Sungguh aku malu tiap kali ditanya “Sudah kemana saja kalau di Padang.”
Kepalaku pasti akan langsung menunduk sembari berucap “Tidak kemana-mana.”

Jujur kukatakan padamu bahwa aku memang belum pernah bepergian di kampung halaman. Dibesarkan dalam ritme hidup super sibuk membuatku tak sempat melihat-lihat pekarangan rumah sendiri. Pagi sampai siang dihabiskan di sekolah, siang sampai sore pelajaran tambahan. Berulang dari Senin sampai Sabtu. Hari minggu khusus untuk ekstra kurikuler, seharian tanpa jeda. Maghrib sudah harus dirumah, berani melawan maka tidur di teras adalah perkara nyata. Selesai makan malam harus belajar sampai pukul sembilan. Setelah itu tidur, tidak boleh tidak, tak ada tawar menawar.

Waktu seakan terus berlari, dua puluh empat jam sehari tak bisa berdamai dengan aktivitasku yang padat merayap. Jadilah lemariku dipenuhi oleh buku berbagai macam bahasan. Teman terbaik menjelma menjadi sekelompok tanda baca, lewat deretan titik-koma aku mulai bersuap kata-kata. Segerombolan bait dan larik inilah yang telah menghantarkanku ke gerbang pengetahuan. Lantas kenapa harus keluar jika semua hal yang ingin kuketahui bisa didapat dari berlembar-lembar tulisan? Aku tak merasa harus pergi kesana-kemari dan melelahkan diri.

Adalah salah satu almarhum dosenku yang telah menampar otakku dengan sangat keras. Memang buku adalah jendela, darinya kamu bisa mengintip dunia, memperhatikan tingkah laku manusia, mempelajari semesta. Namun bergantung hanya pada buku akan membuatmu terkurung dalam ruang paranoia. Kenapa tidak keluar dan rasakan langsung berbagai macam pengalaman dengan indera sendiri? Bepergian dan tulislah bukumu sendiri.

Sejak saat itu aku mulai sering berjalan-jalan, melakukan perjumpaan dengan kehidupan nyata dan menuliskannya dalam sepenggalan cerita. Tak terkecuali hari ini, ketika memiliki sekerat waktu saat libur lebaran, kumanfaatkan untuk menyambangi beberapa tempat. Perjalanan dimulai tepat dari rumahku di Padang. Sebuah kota yang menjadi jantung dan mendenyutkan nadi kehidupan keseluruh pelosok provinsi Sumatera Barat. Jembatan Akar siap jadi destinasi. Dua jam perjalanan, tak terlalu jauh.
jembatanMotor kuhidupkan dan mulai bergerak dengan kecepatan sedang ke arah selatan. Disana-sini terlihat wajah-wajah gedung yang berlomba tampil menarik. Skyline antar satu bangunan dengan bangunan lain tumpang tindih. Mataku dipaksa tengadah mengikuti deret vertikal kaca jendela dan horizontal garis-garis kabel listrik. Aspal jalanan menguapkan bingkisan debu dan sepaket panas. Hingar-bingar klakson kendaraan dan sumpah serapah pelintas jalan akrab terdengar. Begitulah kiranya detail geometri dan musikalisasi kota.

Tak heran dosenku selalu menekankan para mahasiswanya untuk terus belajar diluar dan merasakan langsung atmosfer kehidupan. Arsitektur bukan hanya tentang desain kasat mata yang terbangun. Dia ikut bertanggung jawab pada nafas penghuni yang hidup di dalamnya. Bagaimana bisa kita merancang jika sepanjang hari masih saja duduk dan terjebak di depan software? Jika masih saja hidup di ruang kantor dalam gedung bertingkat banyak?

Memasuki kawasan sub-urban, siluet kota berubah dari sesak gedung bersolek menjadi rumah permukiman yang berserak jarang-jarang. Ruas jalan semakin lengang oleh kendaraan. Pekik klakson berganti jadi nyanyian alam, mulai dari deru angin sampai gemericik air sungai. Tak ada tiang lampu yang berderet rapi, silau gemilau diganti oleh matahari rendah yang bergantung tepat di sebelah kiri sudut mata. Ritme hidup memelan, disini semua berjalan begitu lambat. Tidak perlu tergesa gesa. Detik tak pernah bergerak mendahului kecepatan takdirnya. Jangan berlari, karena sungguh tak ada yang perlu dikejar, waktu tidak sedang menuju jalan pulang.
sawahDalam rentang perjalanan, tak henti lusinan sawah menyapa. Terlihat buliran padi masih enggan menguning, membuat hijau mata kemanapun memandang, dibelakangnya berjejer rapi punggung gunung yang hendak menjura langit. Diatasnya kawanan awan berarak pelan, memberikan sedikit corak putih pada birunya lazuardi. Aku menatap nanar kesegala penjuru. Inilah ekspresi alam sebenarnya, raut muka yang telah disulap menjadi beton, besi, dan kaca.
jembatan akarSesampainya di kawasan Jembatan Akar aku memarkir motor dan mulai berjalan kaki. Dari kejauhan terlihat sudah jalinan akar merentang diatas sungai Batang Bayang. “Inilah arsitektur yang sebenar-benarnya.” Aku bergumam dalam hati. Dibutuhkan dua puluh enam tahun untuk merajut sang akar pohon ara untuk bisa seperti ini. Adalah Pakih Sokan nama perancangnya. Mahakarya ini dibangun pada tahun 1890 dan mulai digunakan tahun 1916. Seratus tahun sudah kokoh berdiri. Semakin tahun, semakin erat konstruksinya kuat mengikat.
jambatan akaBagi mereka yang saling mencinta, bolehlah mandi dijernih sungai Batang Bayang yang mengalir malu-malu. Kabarnya, jika pasangan manusia mandi disini, maka Tuhan akan memintal benang takdir mereka dalam gulungan yang sama. Mengeratkan bagai rangkulan akar dua pohon yang terpisah berjauhan. Aku tak ambil pusing dengan mitos ini, begitupun dengan dua orang anak kecil yang terlihat riang berenang memakai ban dalam. Tawa-tawa mereka membuncah, senyumku pun ikut pecah.
anak anakMemanglah benar adanya bahwa negeri ini tidak kaya, masih banyak rumah di pelosok nusantara yang beratap jerami pun alas tanah. Bahkan mungkin teknologi dengan segala kemewahannya enggan hinggap dalam mimpi mereka. Namun disini, lewat gema girang yang dilayangkan ke udara, secara tidak langsung telah mengajarkanku bahwa kebahagiaan ternyata berwajah sangat sederhana. Kekayaan hakiki tidak terletak pada timbunan harta, namun pada rasa penuh syukur. Dan oleh itu, mereka, para bocah kecil ini adalah manusia-manusia terkaya di dunia.

Sungguh tempat yang kita tuju hanyalah separuh dari cerita, separuhnya lagi adalah orang-orang yang kita temui sepanjang perjalanan. Kali ini sebuah perjalanan lain telah menjelma jadi seorang guru, dia mengajarkanku  pentingnya menanam arif dan memanen bijaksana. Yang perlu kita lakukan sebenarnya hanyalah melihat lebih dekat, melihat lebih dalam.

10 thoughts on “Jembatan Akar dan Sebuah Perjalanan Kontemplatif”

    1. haha, kapan sih aku pernah cerita lengkap? 😛
      jembatan ini dulunya dibangun ya untuk menghubungkan dua desa yang dipisah sungai
      seratus tahun lalu kita mah masih belum aware sama wisata
      om chris? enggak, gak barengan kok
      malah gak kenal 😀

Leave a Reply