadi. Tekad si tentara untuk menggiring kita ke pos jaga benar-benar bulat, tiada sumbing sedikit pun. Di lain pihak, penolakan sang sopir juga tak kalah bulat, tak dapat ditawar-tawar. Aku yang masih duduk di belakang truk, tetap menunggu sambil mendengar perseteruan mereka, sampai kemudian kata-kata itu meluncur, kata-kata dengan nada diplomatis yang mengajak untuk melakukan persekutuan, “Sudah, bayar saja kalau mau damai.”

Sang sopir memang teguh pendirian, ia tegas berkata tidak, dan sikap itulah yang membuat dua orang tua itu kembali adu mulut. Mungkin tak akan jadi soal jika yang tengah berdiri di depanku itu adalah komplotan garong atau bandit. Masalahnya adalah seragam loreng-loreng itu, ia yang seharusnya menjaga justru membuat perkara. Sukar memang membedakan mana kawan dan mana lawan.

Sepuluh menit, ketika menyadari bahwa mangsanya sulit untuk ditipu, pak tentara akhirnya mengalah. Ia berhenti sejenak, memberikan jeda, lalu kemudian melengos pergi dengan muka ketus. Motor digasnya kencang-kencang, meninggalkan asap dan debu di jalanan. Aku menatap kepergiannya dengan senyum, menggelikan. Begini rupanya lelucon yang dialami rakyat kecil.

22 thoughts on “Kisah Penghabisan di Temajuk”

  1. Aparat tersebut melihat kamera bang Yof kah? Kalo melihat mungkin rubutnya perpanjang wkwkwk
    Sungguh ironi memang, aparat yang seharusnya menjaga keamanan justru bikin ribut. Hal yang banyak terjadi di tempat-tempat lainnya. Barangkali sudah lumrah kah?

  2. Itulah. Aku nggak pernah menyimpan respek kepada mereka-mereka yang mengaku menjadi penegak hukum dan pengayom masyaratak. Meski tak semuanya seperti itu.
    Sama saja.

    Aduh gajinya kok segitu. Di Jogja udah kaya raya itu. Haha

    1. hwahahaha, ya namanya oknum pasti ngeselin
      tapi ga semua tentara kaya gitu kok (sekali-sekali bijak) 😀
      iya eh, pendapatannya gila
      jadi pengen dapet gaji segitu 😀

  3. biasanya aparat negara di daerah daerah kayak gitu om, baik yang tentara atau sama polisinya. Cerita lama, mungkin bisa dikatakan budaya buruk yang lama di pelihara.. 🙂

    1. waaaaahhh, harus ke sana bang, hehe
      kalau sampe temajuk jalannya udah bisa dilewati kok
      cuma ya pake kendaraan sendiri
      kendaraan umum belum ada soalnya

Leave a Reply