Hujan nampaknya belum lama berhenti ketika pagi pertama datang ke pulau Mbokita. Tanah basah dan bau petrikor masih menguar dari bumi yang lembab. Aku terbangun memandangi tingkap atap yang kuyup, sendi-sendiku beku. Semalam udara dingin masuk melalui celah papan dan daun pintu yang tak tertutup rapat, jadilah tidurku tiada lelap. Sebentar-sebentar terbangun sampai kemudian kuputuskan untuk menyulap seprei kasur menjadi selimut.

Seiring naiknya matahari, suasana pagi pelan-pelan menghangat. Dusun yang sunyi ketika malam sekarang berganti riuh. Di luar rumah, laki-laki dewasa sudah menyesaki warung-warung kopi, sementara ibu-ibu menenteng air payau pulang dari tandas komunal. Sesekali terdengar canda anak-anak berangkat sekolah. Hanya ada satu sekolah dasar di sini, usai mendapatkan kemampuan membaca, menulis, dan berhitung, yang masih ingin melanjutkan pendidikan harus berlayar jauh hingga ibukota kecamatan yang berjarak tujuh jam perjalanan. Bagi yang tidak, terjun ke laut, menjadi nelayan untuk menopang kehidupan keluarga.
Lebih dari separuh warga Mbokita menyandarkan nasib pada alam dengan menjadi nelayan. Laut adalah entitas yang tak terpisahkan dari kehidupan. Tak heran, selain nasi dan sayur, hampir seluruh menu makanan yang ada di sini adalah olahan laut. Jika tidak ikan, maka cumi, jika tidak cumi, maka ikan, begitu terus berganti-ganti. Mengotori laut berarti mengotori makanan serta hidup mereka.

Ada setidaknya 27 rumah yang dihuni oleh 40 kepala keluarga di Mbokita. Kesemuanya bergulat berebut tempat, yang tidak mendapat lahan, memancangkan balok kayu di lepas pantai, mendirikan hunian yang terapung di atas air. Apa lacur, pulau ini tidur memunggungi tebing karang, pula mengangkang ke laut lapang. Cuma sedikit tanah tersisa. Tak ada jalan, meskipun setapak, akses sirkulasi hanya berupa gang dari jembatan yang menyembul dari segara.
Di sudut dunia yang hening ini, pariwisata baru dirintis pada medio 2016 dan penduduknya tidak memiliki alasan untuk menolak. Selain memberi alternatif sumber pendapatan, turisme tentu turut berkontribusi pada konservasi sebab bisnis ini memang bergantung pada kelestarian ekosistem. Percuma memiliki laut, tapi tanpa karang, atau jika punya tapi rusak belaka.

Maka mekarlah hati warga ketika angin bernama wisata mulai berhembus dan mereka menyambut ‘aladin’ dengan perasaan berbunga-bunga. Aladin adalah akronim dari ‘atap, lantai, dan dinding’ – bantuan pembangunan yang digelontorkan oleh pemerintah untuk modal mendirikan ruang inap baru. Warga hanya perlu memikirkan pondasi dan bertanggung jawab dalam mengisi perabot, lain daripada itu tidak. Targetnya akan ada 30 resor baru di pulau Mbokita akhir tahun ini. Dengan demikian warga telah memendam harap begitu sangat, memimpikan kemakmuran yang saat ini masih belum mereka rasakan secara utuh.
Namun bukan kehidupan namanya jika tidak ada berita buruk. Meski dikepung lautan, Mbokita adalah satu dari sedikit tempat di mana orang-orang rela mengeluarkan uang demi mendapatkan air bersih. Air adalah perkara langka di sini. Aku harus membeli satu jeriken besar seharga lima belas ribu untuk sekadar membilas diri, dan bahkan jeriken sedang seharga sepuluh ribu hanya untuk berkemih atau berhajat. Begitu mahal sebab saban hari, seseorang harus bertaruh nyawa mengambil air ke pulau lain yang jaraknya satu jam perjalanan dengan perahu.

“Satu jam berangkat, satu jam mengambil air, dan satu jam lagi pulang, total ada tiga jam pulang pergi,” seloroh laki-laki yang sedang berdiri di hadapanku. Ia adalah pimpinan sekolah dasar yang kuceritakan sebelumnya. “Kalau misal tujuh jam belum pulang, berarti tenggelam.” Tawanya meledak mendengar lelucon sendiri, sudut matanya tertarik ke belakang. Kawan-kawanku yang kebetulan ada di sana ikut-ikutan tergelak.
Aku tersenyum, senyum pahit yang tertahan. Di tengah laut seperti itu, tak ada solusi bagi masalah kapal terbalik. Jika sudah demikian, maka pasrah adalah jalan satu-satunya, sambil tentu saja tetap menunggu datangnya bantuan. Kutemukan sedikit ironi dalam kata-katanya, mereka bagai menertawakan hidup serupa hendak mengamini frasa “when life gives you lemons, make lemonade.”

15 thoughts on “Ironi di Pulau Mbokita”

  1. aku pernah merasakan dalam posisi kesulitan air bersih. memang sangat menyedihkan. seharusnya ada solusi lain terkait pengadaan air bersih ini. ironi ketika air melimpah tapi tak bisa dipakai karena mengandung garam.

    1. Aku pun demikian, waktu kecil dulu masih sering numpang nimba air di sumur tetangga
      sudah nimba, numpang lagi 😀
      untung sekarang sumber air sudekat

  2. ketika kehidupan dikepung lautan dan air menjadi hal yang sangat mahal. ya Ampun untuk mendapatkan air twar harus seperti itu, diangkut melalui kapal. Dan dari blogmu aku mengenal pulai ini di negara sendiri. thanks

    1. masih banyak pulau-pulau lain di luar sana yang mengalami nasib serupa kak
      kemerdekaan kita masih belum merata
      tapi on progress kok 😀
      semua akan semakin baik pada waktunya

  3. Salam kenal, barangkali solusinya menyuling air laut hadi air tawar yang bersih dan higienis, namun mungkinkah itu? Atau terlalu mahal? Rasanya tak terbayangkan hidup tanpa air bersih. Semoga saja ada solusi terbaik.Bahasanya bagus. Puitis dan rapi. 🙂 Terima kasih sudah mengabarkan bahwa ada kehidupan di belahan lain yang memiliki keterbatasan air.

    1. salam kenal, solusi tersebut mungkin saja, saya pernah melihat teknologi tersebut sewaktu gempa Padang 2009 silam
      kota lumpuh, listrik mati, dan ketersediaan air bersih jadi langka, maka air laut disuling menjadi salah satu solusi
      tapi untuk kasus Mbokita, harus diperhitungkan dulu berapa biaya yang mesti dikeluarkan
      atau jangan-jangan malah lebih murah jika menggunakan pipa bawah air dari pulau terdekat

Leave a Reply