Pagi buta, sebuah bus yang sudah terlambat setengah jam tampak bergegas memasuki terminal. Bukan sungguh-sungguh terminal dalam arti sebenarnya, melainkan hanya seruas jalan di mana bus dapat berhenti dan mengeluarkan penumpang. “Pemberhentian terakhir,” teriak kondektur sambil kemudian membukakan pintu samping. Laung singkat itu ibarat lonceng yang membuat semua orang tiba-tiba sibuk mengemasi barang. Aku yang duduk persis di belakang sopir dan tidak punya banyak bawaan, memiliki kesempatan turun lebih dulu.

Setelah melewati perjalanan sembilan setengah jam dari Makassar, sampai juga kakiku di Rantepao, ibukota Toraja Utara. Untuk mengefektifkan waktu liburan, aku memang sengaja memilih berangkat menggunakan bus malam, tentu dengan konsekuensi tidak ada satupun pemandangan yang bisa dilihat. Namun keputusan itu tidaklah terlalu buruk, bus yang kutumpangi nyaman betul, tidurku tadi malam pulas sekali. Sepagi ini badanku sudah segar bugar, mataku pun nyalang terang benderang.
Sebaliknya, langit Rantepao tampak sembab, gerimis pelan-pelan rebas menghantam aspal. Airnya menggenangi jalan, membasahi atap rumah, memaksa anak-anak yang hendak berangkat sekolah untuk menempuhnya dengan berlari. Di kejauhan, sebuah salib raksasa dan tulisan Toraja Utara tegak berdiri di atas Bukit Singki’, tak terganggu siapapun, tidak oleh rinai yang jatuh. Pagi itu, awan berwarna santan itu, hujan itu, salib itu, dan tulisan itu telah membuat perjumpaanku dengan Rantepao, menjadi sedikit lebih manis.

Secara administratif, Toraja dibelah menjadi dua. Tana Toraja, yang merupakan kabupaten awal, terletak di sebelah selatan dengan Makale sebagai ibukota. Dan Toraja Utara, yang mekar kemudian, menetapkan Rantepao sebagai pusat pemerintahan. Garis batas pemisahnya sampai saat ini masih dipeributkan. Meski secara budaya dan adat istiadat kedua daerah bisa disebut satu rumpun, tapi alasan tersebut tampaknya belum cukup kuat untuk membuat mereka tidak bertengkar.

Konon, menurut bahasa Bugis Sidendereng, Toraja berasal dari kata ‘To Riaja’ yang berarti ‘rakyat yang berdiam di negeri atas’. Dikisahkan mereka bermukim di balik bukit dan gunung-gemunung. Suasana dekat dengan langit itulah yang mau tidak mau menghantamku dengan sekarung besar nostalgia, membuatku ingat pada Bukittinggi, kampung halaman sendiri. Jika bukan karena berjejernya rumah Tongkonan, jika bukan karena berseraknya bahasa-bahasa yang tak kumengerti, mungkin aku akan lupa tengah berada di pangkuan Sulawesi Selatan.
Hujan masih jatuh, kularikan diri lekas-lekas mencari peneduhan sebelum badan kuyup benar. Sampai di sana, aku menghubungi Kak Olive, seorang kawan yang kebetulan berumah di Rantepao. Sebenarnya, Kak Olive sudah kukenal sejak tahun 2013, tapi belum pernah bertemu barang sedetikpun. Batas komunikasi hami hanya sejauh tegur sapa lewat grup menulis dan sesekali berbalas komentar di halaman blog masing-masing. Kurasa kini adalah kesempatan yang baik untuk benar-benar mengenalnya lebih dekat.

Sebentar saja menunggu, Kak Olive membalas pesanku. Ia mengabarkan bahwa rumahnya terletak persis di sudut lapangan Bakti, yang berarti hanya sepelemparan batu dari tempatku berada sekarang. Kuarahkan kaki ke simpang tempat bertemunya jalan Mangadil dan jalan Pembangunan tersebut, kali ini dengan melangkah, bukan berlari seperti sebelumnya. Kak Olive sudah menunggu di depan rumah, langsung kujabat erat tangannya, ia membalas, lebih erat lagi. Meski ini pertemuan pertama, tapi kami sudah seperti kawan usang yang tidak mengenal kata asing.

Pukul delapan, belum banyak terlihat aktivitas di Rantepao. Lebih-lebih pada pagi yang gerimis dan dingin ini, orang-orang merasa berhak untuk sedikit bermalas-malasan. Setelah mencuci muka dan beristirahat sejenak, aku mengajak Kak Olive untuk mencari sarapan dan tentu saja, segelas kopi. Pilihan jatuh pada Warung Pong Buri’.
“Kamu ga makan babi khan?” Tanya Kak Olive seolah ingin memastikan bahwa apa yang kupesan nantinya tidak bertentangan dengan ajaran yang kuanut. Di Toraja, mayoritas penduduknya beragama Nasrani, tapi itu bukan alasan untuk sulit menemukan makanan halal. Ada banyak sekali pilihan makanan yang bisa ditemukan di Rantepao.

“Tenang Kak, aku makan apa saja.” Jawabku sigap sambil tersenyum. Aku memang memakan apa saja. Benar-benar apa saja kecuali ikan, apalagi yang hidup di air tawar. Bukan karena rasa, lebih karena tidak mau repot saat memisahkan tulang dari daging. Hidup itu sudah berat, dan aku tak ingin membuatnya lebih berat lagi dengan berjuang memilah-milah tulang saat menyantap makanan. Terpujilah penemu sarden, surga buatmu kelak.

“Sayang sekali, babinya belum siap, kita makan belut saja.” Balas Kak olive akhirnya setelah menanyakan menu pada ibu penjual.
Jadilah kami menyantap belut yang direbus dengan kuah hitam serupa rawon. Selama makan, Kak Olive menggilir banyak cerita, salah satunya tentang pasar Bolu. Di pasar Bolu, orang berjual beli kerbau dan babi secara tunai. Uang belasan hingga puluhan juta disimpan begitu saja di balik kain sebelum berpindah-pindah tangan antara si pembeli dan penjual. Sungguh aku ingin ke sana dan melihatnya secara langsung. Apalagi kedatanganku, katanya, bertepatan dengan hari pasar yang jatuh sekali dalam enam hari. Namun kini sepertinya bukan kesempatan yang tepat. Selalu ada waktu yang baik untuk sesuatu yang baik. Ada masa di mana aku akan kembali lagi, nanti.

Seusai makan, hujan masih belum reda, juga tidak menunjukkan tanda-tanda hendak teduh. Kak Olive kemudian mengajakku ke kedai kopi milik temannya, tak jauh dari Warung Pong Buri’. Jak Koffie nama kedai tersebut. Dindingnya berupa bata telanjang yang digantungi banyak bingkai foto. Jalur lampu pun dibuat dari pipa-pipa besi olahan, desainernya tentu memiliki selera berarsitektur yang bagus. Baru saja membuka daun pintu, pekat aroma kopi langsung tercium, diikuti oleh seorang pemuda yang gegas menyongsong lalu menyapa ramah. Belakangan kuketahui wangi kopi tadi adalah Toraja Sapan dan pemuda berperawakan rigai itu bernama Micha Rainer Pali, sang pemilik kedai.
Menu kopinya bermacam-macam, tapi kuputuskan untuk memesan Tubruk Nusantara. Micha mengangguk dan mulai menyeduh. Sebentar saja rasanya, tidak sampai sepuluh menit ia selesai dengan tugasnya. Micha kemudian menyodorkan kopi yang kupesan, gelas itu sedikit bergetar ketika diletakkan di atas meja. Terdengar kursi kayu digeser, ia lalu duduk menentangku, berhadap-hadapan. Kebiasaan barista itu memang kerap menemani tamunya bercakap-cakap.

Sebelum membuka Jak Koffie, Micha pernah bekerja sebagai fotografer sebuah media di ibukota. Baru pada medio 2016 ia kembali ke kampung halaman dan memutuskan untuk menjadi barista. Kisah hidupnya membuatku iri sampai titik paling zenit. Sejak dulu aku ingin sekali menjadi fotografer, juga bercita-cita memiliki sebuah kedai kopi, persis seperti dirinya. Barangkali perbedaannya adalah aku menyerah, dan ia tidak. Micha seketika menjelma sosok yang membuatku menyesal karena tidak pernah berani mencoba melakukan apa yang dulu pernah kupercaya.

Tentu, seperti perjuangan lain, banyak hal yang Micha korbankan. Dengan membuka kedai kopi di Rantepao, ia merelakan kehidupan Jakarta. Ia menjadi anomali ketika dibandingkan dengan beberapa temannya yang lebih memilih untuk tetap berada di jalur nyaman. Namun alih-alih menyesal pada apa yang saat ini dijalani, satu hal yang kutahu, pemuda itu berbahagia.
Selain menyenangkan, kuakui alangkah rancak lidah Micha menyusun cerita. Diuraikannya padaku tempat-tempat mana saja yang harus dilihat di Toraja dan mana yang sebaiknya direlakan untuk dikunjungi lain kali. Bakda cerita yang satu usai, disambungnya dengan cerita lain lagi. Beralih-alih antara tempat pelesir, kebun kopi, makam tetua, sampai pada penjajahan Belanda. Bukankah memang demikian tabiat kedai kopi, menjadi tempat bertukarnya pengetahuan. Sejak zaman dulu orang-orang telah membahas semesta, membicarakan sejarah, bahkan mengutuk politisi, di kedai kopi.

