“Kalian harus paham dulu arti kata sejarah.” Menoleh kepalaku mendengar kalimat tersebut, yang mengucapkannya adalah seorang bapak berpakaian serba legam, dari atas ke bawah. Sekilas ia terlihat seperti dukun yang sedang menimba ilmu, belakangan baru kuketahui bahwa dia merupakan pemandu situs Gunung Padang. Di depannya berbaris mahasiswa yang sedang melakukan penelitian. Aku tertarik mencuri dengar obrolan mereka.

“Sejarah berasal dari kata sejajar dan terarah.” Dia berkata dengan keteguhan hati yang mantap, tanpa ada bimbang sedikitpun. Omong kosong macam apa lagi ini, aku mengernyitkan dahi sembari menahan serapah.

Setahuku, secara etimologi, kata sejarah berasal dari lema arab ‘sajaratun‘ yang secara harafiah berarti pohon. Penggunaan kata tersebut dalam konteks masa lalu mengacu pada pohon silsilah atau asal-usul keturunan seseorang. Meskipun pada perkembangannya, kata sejarah yang kita kenal sekarang lebih dekat pengertiannya pada kata ‘historia‘ yang berarti ilmu di bahasa Yunani.

Pertemuanku dengan mereka berlangsung di Gunung Padang, sebuah situs purbakala peninggalan budaya Megalitikum yang terletak di Kabupaten Cianjur. Masih banyak simpang siur perihal apakah situs ini merupakan sebuah piramida raksasa yang tertimbun puluhan ribu tahun atau hanyalah sebuah tempat ritual biasa di zaman kerajaan Sunda.

Sekilas, bentuknya menyerupai punden berundak-undak dengan batu menyerupai pilar berserak di mana-mana. Jika melihat lokasi dan bentuk situs ini, aku membayangkan di hari yang sama pada abad yang berbeda, orang-orang mendatangi Gunung Padang sebagai pekuburan ataupun tempat tetirah. Mirip dengan catatan Nicolaas Johannes Krom, dalam apporten van de Oudheidkundige Dienst pada tahun 1914.

Op dezen bergtop nabij Goenoeng Melati vier door trappen van ruwe steenen verbonden terrassen, ruw bevloerd en met scherpe opstaande zuilvormige andesiet steenen versierd. Op elk terras een heuveltje (graf), met steenen omzet en bedekt en voorzien van twee spitse steenen.

Nicolaas Johannes Krom

Di puncak gunung dekat Gunung Melati ini terdapat empat teras dihubungkan oleh undakan batu kasar, berlantai kasar dan dihiasi batu andesit berbentuk kolom tegak tajam. Di setiap teras ada gundukan (makam), dikelilingi batu dan ditutup dengan dua batu runcing.

Meski belum ada penelitian menyeluruh, beberapa berita yang kubaca sudah berani menasbihkan Gunung Padang sebagai situs tertua di dunia mengalahkan Piramida Giza di Mesir ataupun Gobekli tepe di Turki. Entahlah, kita memang cendrung terobsesi akan kejayaan masa lalu.

“Jadi, Sunda itu berasal dari bahasa Inggris ‘sun‘ yang berarti matahari, dan bahasa sunda kuno ‘da‘ yang berarti luhur, karena itu Sunda berarti matahari yang luhur.” Sang pemandu melanjutkan kisahnya dan para mahasiswa mengangguk-angguk saja bagai kerbau yang dicucuk hidung, entah mereka ini paham telah ditipu atau tidak sama sekali.

Selama dikonsumsi sendiri, sesungguhnya aku tak begitu peduli dari mana ia mendapatkan ilmu yang sesat tersebut. Aku sudah lelah dengan kebebalan yang sukar diobati. Namun jika ia bertindak sebagai pemandu wisata dan membagikan kesesatan pada orang yang berkunjung ke situs ini, tentu ada yang salah. keberlangsungannya yang berada tepat di depan mataku sungguh terlampau mengganggu untuk tidak dihiraukan.