Gelas ini tidak boleh dicuci dengan sabun, katanya tiba-tiba saat topik pembicaraan sudah kembali ke kopi lagi. Aku tak paham sebabnya, tapi mengangguk-angguk saja. Mungkin jika dicuci, akan ada perubahan aroma pada kopi yang diseduh nanti. Pengetahuan Micha tentang kopi benar-benar masak di kepalannya, ia mengerti betul bagaimana cara memperlakukan Arabika maupun Robusta, dan bagaimana sebaiknya mereka disesap. Dari Micha pula kuketahui bahwa kopi di Toraja telah dipaksa tumbuh sejak zaman kolonial. Dengan cepat, karena faktor cuaca dan tanah yang tak alang kepalang subur, Toraja menjadi salah satu daerah penghasil biji kopi terbaik di Indonesia, bahkan hingga hari ini.
Jam dinding menunjukkan pukul sepuluh. Kuletakkan cangkir yang sudah tandas. Hujan mengecil, aktivitas tiba-tiba hidup. Orang-orang keluar, pemilik warung membuka gerai, sebagian sudah menyemut di jalanan. Pukul sebelas hujan benar-benar berhenti. Wajah langit kembali merona biru laut. Aku harus kembali melanjutkan perjalanan. Pada Kak Olive, pada Micha, dan pada Rantepao yang telah mengenalkanku pada orang-orang menyenangkan, terima kasih.

55 thoughts on “Berkenalan dengan Rantepao”

  1. Ini sama banget. Pemakan segala (asal nggak ada kacang bulat dan bawang gorengnya) dan paling malas ribet misahin daging ikan sama tulangnya jadi kalau makan ikan, aku minta pembantu misahin dagingnya dulu. Hahaha.

    Sungguh anak ibukota yang manja.

    Sudah lama pengen ke Toraja tapi kok ya belum jalan-jalan sampai sekarang. Baca ini jadi ingat keinginan yang belum terlaksana. 😅

    1. Toss Kak Bulan, hehe, kita mah Omnivora 😀
      Itu ga suka makan ikan juga dulu gegara sempat ketulangan dua kali
      tulang ikan kemakan trus nyangkut di kerongkongan, rasanya ga enak banget. Sakit 🙁
      sekarang kapok makan ikan, hehehe

      Jangan kak, jangan ke sana
      Toraja itu ngangenin, kalo udah kesana bikin pengen balik lagi 😛

  2. Di dunia blogging, Kak Olive itu identik dengan kuburan dan Toraja. Dan Toraja identik dengan Kak Olive. . . waktu saya ke Toraja Kak Olive masih di Jakarta. Kalau nggak kan bisa diajak makan belut di warung dan menyesap kopi Toraja sambil mendengarkan kisah-kisah dari sang barista.

    Tulisannya enak banget dibaca Mas. Penuh nuansa sastrawi. Keren sekali

    1. Makasih mbak Evi 🙂
      iya nih, kebetulan waktu aku ke sana, Kak Olive juga lagi pulang kampung
      jadi pas ketemuan gitu
      sekarang sih Kak Olive udah balik Jakarta lagi kayaknya

  3. Ya Tuhan. Itu foto babi kecap? *ngiler parah, ga sopan fotonya close up banget*.

    Ini tulisan perjalanan kapan, Bang? Baru dapet info kemarin, akhir Juni ini ada upacara pemakaman salah satu toko adat di Toraja (pastinya Rambu Solo akan berlinang banyak darah kerbau). Sayang euy saya ga bisa ke sana. Agak kecewa karena infonya baru saya terima.

    P.S. Coba mampir ke rumah makan Sunda. Mereka punya pepes ikan mas. Super menggoda. Tulangnya bisa dimakan. Haha.

    1. Hwahahahaha, ngiler khaaan?
      enak banget pasti, sayang waktu itu belum kelar dimasak, jadi ga sempat nyobain 🙁

      Ini perjalanan akhir April bang
      waktu itu selisih hari sama Rambu Solo, aku ke sana, Rambu Solonya udah habis
      Katanya Agustus ada acara lagi, tapi bukan Rambu solo, semacam ganti baju mayat gitu

      Waaah, yakin tulangnya bisa dimakan? presto gitu kah?

      1. Wah. Tanggal berapa itu upacara ganti baju, Bang? Ada info?

        Hahaha iya itu secara teknis sih presto. Ikannya dilumuri bumbu terus dibungkus daun. Bukan pake daun bungkus. Bebas waswas tulang ikan 😁

  4. waktu pertama kali denger rantepao kirain adanya di NTT.. ternyata di Sulsel yak.. hehehe..
    iya saya juga pengen tau tuh kalo ga pake sabun trus pake apa nyucinya.. hehehe…

    1. Iya mas, jauh ke utaranya Makassar, sekitar sembilan sampai sepuluh jam naik bus.
      hhhmm.. soal yang cuci gelas itu, cuma dibilas pake air kok 🙂

  5. Njiiir, seriusan lo makan apa aja? Hahaha gw bacanya agak shock. Klo beneran makan babik juga, lo mustinya request kak Olive buat makan babik yang dijual di warung tengah sawah. Duh, gw lupa nama warungnya. Konon rasanya paling endess seToraja.

  6. Gak makan ikan teri juga, Bang?

    Jadi baru jam 10 yah kota itu baru “hidup”, santainya. Pasti itu salah satu alasan Micha betah, gak terburu-buru seperti ibu kota.

    .: efi :.

    1. Kalo teri sih masih makan, hehehe
      khan tulangnya bisa dimakan 😀

      hhhmm.. kebetulan waktu itu emang lagi hujan,
      jadi wajar kalo jam 10 baru ‘hidup’
      Tapi apapun itu, kehidupan Rantepao memang tak tergesa-gesa 🙂

  7. Aku punya beberapa kawan yang sepertimu, bang. Dia muslim, namun ketika dihadapkan pada kondisi di mana makanan halal susah ditemui, ia tak mau merepotkan diri. Karena menurutnya, agama itu harus solutif, membantu umatnya untuk hidup.

    Banyak belajar diksi lagi dari tulisanmu 🙂

    1. haha, abang nyabuik baluik lado hijau, wak jadi taragak kampuang 😀
      nah, seharusnyo emang bantuak itu bang
      baliak ka kampuang, mambangkik batang tarandam

  8. Tapi makan pempek suka kan? soalnya pernah ada orang kontakku di sosmed minta diajakin jalan, begitu ketemu aku susah banget nyari tempat makan. Di Palembang serba ikan, dan dia gak bisa (atau sama seperti dikau mas, gak suka) makan ikan.

    Setelah akan pulang aku tanya, apakah ada alergi, dia cakap, “nggak ada, aku hanya trauma pernah ketulangan.”

    Andai ada kasur, mesti aku udah pose kejengkang saat itu. Huaaa pempek mah gak ada tulang ikannyaaaaaa *nangis

    Eh btw, di Palembang bisalah makan beberapa hidangan ikan. Di sini ikannya gede-gede, jadi tulangnya udah dibuang hehehe

    1. Hwahahaha, kalau mpek-mpek bisa dong om, khan ga ada tulangnya 😀
      nah, persis sama kaya gitu, aku uga pernah ketulangan, 2 kali, bayangin om, dua kali
      sekarang sih kalo tulangnya dipisahin, aku masih mau makan kok ikannya

      jadi, kapan aku ditraktir mpek-mpek om?

  9. Rinai dan bakda itu apa kak yof, kosakata baru nih buatku. Sekali lagi, cerita perjalananmu menarik banget kak yof, cara bertuturmu seru. “masak di kepalannya”. Tentu perjalananmu ini seru sekali apalagi ditemenin sama kk olip yak. Trip perdanaku ke tana toraja juga sudah ada diblog, nanti mampir2 yaaa.. eh hahaha

    1. Rinai itu gerimis, bakda itu setelah kak Bob
      ehehehe, iya nih, kebetulan kak Olive waktu itu pulang ke Rantepao, jadi bisa nemenin jalan-jalan
      trip perdanamu itu udah kubaca dari lama kok Kak, saking ga ninggalin komen aja 😀

  10. Toraja, ah aku selalu bermimpi bisa kesana suatu hari.
    Btw suka banget dengan jalur hidup yg dipilih kak Mischa. Bekerja sesuai dengan passion dan meninggalkan zona nyaman memang sangat menantang dan membahagiakan ya kak. Sama seperti dirimu, aku belum bisa seperti Mischa yang berani meninggalkan zona nyaman.

    1. Berangkat kaaak, jangan ditunda, hehe 😀
      hhmmm.. iya nih, butuh keberanian lebih untuk bisa kaya Micha
      kalo aku sih belum berani 🙁
      masih kejebak sama zona nyaman, ceileh

  11. aku juga teringat petualangan yang sama di toraja. konon kabarnya memang kak olive lah penunggu toraja, hingga setiap blogger hendaknya lapor pada beliau sehingga mendapatkan rekomendasi handal. #ehgimana

    1. hwahaha, Kak Olive harusnya pulang kampung
      buka jasa wisata dan tour guide daerah Toraja
      memajukan kampung sendiri, jadi pahlawan pariwisata
      eh, kita nggosipin apaan sih 😀

Leave a Reply