Detik itu pula aku meyakini bahwa Kebodohan, layaknya penyakit ebola, dapat masuk ke dalam ranah epidemi karena muncul dalam bentuk massal dan menular. Kebodohan memiliki karakteristik serupa dengan penyakit dalam penyebarannya: dari orang ke orang, lingkungan ke lingkungan, dan bahkan berlangsung dari satu komunitas ke komunitas lain. Jika kolera berawal dari bakteri, maka kebodohan dibentuk sedemikian rupa melalui pemicu yang ampuh: ketidakmampuan berpikir kritis dan kemalasan dalam melakukan validasi informasi.

Berbeda dengan penyakit yang dapat dilokalisir, kebodohan mampu menembus ruang karena korban yang dituju mati secara metaforik – ia kehilangan daya nalar. Bentuk penularan ini menjadikan isolasi mustahil dilakukan, terlebih karena hari ini gagasan dapat terbang kemana-mana, sehingga kebodohan mampu merangsek hampir ke seluruh kalangan masyarakat, mulai dari pemandu wisata abal-abal hingga para mahasiswa yang “sok mengerti” hikayat negeri.

“Jadi apa ada hubungannya Gunung Padang dengan kota Padang?” Seorang mahasiswa bertanya pada sang pemandu. Pertanyaan yang tak terlalu bagus, pikirku. Tentu saja tak ada hubungannya, kedua hal itu jelas berbeda kutub. Tapi aku tertarik mendengar jawabannya.

“Ooo tentu saja ada, Gunung Padang sudah berdiri dari jutaan tahun yang lalu. Jadi dulu sekali, nenek moyang orang Sunda bertebaran ke timur dan ke barat, ke timur mereka berjalan ke Jawa, dan ke barat mereka berjalan ke Sumatera,” Sang pemandu berhenti sejenak sambil menghirup napas dalam-dalam seolah ingin informasi tersebut masuk ke dalam paru-paru setiap pendengarnya.

“Kalian tahu kenapa mereka berjalan ke Sumatera?” Ia mengacungkan tangannya ke udara. “Karena dulu sekali, Pulau Jawa dan Pulau Sumatera itu masih menjadi satu daratan. Namun setelah gunung Krakatau meletus, terciptalah selat Sunda yang memisahkan Jawa dan Sumatera. Orang Sunda yang sudah merantau ke Sumatera tidak bisa pulang. Untuk mengenang tempat mereka berasal, maka dibuatlah sebuah kota yang diberi nama Kota Padang.” Tuhan, jika kau ingin mencabut nyawa orang ini, maka segerakanlah.

Di Luar nalar. Apa-apa yang terlontar dari mulutnya tak menghiraukan fakta sejarah sama sekali. Rasanya ingin kubenturkan bongkahan-bongkahan batu sebesar paha ini ke kepalanya agar berhenti bercerita. Menjadi pemandu di sini barangkali tidak butuh pendidikan khusus, tidak memerlukan kualifikasi yang tinggi. Kau hanya perlu cakap mengarang dan cukup piawai menceritakan kembali. Lagipula, kuyakin mereka ini adalah tipikal manusia yang sulit didebat.

“Ini adalah keramik purba, ini adalah alat musik purba,” aku sudah tak ingat lagi semua hal yang dikatakannya. Kuputuskan untuk meninggalkan mereka dan membiarkan sang pemandu bersama rombongan mahasiswa tersebut menuntaskan imajinasi.

Hari ini Gunung Padang mengajariku sebuah frasa baru “Epidemi kebodohan”

5 thoughts on “Epidemi Kebodohan”

    1. Mungkin ga ada SOP baku yang mengharuskan mereka ngomong pakai script tertentu
      jadi ya ngasal aja, apa yang dipikirin, udah itu yg keluar
      gatau bener apa engga
      hahahaha

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *